Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Analis Data Ilmiah BRIN
Bergabung sejak: 7 Apr 2023

Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat ASEAN, Peraih medali emas CONSAL Award

Buku sebagai Kekuatan Budaya

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock/Maglara
Ilustrasi buku menguning.
Editor: Sandro Gatra

BUKU memiliki daya ledak yang lebih dahsyat daripada bom atom. Menurut catatan sejarah, korban bom atom yang dijatuhkan Amerika di Hiroshima berjumlah 129.000 orang.

Dalam waktu 76 tahun pengaruhnya sudah hampir memudar. Bandingkan, dengan pengaruh "Das Kapital" karya Karl Marx yang telah menginveksi lebih dari separuh dunia dengan ideologi komunisme.

Pengaruh buku "The On The Origin of Species" karya Charles Dawin yang telah memengaruhi Hitler. Kedua buku itu mengakibatkan lebih dari seratus juta kematian manusia di ujung jari Stalin, Lenin, Mao, dan Hitler.

Tentu saja di samping memiliki daya rusak dahsyat, buku juga bisa menjadi pelita untuk menerangi perjalanan hidup manusia.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana kaum Muslimin beribadah apabila Imam Bukhari, Imam Malik, dan lain-lain tidak membuat buku berupa kumpulan hadits atau sejarah.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangsa Eropa tidak akan menemukan Nusantara bila tidak ada buku "The Suma of Oriental" karya Tom Pires.

Begitu dahsyatnya kandungan buku, maka untuk memberikan tonggak kebangkitan peradaban itu Andrew Taylor menyusun buku berjudul "Buku-Buku yang Mengubah Dunia".

Lebih dari 50 buku paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Menurut Taylor, buku yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia adalah "Negarakretagama" (Mpu Prapanca), "Sutasoma" (Mpu Tantular), "Habis Gelap Terbitlah Terang" (R.A. Kartini), dan "Max Havelaar (Multatuli)".

Pramoedya Ananto Toer mengatakan bahwa "Max Havelaar" adalah novel yang membunuh kolonial.

Dalam otobiografinya, Mahatma Gandhi menulis satu bab khusus tentang arti penting buku dalam mengubah perjalanan hidupnya.

Ia mengakui bahwa buku yang berjudul "Unto This Last" karangan Ruskin—yang tidak sengaja diberikan oleh seorang teman dalam perjalanan—telah mengubah total kehidupannya dengan seketika.

Begitu buku itu dibaca langsung mencengkram dirinya yang kemudian mengubah arah hidupnya.

Hitler menjadi seorang diktator fasis dan rasis karena sangat terpengaruh buku-buku karya Charles Darwin terutama "On The Origin of Species".

Arah perjuangan Hamka, ayahnya, dan para penganut puritanisme dan modernisme Islam sangat dipengaruhi buku-buku karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari Mesir.

"Dari Gelap Terbitlah Terang" yang ditulis Kartini telah menginspirasi kebangkitan emansipasi kaum wanita Indonesia untuk bersama-sama kaum pria menyongsong kemajuan.

Hari ini, dunia sedang mengagumi sosok bernama Elon Musk, yang dijuluki Leonardo Da Vinci abad 21.

Industrialis jenius nan kaya raya ini mengawali kariernya dengan kesenangan membaca buku yang sudah tertanam sejak kecil. Dia terbiasa membaca buku 10 jam per hari dan menamatkan dua judul buku tiap pekan.

Kalau kita bertanya kepada orang-orang besar, pasti mereka mempunyai buku yang telah mengubah arah hidupnya atau dianggap telah memantik arah pikirannya.

Dalam hal ini, alangkah benarnya apa yang dikatakan oleh Barbara Tuchman (1989) bahwa "buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu. Tidak ada buku tidak ada peradaban. Tanpa buku dunia ini beku."

Menyepelekan buku terlalu besar taruhannya bagi eksistensi bangsa ini. Maka, perhatikanlah, tanpa buku dunia akademik tidak lagi menjadi wahana pencerahan untuk mencari ilmu pengetahuan, tetapi hanya menjadi pabrik ijazah.

Identitas didewa-dewakan, tetapi kapasitas dinistakan, akhirnya lahirlah dari mulai sarjana pengangguran sampai pada profesor devaluatif.

Lembaga-lembaga riset seperti autis terhadap realitas dan hasil riset hanya menjadi paper yang menumpuk di laci para peneliti. Dunia penelitian berubah menjadi “pabrik makalah” yang banyak melahirkan masalah daripada inovasi atau solusi.

Kini banyak pejabat, akademis, dan politisi berlomba untuk memburu titel atau gelar-gelar akademis, sehingga perguruan tinggi ada yang berubah menjadi semacam supermarket penjual gelar dan ijazah.

Menurut riset justru semakin tiggi gelar, maka akan semakin tergantung kepada pemerintah alias semakin tidak mandiri.

Gelar-gelar akademik yang dahulu sangat berwibawa kini hanya pepesan kosong yang cenderung menipu masyarakat.

Apabila identitas tidak bersanding dengan kapasitas, maka hanya akan melahirkan absurditas. Itu semua terjadi karena manusia Indonesia tidak menghargai buku, tidak membaca buku, malah ada yang antibuku dengan membunuh banyak perpustakaan di lembaganya.

Jangan sekali-kali membiarkan buku! Karena dengan buku bangsa-bangsa besar lahir. Karena dengan buku daya saing bangsa tangguh.

Kata Bung Hatta buku akan membentuk karakter bangsa. Oleh karenanya, menentukan buku apa yang akan dibaca sangatlah penting.

Pesan yang tertulis dalam buku tidaklah bebas nilai, pasti bermuatan ideologi dari penulisnya. Melakukan validasi bahan pustaka pada era liberal seperti sekarang ini bukanlah pekerjaan ringan.

Semua pengarang, baik yang bermoral maupun tidak, bebas mengekspresikan pendapatnya melalui buku.

Apalagi orientasi negara yang semakin kapitalis sangat memengaruhi pasar yang tidak lagi memperhatikan dimensi moral, pertimbangannya hanya profit, bukan lagi “profet.”

Misalnya, sekarang ini masyarakat sangat mudah membaca atau membeli buku-buku sastra selangkangan atau sastra lendir.

Malah buku-buku tersebut menjadi best-seller nasional, padahal buku-buku tersebut secara tidak langsung akan memicu terjadi seks bebas dan kekerasan seksual.

Menurut para ahli neurologi, pornografi akan merusak syaraf dan jauh lebih berbahaya dari pada narkoba. Pantas bila Imam Asyafi’i berkata “hari ini setengah hafalanku hilang karena melihat aurat.” Padahal yang dilihat hanya betis perempuan, bukan alat vital.

Buku-buku berbau pornografi tidak ada manfaatnya sedikit pun bagi kehidupan. Malah buku sastra semacam itu akan menimbulkan pembusukan kebudayaan.

Namun tidak ada tindakan apa-apa dari negara. Sangat beda dibanding buku-buku yang dianggap bertentangan dengan ideologi. Padahal dampaknya sangat berbahaya terutama bagi generasi muda.

"Knowledge is power kata Francis Bacon", pengetahuan adalah kekuatan atau kekuasaan. Kata-kata populer yang memiliki makna hampir sama diucapakan oleh Rene Descarte "cogito ergo sum" (aku berpikir maka aku ada).

Atau yang paling eksplisit adalah pepatah Latin "lego ergo scio" (aku membaca maka aku tahu).

Jauh sebelum Bacon dan Descartes, Nabi Muhammad bersabda "apabila ingin menguasai dunia dan akherat maka kuasailah ilmu, oleh karena itu mencari ilmu wajib hukumnya."

Derajat seseorang sebanding dengan kedalam ilmu di dalam dirinya. Apabila seseorang hanya mempelajari aspek teknis, maka ia akan menjadi seorang teknisi; apabila yang dimiliki banyak informasi, maka ia akan menjadi seorang manajer; apabila informasi itu diolah menjadi pengetahuan, maka ia akan menjadi seorang pemimpin, dan apabila kedalaman pengetahuan yang dimiliknya mencapai kebenaran filosofis atau hikmah, maka ia akan menjadi seorang master (guru) atau begawan.

Salah satu cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang paling "gampang" dan populer adalah dengan membaca buku.

Baik sabda Nabi maupun ucapan Bacon ternyata terbukti kebenaranya di dalam sejarah peradaban manusia, baik dalam taraf individu maupun skala negara.

Coba kita perhatikan, bangsa yang maju secara teknologi adalah bangsa yang budaya literasinya tinggi. Sebaliknya, bangsa yang budaya literasinya rendah akan tertinggal.

Namun, bagaimana dengan Yunani yang beberapa tahun lalu nyaris saja mengalami kebangkrutan? Padahal Yunani adalah negara tempat dilahirkannya banyak filosof dunia. Malah Yunani sempat menjadi pusat peradaban dunia.

Menurut saya, hal itu terjadi karena orientasi literasi Yunani kepada humaniora, bukan teknologi. Filsafat berkembang, tetapi teknologi atau ilmu praktis material ditinggalkan.

Sedangkan negara-negara seperti Amerika, Jerman, Jepang, dan China adalah mereka yang mengembangkan ilmu rekayasa material.

Bahkan sempat ramai bahwa Jepang akan menghapus ilmu-ilmu humaniora dari pendidikan tingginya karena dianggap tidak berguna dalam kemajuan pembangunan.

Dari kasus ini sekali lagi kita melihat bahwa bukan masalah budaya literasi semata yang menjadi pendorong kemajuan, tetapi isi atau pesan dari materi bacaan itu sangatlah menentukan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi