Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Hak Veto dan Sederet Konversinya, Terbaru Gagalkan Palestina Jadi Anggota PBB

Baca di App
Lihat Foto
Spencer Platt/Getty Images/AFP
DK PBB. Apa itu hak veto? Pengertian hak veto, sejarah hak veto, negara pemegang hak veto. Para diplomat dan pihak-pihak lainnya menghadiri pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Timur Tengah, termasuk situasi di Gaza dan Israel pada tanggal 23 Januari 2024 di New York. Pertemuan ini diadakan di tengah meningkatnya seruan agar Israel mengizinkan lebih banyak bantuan masuk ke Gaza dan menerima negara Palestina di masa depan. Menlu RI Retno Marsudi turut hadir dalam debat terbuka itu.
|
Editor: Mahardini Nur Afifah

KOMPAS.com - Hak veto adalah hak istimewa yang dimiliki setiap anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).

Hak ini memungkinkan negara pemegang veto membatalkan suatu keputusan atau kesepakatan, meskipun kalah jumlah dalam pemungutan suara.

Penggunaan hak veto pun baru saja diterapkan Amerika Serikat (AS) dalam voting rancangan resolusi DK PBB yang membuka jalan keanggotan penuh Palestina dalam organisasi internasional PBB.

Diberitakan AP News, pemungutan suara yang digelar oleh 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB pada Kamis (18/4/2024) itu menghasilkan 12 suara setuju, dua abstain, dan satu menolak.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Suara abstain datang dari Inggris dan Swiss, sedangkan penolakan berasal dari AS yang memilih menggunakan hak vetonya.

Meski menang telak dengan 12 suara, jalan Palestina untuk menjadi anggota ke-194 PBB batal karena langkah AS.

Lantas, apa itu hak veto yang ternyata punya sejarah panjang dan kontroversial.  

Baca juga: DK PBB Sahkan Resolusi Gencatan Senjata di Gaza, Apa Sanksinya jika Israel atau Hamas Melanggar?


Apa itu hak veto PBB?

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hak veto adalah hak konstitusional penguasa (pemegang pemerintahan dan sebagainya) untuk mencegah, menyatakan, menolak, atau membatalkan keputusan.

Beberapa badan internasional mengadopsi hak veto, salah satunya Dewan Keamanan PBB yang berfungsi memengaruhi keputusan organisasi.

Dewan Keamanan PBB atau United Nations Security Council sendiri merupakan salah satu badan utama PBB yang diberi mandat untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

Dilansir dari laman resminya, Piagam PBB 1945 memberikan kursi keanggotaan tetap Dewan Keamanan PBB kepada lima negara.

Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan, 5 negara tersebut jugalah yang memiliki hak veto dalam PBB.

Berikut 5 negara pemilik hak veto PBB:

Hak veto sendiri sebenarnya tidak disebutkan secara eksplisit dalam Piagam PBB. Namun, Pasal 27 mengatur, semua keputusan Dewan Keamanan harus ditetapkan dengan suara setuju dari sembilan anggota termasuk suara lima anggota tetap.

Berikut bunyi Pasal 27 Piagam PBB yang secara tersirat menyatakan tentang hak veto:

  • Setiap anggota Dewan Keamanan memiliki satu suara
  • Keputusan Dewan Keamanan mengenai hal-hal prosedural harus diambil dengan suara setuju dari sembilan anggota
  • Keputusan Dewan Keamanan tentang semua hal lain harus diambil dengan suara setuju dari sembilan anggota termasuk suara setuju dari anggota tetap; dengan ketentuan bahwa dalam keputusan berdasarkan Bab VI, dan berdasarkan Pasal 52 ayat (3), pihak yang bersengketa harus abstain dari pemungutan suara.

Artinya, jika salah satu dari lima anggota tetap memberikan suara kontra dalam Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara, maka keputusan tidak akan disetujui.

Baca juga: Kata PBB soal Penolakan Pengungsi Rohingya di Indonesia

Sejarah hak veto Dewan Keamanan PBB

Hak veto sudah lebih dulu diterapkan dalam organisasi internasional sebelum PBB, yakni pada Liga Bangsa-bangsa (LBB) atau League of Nations.

Saat itu, setiap anggota LBB mempunyai hak veto terhadap keputusan non-prosedural. Artinya, setiap keputusan yang dihasilkan oleh LBB wajib disetujui oleh seluruh anggota.

Setelah LBB dibubarkan, AS, Inggris, dan Uni Soviet bertemu untuk merumuskan pembentukan PBB dalam Konferensi Dumbarton Oaks pada Agustus-Oktober 1944 dan Konferensi Yalta pada Februari 1945.

Setelah China bergabung sebagai anggota "asli", keempat negara tersebut pun sepakat untuk menerapkan prinsip konsensus.

Prinsip konsensus adalah prinsip kesepakatan bersama, yang berarti semua kebijakan yang dihasilkan harus berdasarkan persetujuan semua pihak.

Prinsip tersebut kemudian dicantumkan dalam Piagam PBB yang ditandatangani di San Fransisco, California, Amerika Serikat, pada 26 Juni 1945.

Piagam tersebut mulai berlaku sejak 24 Oktober 1945 setelah diratifikasi oleh lima pendiri PBB, yakni China, Perancis, Uni Soviet, Inggris, Amerika Serikat, serta mayoritas negara lain.

Sebagai "balas jasa" peran kelima pendiri PBB, mereka diberikan status khusus anggota tetap Dewan Keamanan PBB bersamaan dengan hak suara khusus atau hak veto.

Baca juga: Menlu Retno “Walk Out” Saat Israel Sampaikan Pernyataan di DK PBB, Ini Alasannya...

Kontroversi hak veto

Meskipun hak veto dimaksudkan sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan dan mencegah konflik, hal ini justru sering menjadi sumber kontroversi.

Kritik utama terhadap sistem veto adalah kemampuannya untuk memblokir tindakan, meski ada konsensus luas di antara anggota PBB lainnya.

Hal tersebut dapat menghambat respons internasional terhadap krisis kemanusiaan atau pelanggaran hak asasi manusia.

Sebagai contoh, dilansir dari Kompas.com, Selasa (27/2/2024), penggunaan hak veto telah menghalangi intervensi kemanusiaan di Gaza, Palestina.

Bahkan, dalam praktiknya, penggunaan hak veto juga dianggap kerap mencerminkan strategi geopolitik dan kepentingan nasional negara pemegang veto.

Kondisi ini memicu dinamika kompleks dalam hubungan internasional, di mana negara-negara anggota PBB lain harus bernegosiasi dan mencari kompromi dengan lima anggota tetap agar mencapai tujuan bersama.

Implikasi dari sistem itu, yakni reformasi atau keputusan penting dalam kebijakan internasional sering memerlukan waktu yang lama untuk dicapai, mengingat kebutuhan mendapatkan persetujuan dari semua pemegang veto.

Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Shofwan Al Banna menuturkan, penghapusan hak veto anggota tetap Dewan Keamanan PBB bisa saja dilakukan.

Namun, dia menggarisbawahi, penghapusan baru bisa terwujud jika negara-negara yang memiliki hak istimewa sepakat untuk melepaskannya melalui sebuah konsensus.

Sayangnya, akan sulit bagi negara-negara yang memiliki hak veto untuk mau melepaskan hak istimewanya begitu saja.

Baca juga: Sebulan Konflik di Gaza, Ribuan Nyawa Melayang dan PBB yang Tak Berdaya

Upaya membatasi penggunaan hak veto

Kendati demikian, seruan untuk menghapus hak veto atau bahkan upaya reformasi di dalam tubuh PBB tak terpadamkan.

Misalnya, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia 2005, Panel Tingkat Tinggi mengenai Ancaman, Tantangan, dan Perubahan menyerukan agar para anggota tetap berjanji untuk tidak menggunakan hak veto dalam kasus genosida dan pelanggaran HAM skala besar.

Pasca-KTT tersebut, sebuah grup terdiri dari Kosta Rika, Yordania, Liechtenstein, Singapura, dan Swiss yang menyebut diri sebagai Small Five (S5) secara aktif mendesak anggota tetap untuk tidak menggunakan hak veto untuk menghalangi tindakan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

S5 dibubarkan pada 2012, tetapi agenda dan sikapnya terhadap veto tetap diteruskan oleh Accountability, Coherence, and Transparency (ACT), sebuah kelompok lintasregional terdiri dari 27 negara kecil dan menengah.

Kelompok ini bertujuan meningkatkan efektivitas Dewan Keamanan melalui perbaikan metode kerja, termasuk memberlakukan pembatasan pada penggunaan veto.

Usaha pembatasan hak veto lainnya terjadi pada September 2014, ketika Prancis dalam Sidang Umum ke-69 bersama Meksiko berinisiatif mengadakan pertemuan tingkat menteri untuk membahas masalah ini.

Sama seperti upaya-upaya sebelumnya, pertemuan itu menghasilkan desakan terhadap anggota tetap agar secara sukarela dan kolektif berjanji tidak menggunakan veto dalam kasus genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang berskala besar.

Kendati demikian, hanya Inggris yang mendukung inisiatif pembatasan penggunaan hak veto oleh anggota tetap tersebut.

Isu mengenai hak veto kembali diungkit pada pertemuan Dewan Keamanan PBB pada 17 November 2023.

Banyak negara yang mengulangi pandangan mengenai perlunya membatasi penggunaan hak veto oleh anggota tetap.

Perwakilan Ukraina mengatakan, sangat tidak pantas jika sebuah negara yang memiliki keanggotaan tetap memiliki hak istimewa untuk menggunakan hak veto.

Terlebih, jika negara tersebut terlibat langsung sebagai pihak yang berkonflik atau menjadi penghasutnya.

Pembatasan penggunaan hak veto oleh anggota tetap seharusnya bukan hanya mencakup kasus genosida, tetapi juga harus mencakup konflik di mana anggota tersebut terlibat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi