Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 20 Mar 2020

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Demi Konten, Motif Tindakan Nekat Kreator

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Shutterstock
Ilustrasi konten kreator yang sedang membagikan konten positif kepada pengguna media sosial.
Editor: Sandro Gatra

Oleh: Bonar Hutapea, S.Psi., M.Psi.*

“Audiences no longer care about platforms. The content creator is ‘king.’ - Hyrkin.

ADA saja tindakan nekat kreator dalam pembuatan konten di media sosial yang menjadi berita dan menyita perhatian publik.

Di antaranya, dianggap mengganggu sehingga nyaris dikeroyok pengendara motor yang melawan arus; memakai rumah kosong tanpa ijin untuk membuat konten horor sehingga dilaporkan pemilik ke polisi.

Selain itu, nekat menghadang truk hingga berujung pada kematian dan membuat susah para supir karena menjadi tersangkut masalah hukum di beberapa daerah; bermaksud membuat konten bunuh diri, malah benaran tewas tergantung.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tindakan lain mengeksploitasi dan merekam penyiksaan hewan sehingga mendapat sorotan tajam organisasi pemerhati hewan dalam negeri maupun internasional, bahkan diminta agar diproses secara hukum.

Tidak kurang menghebohkan adalah ditembaknya seorang pelaku prank (pranker) di tempat (baca Kompas, 23 Oktober 2023) yang menuai dukungan warganet kepada pelaku karena turut geram karena dianggap sudah meresahkan.

Tindakan nekat dimaksud juga termasuk membuat narasi tertentu dalam video yang tak sesuai dengan kenyataan atau aslinya, melakukan penggiringan opini, pengabaian terhadap pentingnya mendapatkan izin dari otoritas setempat, mengunggah video orang lain tanpa ijin, juga tidak meminta persetujuan orang-orang yang (potensial) terdampak.

Membuat konten yang kyoot, bagi orang muda, sangat menarik, bahkan sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Kata kyoot merupakan plesetan orang muda dari kata cute yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti manis, lucu, imut, bahkan sering dipadankan dengan kata ’keren’.

Dalam media sosial, kata ini ditujukan bagi konten-konten yang sangat menarik dan amat sangat menggemaskan.

Inilah salah satu bentuk sekaligus yang paling menonjol dari gagasan dan gerakan playbour, yakni pembuatan dan penyebaran konten video sosial yang dilakukan oleh pembuat (prosumer) perorangan melalui aktivitas sosial dan dirasa menyenangkan.

Entah sebutannya influencer, YouTuber, Instagrammer, Pranker, bloggers, writers, influencers, artists, photographers, gamers, podcasters, and streamers, atau lainnya, pembuat konten atau kreator konten adalah pengguna yang membuat konten mereka sendiri untuk dipublikasikan di media sosial.

Pembuatan konten berarti menciptakan berbagai informasi di media atau produk elektronik yang bersifat informatif, edukatif, atau sekadar hiburan.

Apa yang dicari? Apa yang mendorong tindakan nekat mereka? Penelitian yang berfokus pada topik ini, sejauh ditelusuri secara terbuka, belum ditemukan.

Mengacu pada berbagai bacaan dan artikel yang ada, berikut beberapa kemungkinan kebutuhan dan faktor pendorongnya:

Pertama, adanya sumber daya berupa kemanfaatan dari komunitas virtual.

Shih-Wei Choua dan Guan-Ying Lu dalam artikel mereka pada Behaviour and Information Technology tahun 2022 menyatakan bahwa pembuat konten mendapatkan sumber daya dari komunitas virtual sebagai sumber motivasi, antara lain: dukungan sosial, pencarian informasi, presentasi diri, koping, yakni upaya menghadapi atau menanggulangi tuntutan situasional, selain keuntungan finanasial tentunya.

Sumber daya ini mencakup alat dan perangkat yang mendukung media sosial berupa video tayangan langsung (video streaming), berbagi konten, selain ketersediaan platform.

Meski demikian, kurang jelasnya model bisnis yang mendasarinya menciptakan kesulitan dalam meningkatkan pemahaman tentang keputusan pembuat konten dalam membuat konten.

Artinya, bisnis ini tampaknya belum secara ketat mengatur bagaimana konten dibuat semacam rambu-rambu yang harus ditaati terutama terkait orang, hewan, otoritas dan hukum yang berlaku.

Secara khusus, patut pula diduga bahwa perpaduan faktor internal, yang fokus pada nilai ekspresif yang menekankan nilai simbolik, misalnya presentasi diri maupun faktor eksternal, misalnya jejaring dan dukungan eksternal yang didasari nilai-nilai fungsional.

Dalam hal ini, kreator konten dapat bertindak nekat dalam membuat konten karena mendapat dukungah dari anggota komunitas lainnya berupa interaksi yang semakin intens, pujian, dan relasi yang luas selain identitas diri yang ditegaskan sebagai seorang konten kreator dengan keyakinan diri, kemampuan, sifat pribadi dan peran sosialnya.

Dukungan yang dirasakan pembuat konten dari orang lain meningkatkan kepercayaan diri dan semakin menguatkan motivasinya untuk terus membuat konten sejenis.

Kedua, kesenangan, popularitas, dan selebrifikasi. Ketika tonton, suka, bagikan (wiews, likes, shares) sudah menjadi seperti segalanya pada masa kini.

Para pembuat konten berupaya untuk mendapatkan semua itu sebanyak-banyaknya dari pengunjung, pemirsa (viewers) dengan membuat konten yang dianggap kyoot, bahkan bila mungkin akan semakin menambah jumlah penggemar konten-konten mereka.

Peran penting penggemar ini ditegaskan Courtney N. Plante, Stephen Reysen, Sharon Roberts, dan Kathleen Gerbasi dalam artikel mereka pada Journal of Fandom Studies tahun 2017, antara lain penggemar dapat menjadi mediator aktif konten dan memfasilitasi penyebarannya seluas-luasnya.

Maria Törhönen dan Max Sjöblom dalam artikel mereka pada Internet Research tahun 2020 menyatakan bahwa motivasi instrinsik seperti kesenangan (enjoyment) dan keseruan (fun) dan interaksi sosial (keterhubungan) selain daya tarik ketenaran dan kekayaan sebagai motivasi ekstrinsik berperan dalam kesinambungan untuk membuat konten sebagai aktivitas yang dianggap profesional.

Bersamaan dengan itu, tindakan nekat juga sangat mungkin diakibatkan semakin meluasnya budaya selebriti atau selebritisasi, utamanya selebrifikasi, yakni tranformasi orang biasa menjadi selebritis atau sosialita tentu sangat kuat daya tariknya.

Banyak orang, termasuk kreator konten, yang mencoba untuk mendapatkan status selebriti. Meski demikian, dalam kenyataan, tak jarang kreator konten frustrasi karena tak kunjung mendapatkan ketenaran.

Kemungkinan faktor inilah sebagai pendorong yang kuat untuk membuat konten berisiko tanpa mempertimbangkan dampak buruknya bagi pemirsa yang terpapar konten tersebut dan mengganggu ketertiban umum.

Tidak jarang pula demi meraih popularitas, kreator konten diadukan kepada pihak berwewenang dan kepada yang bersangkutan diminta agar diambil tindakan hukum karena dianggap meresahkan, merendahkan, menghina martabat orang, ras tertentu bahkan negeri sendiri.

Tak lagi dapat diterima dengan seringkali berlindung di balik kata-kata ”maaf, hanya konten lucu-lucuan, seru-seruan, tidak ada maksud apa-apa” dan sebagainya.

Ketiga, penghasilan dan monetisasi. Andreas M. Kaplan dan Michael Haenlein dalam artikel mereka pada Business Horizons tahun 2010 sudah menyatakan dengan tegas bahwa platform media sosial memang mendorong pengguna untuk membuat dan berbagi konten dengan segala tantangan dan peluang yang ditawarkannya.

Pada sisi lain, kreator konten tampaknya sangat menyadari itu, sebagaimana juga tahu betul bahwa perusahaan-perusahaan berupaya meningkatkan kesadaran banyak orang terhadap merek dan produk mereka melalui iklan media sosial.

Inilah yang hendak dibidik para kreator konten demi mendapatkan berbagai kemanfaatan atau keuntungan, utamanya mendapatkan insentif yang ditawarkan.

Maraknya pemberian tip virtual adalah salah satu dari keuntungan finansial yang diperoleh pembuat konten. Tentu saja masih ada yang lainnya dalam skema monetisasi konten buatan pengguna (user-generated content).

Kreator konten mendapatkan pemasukan atau penghasilan antara lain dari pernyataan mendukung produk tertentu (endorsement), promosi produk (paid promotion), menjadi pembicara karena dianggap pakar dalam hal tertentu, menghadiri acara-acara semisal meluncurkan produk atau pembukaan akbar merek atau produk tertentu, pemasukan dari layanan periklanan dari Google (Adsense), penjualan barang-barang dan pernak-pernik sesuai ciri khas konten (merchandising).

Keempat, reaksi kreator konten sebagai akibat relasi kuasa dengan penyedia platform. Seiring berkembangnya (booming) perekonomian digital khususnya bisnis dengan media sosial, penyedia platform mendapatkan keuntungan sangat besar.

Bahkan, mengacu pada teori Fuchs mengenai bisnis media sosial, Susanne Kopf dalam artikel analisis diskursusnya pada Social Media + Society tahun 2020, menyitir bahwa bisnis media sosial mengeksploitasi tenaga kerja digital gratis yang dimiliki para pembuat konten.

Dalam hal ini, meski masih bersifat wacana, namun patut diduga bahwa terdapat relasi kuasa antara penyedia platform dengan pembuat konten.

Selain itu, sangat banyak pembuat konten yang belum menerima kompensasi finansial atas produk digital mereka dan tidak semua penyedia platform mampu memberikan kompensasi yang memadai sehingga mengizinkan iklan masuk ke dalam konten pembuat konten.

Untuk mendapatkan uang dari iklan inilah, utamanya para pembuat konten yang motivasi utamanya adalah uang atau bersifat ekonomis dari aktivitas media sosial melalui skema monetisasi, berupaya keras agar konten berupa produk digital yang dibuatnya mendapatkan kunjungan situs sebanyak-banyaknya.

Atas alasan ini pula ditengarai tindakan nekat dilakukan dalam membuat konten yang diharapkan akan sangat menarik bagi pengunjung situs atau pemirsa (viewers).

Kelima, karakteristik individu dan kondisis psikologis tertentu. Meski belum teruji secara ilmiah dan akademis, pembuatan konten dengan mengabaikan izin, aturan, konsekuensi hukum, empati yang rendah, eksploitasi dan/atau penyiksaan hewan, risiko kematian pada diri sendiri, bertindak impulsif dan agresif, atau pun bermaksud membuat keonaran dengan konten tertentu (internet trolling), patut diduga terkait dengan ciri individu dan/atau kondisi psikologis atau gangguan psikologis tertentu, misalnya: tendensi sosiopati, sadisme, zoosadisme, dark triad tipe psychopathy, atau gangguan kepribadian antisosial.

Tentu saja, sangat dibutuhkan penelitian yang mendalam dan asasmen yang tepat dan berhati-hati untuk dapat mendapatkan kejelasan mengenai hal ini.

Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan untuk mereduksi bila tak memungkinkan mengelimasi tindakan nekat kreator konten ini?

Pertama, model bisnis media sosial yang jelas dan penegakan hukum. Atas dasar upaya maksimalisasi kemanfaatan bagi calon pelanggan, namun terutama bagi keuntungan penyedia platform itu sendiri, model bisnis platform, menurut para kritikus sering kali didasarkan pada pemanfaatan celah regulasi dengan ’cerdiknya'.

Karenanya, perlu didorong terus menerus agak penyedia platform membuat model bisnisnya lebih jelas, dipahami dengan baik oleh pelanggan atau kreator konten termasuk rambu-rambu yang ditegaskan untuk dipatuhi prosumer.

Selain itu, penyedia platform juga dituntut mematuhi regulasi dan tanggap terhadap masukan, keberatan dan laporan mengenai bagaimana konten dibuat dan mengontrol dengan ketat. Bila perlu, penghapusan segera konten yang kontroversial, meragukan, maupun merugikan orang lain, komunitas, dan masyarakat.

Peran aktif dan lebih serius pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya sangat diharapkan, terutama kesadaran publik untuk senantiasa kritis terhadap kreator konten dan pembuatan konten-konten yang dianggap sudah mengganggu ketertiban umum, kenyaman masyarakat, dan berisiko karena dampak buruk yang ditimbulkan selain mendorong penegakan hukum.

Kedua, penguatan manajemen diri. Mengacu pada Teori Presentasi diri (Self-presentation Theory) dan kerangka keyakinan (belief)-motivasi-niat (belief-motivation-intention framework) yang disitir Chou dan Lu dalam artikel mereka seperti disinggung sebelumnya, dapat dipahami bagaimana keputusan pembuat konten dibentuk.

Untuk mengubah keputusan yang diambil juga dapat menggunakan pemahaman yang sama. Niat dan motivasi kreator konten dalam pembuatan konten tergantung pada nilai presentasi dirinya dan keyakinan yang bersangkutan tentang dirinya.

Untuk itu, kreator konten penting didorong untuk mengontrol presentasi dirinya dan membuat presentasi diri yang bersesuaian dengan aturan atau norma dalam lingkungan sosialnya.

Dalam hal ini, manajemen diri penting diperkuat dengan meningkatkan evaluasi diri dan kontrol diri.

Tidak lupa peran komunitas virtual, yakni bila tindakan nekat diperkuat oleh dukungan komunitas maka pencegahan dan mereduksi tindakan nekat tersebut juga diperkuat oleh komunitas virtual yang anggotanya memiliki kesadaran dan memberikan nilai fungsional bagi kreator konten agar membuat konten yang bersesuaian dengan norma.

Dalam hal ini, komunitas virtual memiliki pengaruh sosial yang kuat dengan mendorong kepatuhan kepada norma dalam presentasi diri secara daring dan kepatuhan kreator konten kepada aturan. Hasil penelitian sudah menunjukkan peran nyata komunitas virtual semacam ini.

Ketiga, profesional, etis dan kesadaran akan tanggung jawab sosial. Apakah konten menjadi tak menarik bila tak berisikan tantangan yang sangat berbahaya, lelucon yang menimbulkan tekanan emosional dan menimbulkan resiko secara fisik, tindakan yang mempunyai risiko cedera serius, mengandung kekerasan dan mengkhawatirkan bagi emosi anak di bawah umur, vandalisme dan mengeksploitasi dan menyiksa hewan? Tampaknya tidak demikian.

Konten yang dibuat-buat, menyesatkan, tidak memiliki nilai edukatif sedikit pun seakan-akan hendak mengajarkan masyarakat untuk tidak bermoral dan tidak etis dalam kehidupan sehari-hari.

Apakah demi ”tonton, suka, bagikan” (wiews, likes, shares) mengubah banyak orang, utamanya orang-orang muda menjadi perusak moral dan perilaku etis di masyarakat?

Pembuat konten sangat penting diingatkan terus menerus perihal peran penting media, termasuk media sosial, sebagaimana ditegaskan Carlos E. Cortes dalam bukunya ”The Children Are Watching: How the Media Teach about Diversity” bahwa media tak ada kurangnya untuk berlaku sebagai pendidik informal karena memang menyajikan informasi, mengorganisasikan ide, menyebarkan nilai-nilai, menciptakan dan memperkuat ekspektasi, dan menyediakan model perilaku.

Baik atau buruknya konten yang dibuat memiliki dampak bagi pemirsa terutama remaja dan anak-anak.

Amat penting untuk disadari besarnya dampak buruknya terhadap anak-anak yang berada pada fase usia rasa ingin tahu yang tinggi, namun belum memiliki taraf berpikir kritis yang memadai.

Kreator konten layak diedukasi agar melakukan sesuatu yang bernilai, yakni membuat konten dengan bermartabat.

Silakan saja mencipta konten sebisa mungkin kreatif dengan tetap menjaga sisi etis, moral, kepantasan, dan mempertimbangkan potensi dampak buruk fisik maupun psikis yang ditimbulkan. Tak ada salahnya juga untuk berguru pada kreator konten profesional.

Barangkali benar apa yang dinyatakan Joseph A. Hyrkin, CEO salah satu penerbitan digital dan platform global terkemuka, pada Vocmedia tahun 2017, seperti dikutip pada awal tulisan di atas, bahwa audiens memang tak lagi peduli platform (media sosial) mana konten tersebut dibagikan.

Bagi mereka terpenting adalah kreatornya, bahkan layaknya raja. Audiens akan mengikuti ke mana saja kreator yang dianggap membuat konten yang menarik.

Mencari nafkah dari media sosial melalui monetisasi konten tampak menjanjikan dan menggiurkan.

Meski begitu, untuk mewujudkannya tidak selalu mudah, bahkan bagi sebagian besar orang, dipandang sangat sulit karena menyita banyak waktu, tenaga, pengorbanan bahkan tak jarang lebih karena faktor keberuntungan.

Sebab, seperti dinyatakan Nil Solana Tort, tak jarang pengguna, dalam hal ini kreator konten, yang sudah berusaha jauh lebih keras, lebih karismatik dan lebih menyenangkan daripada kreator yang paling terkenal, tapi tetap saja mereka belum mencapai sejauh itu sehingga tak jarang menjadi putus asa.

Meski demikian, hal ini hendaknya tidak menjadi pembenaran untuk bertindak nekat apalagi sampai menghalalkan segala cara.

Alih-alih mencapai harapan yang ada malah membuat publik benci, tersangkut hukum bahkan berujung pada kematian.

Para kreator konten juga harus cerdik dalam menjembatani atau merekonsilisasi tuntutan yang seringkali kontradiktif antara audiens, sponsor, dan platform media sosial.

*Dosen Tetap Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi