Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Masuk Musim Kemarau Maret 2024, Mengapa Masih Hujan?

Baca di App
Lihat Foto
Freepik
Ilustrasi hujan.
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan, Indonesia memasuki musim kemarau mulai Maret 2024.

Menurut Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto, musim kemarau Indonesia dimulai pada Maret (1,4 persen), April (12,9 persen), Mei (19,0 persen), Juni (24,2 persen), Juli (7 persen), Agustus 2024 (13,4 persen).

Meski demikian, beberapa warganet mempertanyakan mengapa Indonesia masih diguyur hujan pada Maret 2024.

Salah satunya diutarakan oleh akun ini pada Kamis (14/3/2024), yang menilai turunnya hujan pada Maret 2024 sebagai hal yang aneh.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selain itu, akun ini menuliskan, cuaca Maret yang diperkirakan sangat panas, justru tidak terjadi karena curah hujan yang tinggi.

"Disini hampir satu minggu ga ada matahari yang panas gonjreng yg ada mendung dan hujan yg kadang turun kadang berhenti seharian," bunyi unggahan akun tersebut.

Sudah memasuki musim kemarau, mengapa Maret masih diguyur hujan lebat?

Baca juga: Muncul 2 Bibit Siklon Tropis di Sekitar Indonesia, Apa Dampaknya?

Penjelasan BMKG

Guswantu menjelaskan, hujan yang turun pada Maret 2024 disebabkan oleh beberapa faktor, seperti gelombang Rossby Ekuator dan bibit siklon tropis di beberapa wilayah.

Berikut penjelasan selengkapnya:

1. Gelombang Rossby Ekuator

Menurutnya, muncul gelombang Rossby Ekuator yang berpropagasi ke arah barat dan diprediksi terjadi di Samudera Hindia barat Aceh hingga Bengkulu.

Gelombang Rossby Ekuator berpotensi meningkatkan aktivitas konvektif serta pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut.

2. Gelombang Kelvin

Selain itu, muncul juga gelombang Kelvin yang berpropagasi ke arah timur dan diprediksi terjadi di Papua bagian selatan dan Samudera Pasifik sebelah utara Papua.

"Berpotensi meningkatkan aktivitas konvektif serta pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut," jelas Guswanto.

Baca juga: Beredar Citra Pulau Jawa Tampak Merah pada Akhir Februari, Ada Potensi Cuaca Panas?

3. Gelombang dengan low frequency

Faktor lain yang menyebabkan Indonesia masih diguyur hujan pada Maret 2024 adalah gelombang dengan low frequency.

Kondisi tersebut cenderung persisten tidak terpantau aktif di wilayah Indonesia.

4. Madden-Julian Oscillation (MJO)

Faktor lain adalah Madden-Julian Oscillation (MJO) pada Senin (11/3/2024) yang terpantau pada kuadran 4 (Maritime continent).

MJO, kata Guswanto, berkontribusi terhadap proses pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.

"Gangguan fenomena MJO secara spasial terpantau aktif di hampir seluruh wilayah Indonesia kecuali Kalimantan Utara bagian utara, Papua dan Papua Tengah yang berpotensi menyebabkan peningkatan pertumbuhan awan hujan di wilayah tersebut," jelasnya.

Baca juga: Hari Tanpa Bayangan 21 Februari 2024, Akankah Suhu Semakin Panas?

5. Kombinasi MJO, gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby Ekuator

Guswanto menerangkan, kombinasi antara MJO, gelombang Kelvin dan gelombang Rossby Ekuator terjadi pada wilayah dan periode yang sama.

Kombinasi ketiganya diprediksi terjadi di Samudera Hindia barat Bengkulu hingga selatan NTB, Jawa-Bali, NTB, NTT, Laut Jawa, Laut Banda, Sulawesi Selatan dan Tenggara bagian Selatan, Maluku Utara, Papua Selatan dan Laut Arafura.

Hal ini dapat meningkatkan aktivitas konvektif serta pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut.

6. Bibit siklon tropis 91S

Guswanto menyampaikan, kemunculan bibit siklon tropis 91S juga berkontribusi pada turunnya hujan di wilayah Indonesia sepanjang Maret 2024.

Bibit siklon tropis 91S berada di Samudera Hindia bagian tenggara selatan NTB.

Selain itu, bibit siklon tersebut juga membentuk daerah konvergensi atau perlambatan angin dan menginduksi daerah peningkatan kecepatan angin 25 knot lebih (low level jet) di Samudera Hindia selatan Jawa hingga NTB.

Baca juga: Warganet Sebut Hujan Sering Terjadi pada Malam Hari, BMKG Beri Penjelasan

7. Bibit siklon tropis 94S

BMKG juga mendeteksi kemunculan bibit siklon tropis 94S di Teluk Carpentaria yang membentuk daerah konvergensi memanjang di Australia bagian utara dan menginduksi daerah peningkatan kecepatan angin 25 knot lebih.

Hal tersebut terjadi dari Laut Banda dan Laut Timor hingga Australia bagian utara Samudera Hindia selatan NTT hingga Australia bagian utara.

8. Daerah konvergensi dan konfluensi

Daerah konvergensi lainnya juga terpantau memanjang dari Samudera Hindia barat Bengkulu hingga Banten, dari Banten hingga Jawa Timur, dari Laut Jawa hingga NTT, Samudera Hindia selatan NTB hingga NTT, dan Maluku bagian tenggara hingga Laut Arafura.

Wilayah lainnya yang muncul daerah konvergensi adalah Brunei Darussalam hingga Kalimantan Tengah, utara Kalimantan Utara hingga Kalimantan Timur, dari Sulawesi Tengah hingga Sulawesi Tenggara, termasuk Laut Arafura hingga Teluk Carpentaria.

Guswanto menyampaikan, terjadi pula daerah konfluensi atau pertemuan angin yang memanjang dari Samudera Hindia barat Sumatera Barat hingga selatan Laut Arafura

"Kondisi tersebut mampu meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar Bibit Siklon Tropis dan di sepanjang daerah konvergensi/konfluensi/low level jet tersebut," pungkas Guswanto.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi