Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti Ungkap Menu Makanan Sehari-hari Manusia Kuno

Baca di App
Lihat Foto
Wikimedia/Drgulcu
Ilustrasi Catalhoyuk. Ragam menu makanan orang-orang zaman dulu.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Sisa-sisa molekul dalam panci dan alat makan membantu para peneliti merekonstruksi menu makanan manusia kuno.

Dengan teknik ilmiah terbaru ditambah pandangan lebih inklusif tentang pentingnya aktivitas sehari-hari dalam arkeologi, peneliti memunculkan gambaran lebih jelas mengenai makanan orang zaman lampau.

Botol bayi keramik di Bavaria dari Zaman Perunggu misalnya, memberikan para ilmuwan gambaran yang belum pernah terjadi sebelumnya tentang cara makan manusia di masa lalu.

Penelitian terhadap molekul lemak yang disebut lipid dalam pori-pori tiga botol keramik tersebut menunjukkan, para ibu yang hidup antara 1200 sampai 450 SM sedang menyapih anaknya dengan susu hewani.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Arkeolog biomolekuler di University of Bristol, Inggris, Julie Dunne mengatakan, tidak banyak cara untuk mempelajari pemberian makan bayi di zaman kuno.

Meski tulang-tulang dari zaman kuno telah memberikan gambaran tentang kapan bayi disapih, tetapi manusia saat ini hanya mengetahui sedikit mengenai bagaimana para ibu membesarkan bayinya.

"Arkeologi sama seperti hal lainnya, perempuan cenderung terpinggirkan," kata Dunne, dilansir dari laman Knowable Magazine.

Secara tradisional, menurutnya, para cendekiawan lebih tertarik dengan kehidupan para raja dan penakluk dibandingkan kehidupan para ibu.

Itulah salah satu alasan benda-benda arkeologi yang berkaitan dengan memasak atau masakan agak diabaikan.

Baca juga: Arkeolog Temukan Lukisan Gambar Mirip Pizza Berusia 2.000 Tahun


Jejak kubis dan daging rebus dari sisa lipid

Pada zaman dulu, gerabah dan tembikar merupakan terobosan baru yang membantu mengubah pola makan orang-orang.

Benda tersebut membantu mereka merebus daging dan umbi-umbian dalam waktu cukup lama untuk menghancurkan racun.

Ahli biogeokimia University of Bristol, Richard Evershed mengatakan, daging yang direbus akan melepaskan gumpalan lemak cair yang mudah meresap ke dalam dinding tembikar.

Dengan mengidentifikasi sisa lemak atau lipid dari makanan dalam tembikar kuno di sebuah situs di Inggris, peneliti menemukan jejak kubis yang kemungkinan besar direbus dengan daging.

Penelitian lain di situs yang sama mengidentifikasi sejumlah besar panci yang berasal dari tahun 950 hingga 1450 M.

Kumpulan panci tersebut menyisakan tanda-tanda lemak susu, yang kemungkinan menjadi bekas pembuatan keju.

Sebelumnya, peneliti gagal menganalisis sisa lemak sampai pada 1950-an muncul metode kromatografi gas, sebuah teknik untuk mengurai campuran molekul.

Menggabungkan metode ini dengan spektrometri massa, yang membantu mengidentifikasi molekul berdasarkan massanya, memungkinkan para peneliti mendeteksi sisa makanan kuno.

Para arkeolog kini juga dapat menggunakan penanggalan radiokarbon untuk menemukan usia sisa lipid dalam artefak.

Padahal, para peneliti sebelumnya tidak dapat menggunakan penanggalan radiokarbon pada sisa-sisa makanan dan harus menyimpulkan usianya dengan menentukan penanggalan bukti lain dari situs tersebut, seperti tulang.

Belum lagi, molekul yang tampak menjadi bagian makanan mungkin sebenarnya berasal dari tanah di sekitar artefak.

"Jika Anda berurusan dengan sesuatu yang terkubur di dalam tanah selama ribuan tahun, Anda harus memikirkan kemungkinan kontaminasi," kata Evershed.

Baca juga: Mengapa Bangunan Kuno Bisa Bertahan Ribuan Tahun hingga Kini? Ini Penjelasan Arkeolog

Protein ungkap sisa makanan yang jadi karang gigi

Bukan hanya identifikasi terhadap sisa lipid atau lemak pada artefak, peneliti juga menggunakan protein untuk menentukan menu makanan yang disantap orang-orang zaman dulu.

Sama seperti lipid, kemajuan dalam menganalisis protein kuno yang tersisa sangat bergantung pada teknologi.

Pada 2014 misalnya, para peneliti dalam jurnal Nature berhasil mengidentifikasi protein susu yang menempel pada karang gigi berusia sekitar 5.000 tahun di situs Zaman Neolitikum (Zaman Batu Muda) Catalhoyuk, Turkiye.

Pakar arkeologi di University of York, Inggris, Jessica Hendy mengungkapkan, karang gigi tersebut merupakan sisa makanan yang menempel dan mengeras pada gigi.

Bahan tersebut bertahan di kerangka selama ribuan tahun dan mungkin menyimpan catatan beberapa makanan yang dikonsumsi pemiliknya.

Di sisi lain, para arkeolog yang bekerja di situs Catalhoyuk turut menemukan kerak keputihan yang melapisi pecahan tembikar.

Kerak tersebut menyisakan jejak protein yang sama seperti yang terdapat pada karang gigi. Tim kemudian mengidentifikasi sejumlah protein berasal dari hewan dan tumbuhan.

"Ini merupakan sumber daya yang luar biasa untuk memahami apa yang diproses oleh para petani awal di dalam pot tembikar mereka," kata Hendy.

Dia melaporkan, pecahan tembikar menghasilkan jejak protein yang ditemukan pada jelai, gandum, kacang polong, serta beberapa daging hewan dan susu.

Lantaran sisa tulang hewan di situs Catalhoyuk menunjukkan keberadaan domba dan kambing, kemungkinan protein hewani berasal dari mamalia ini.

Menurut Hendy, orang kuno menggunakan susu hewan-hewan tersebut dan mencampurkannya dengan bahan pangan lain.

"Tingkat detail seperti itu, menurut saya sangat, sangat menarik," ucap Hendy.

"Kami berpikir bahwa dengan mengarakterisasi protein, kami dapat mengetahui sejarah hidup mereka sebagai bahan makanan," imbuhnya.

Baca juga: Gerbang Kota Kuno Tertua Ditemukan di Israel, Ini Fungsinya di Zaman Perunggu Awal

Temuan susu fermentasi di kalung mumi

Sementara itu, di pemakaman Zaman Perunggu orang-orang Xiaohe di Xinjiang, China, para arkeolog menemukan mumi yang mengenakan kalung dari gumpalan bahan organik.

Analisis terhadap protein dalam gumpalan mengungkapkan kalung terdiri dari bahan keju, sebagian dari susu sapi, sedangkan sebagian lain dibuat dengan campuran susu.

Peneliti dalam Journal of Archaeological Science (2014) itu menuliskan, gumpalan tersebut mengandung lebih banyak protein kasein daripada whey.

Anna Shevchenko, ahli biokimia di Institut Biologi dan Genetika Sel Molekuler Max Planck di Dresden, Jerman pun menyebut, temuan ini membuka lebih dalam proses pembuatan keju berusia sekitar 3.500 tahun.

Menurutnya, keju dapat dibuat dengan rennet, sekelompok enzim yang dihasilkan oleh lambung binatang menyusui untuk mencerna susu induknya.

Keju pada zaman itu juga dapat diproduksi dengan menambahkan asam pada susu hewani.

Namun, tim peneliti saat itu tidak menemukan potongan enzim seperti pada rennet, sehingga menyimpulkan bahwa keju terbuat dari asam yang diproduksi oleh bakteri dan tanaman tertentu.

Shevchenko pun mengaku beruntung saat menemukan protein dalam keju ternyata cocok dengan bakteri yang biasa digunakan untuk membuat minuman susu fermentasi yang disebut sebagai kefir.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi