Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Staf Ahli Komisi III DPR RI / Konsultan
Bergabung sejak: 13 Sep 2022

Sekjen IKAFE (Ikatan Alumni Fak. Ekonomi dan Bisnis) Universitas Hasanuddin. Pemerhati masalah ekonomi, sosial dan hukum.

Memahami Mudik sebagai Fenomena Protes

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga
Suasana antrean kendaraan pemudik terpantau langsung melalui foto udara dari helikopter rescue 3606 milik Basarnas di Pelabuhan Merak, Cilegon, Banten, Senin (8/4/2024). Berdasarkan pantauan pada H-2 Lebaran 2024 situasi jalan tol terlihat lancar dibandingkan dengan H-3, namun masih terjadi antrean kendaraan yang akan memasuki Pelabuhan Merak.
Editor: Sandro Gatra

MENURUT sejumlah catatan, “Mudik” sebagai istilah, sudah dikenal selama berabad-abad. Menelusuri kata “mudik” dalam bahasa Betawi, akarnya dari udik yang berarti kampung.

Sementara di tanah Jawa, mudik diriwayatkan berasal dari bahasa ngoko, yaitu “mulih dilik”, yang artinya pulang sebentar. (ganaislamika.com)

Kata mudik atau pulang ke kampung halaman bisa jadi sudah ada berabad-abad lamanya. Kebiasaan ini juga bisa ditemukan di banyak negara lain di dunia.

Namun fenomena mudik dalam skala besar dan bersifat kolosal dalam satu momen, agaknya hanya terjadi di Indonesia.

Di samping itu, fenomena ini sebenarnya juga terbilang baru di Indonesia. Bila kita melacak ke era sebelum kemerdekaan, fenomena mudik secara kolosal seperti sekarang, belum dikenali. Fenomena ini baru ada setelah kemerdekaan, atau tepatnya pada masa Orde Baru.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Patut diduga bahwa munculnya fenomena ini tidak lain disebabkan model pembangunan era Orde Baru yang bersifat terpusat di Pulau Jawa, khususnya Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya.

Sehingga orang-orang dari segala penjuru negeri lebih memilih meninggalkan kampung halamannya dan mengadu nasib di Ibu Kota. Dengan demikian, mudik yang mulanya merupakan tradisi kaum perantauan, berkembang menjadi tradisi kaum urban.

Kehidupan kaum urban adalah kehidupan mekanis; mengikuti ritme industrialisasi yang sistematis, teratur, terjadwal dan terstruktur, demikian juga dengan waktu libur.

Dan ketika bertemu momen libur cukup lama, maka mereka memutuskan pulang sebentar ke kampung halaman (mudik).

Sebagaimana layaknya kaum urban di banyak wilayah di dunia, mereka tidak pernah benar-benar mengalami integrasi yang utuh dengan bumi yang dipijaknya.

Ikatan mereka dengan kota-kota tempat mereka bekerja hanya bersifat ekonomi. Sedang kecintaan primordialnya, tetap terikat kuat dengan daerah asal atau tanah kelahirannya.

Itu sebabnya, ketika kegiatan ekonomi terhenti di kota, mereka tiba-tiba seperti kehilangan eksistensi. Seperti panggilan alam, mereka akan kembali ke tempat asalnya guna menemukan diri mereka yang sejati, apapun risikonya.

Andre Moller seorang jebolan Universitas Lund Swedia, dalam catatannya mengatakan, “setiap tahun, koran, radio, televisi dan media massa lainnya dipenuhi berita tentang susahnya, mahalnya, hingga bahayanya mudik. Namun setiap tahun juga orang-orang berbondong-bondong hendak pulang ke kampung halaman.” (Ramadhan di Jawa: 2005)

Sebagaimana dikatakan oleh Andre Moller, mudik bukan tanpa konsekuensi. Terhitung sejak beberapa dekade lalu, korban meninggal ketika mudik terus ada.

Penyebabnya bisa bermacam-macam, mulai dari kecelakaan, sakit dalam perjalanan, hingga disebabkan aksi kejahatan.

Selama bertahun-tahun, para sosiolog dan aktivis sosial melakukan protes dan berusaha mencari solusi atas kondisi ini.

Pemerintah, dari satu kepemimpinan ke kepemimpinan yang lain selalu menilai bahwa mudik dan problematika di dalamnya tidak lain sebatas masalah transportasi, infrastruktur, keamanan, dan sistem lalu lintas.

Sayangnya, cukup jarang disadari, bahwa fenomena mudik sebenarnya efek samping dari kesalahan kebijakan makro pembangunan. Di dalamnya tersaji sejumlah masalah yang lebih besar, yaitu masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Alfred Schutz, seorang ilmuwan Jerman yang berhasil menggabungkan perspektif fenomenologi dengan sosiologi empiris menilai bahwa fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak dapat berdiri sendiri, karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lanjut.

Dengan demikian, fenomena mudik dan segenap kompleksitas permasalahan yang ada di dalamnya, perlu dipandang lebih jauh dari sekadar fenomena sosial dan budaya.

Menurut Schutz, fenomena mudik adalah refleksi dari kompleksitas permasalahan nyata yang dihadapi bangsa ini. Yaitu ketimpangan ekonomi antara pusat-daerah akibat skema pembangunan yang terpusat atau tidak merata.

Dengan kata lain, fenomena mudik tidak lain merupakan manifestasi protes yang paling kolosal, masif dan alamiah, atas sejumlah masalah sosial, budaya, dan ekonomi yang kita hadapi selama ini.

Sama seperti bencana alam yang berfungsi mengembalikan keseimbangan ekosistem lingkungan, mudik juga berlangsung untuk mengembalikan keseimbangan ekonomi dan pembangunan antar wilayah dan daerah di Indonesia.

Instrumen pemerataan ekonomi

Dari perspektif ekonomi, belakang dipahami, bahwa fenomena mudik ternyata dapat menjadi instrumen pemerataan ekonomi antardaerah dan dapat menjadi salah satu langkah penting dalam membangun keseimbangan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam hal pemerataan pembangunan, aktifitas mudik yang berlangsung dalam skala masif dengan durasi cukup lama seperti akan kita jalani menjelang Lebaran, akan membuat uang dan jasa berputar lebih lama dari dan juga masif dari daerah maju ke desa-desa.

Ini tentu akan berkonstribusi besar terhadap pengandalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi negara.

Dan sebagai fenomena protes, tradisi mudik ini akan secara otomatis menuntut adanya dukungan infrastruktur memadai, jalan yang baik, transportasi umum yang terjangkau, serta fasilitas pendukung lainnya akan memudahkan akses mudik bagi masyarakat.

Selain itu, layanan-layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan juga perlu ditingkatkan di daerah-daerah yang menjadi tujuan mudik.

Dengan demikian, para pemudik tidak hanya merasakan kenyamanan dalam perjalanan mereka, tetapi juga memiliki insentif ekstra untuk berkontribusi pada pengembangan daerah.

Kita berharap, pemerintah bisa menangkap aspirasi protes yang publik sampaikan melalui fenomena mudik ini.

Sehingga mudik bukanlah hanya dianggap sekadar peristiwa tahunan, tetapi juga potensi besar bagi pemerataan ekonomi di Indonesia. Terlebih pada tahun ini, durasi mudik akan berlangsung cukup lama dan diprediksi akan masif.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memperkirakan jumlah pemudik pada periode Hari Raya Idul Fitri 2024 mencapai 193,6 juta orang. Perkiraan itu naik dari tahun lalu dengan jumlah pemudik sebanyak 123,8 juta orang.

Melalui dukungan infrastruktur, pemberdayaan potensi lokal, dan inovasi teknologi, tradisi ini bisa menjadi momentum yang membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah.

Dengan demikian, Indonesia dapat melangkah menuju keseimbangan pembangunan yang merata, menjadikan setiap sudut negeri ini sebagai pusat pertumbuhan yang berkelanjutan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi