PADA era media sosial yang masif dan segala hal harus berlomba-lomba disampaikan secara receh, apakah merayakan sosok pendidikan sebesar Ki Hadjar Dewantara (KHD) setiap tahun beserta segala nilai-nilainya masih dianggap relevan?
Pertanyaan itu mau tidak mau muncul karena 78 tahun setelah kemerdekaan Indonesia dan sejak 2 Mei dirayakan sebagai Hari Pendidikan Nasional mulai 1959, rasanya masih begitu panjang jalan perbaikan dan pembebasan yang harus ditempuh dunia pendidikan dan kebudayaan kita.
Untuk itu, mungkin ada perlunya kita kunjungi kembali jejak langkah KHD, sosok sederhana yang namanya begitu familiar, tapi sekaligus juga begitu tidak kita kenali ini.
Dalam bahasa anak jaman sekarang, KHD memang lahir dari keluarga privileged. Ia datang dari keluarga Pakualam di Keraton Jogja.
Namun setelah kelahirannya, terjadi resesi panjang yang menuntut setiap orang untuk hidup prihatin agar dapat bertahan dari kesulitan kolektif. Ayah KHD menghentikan total budaya feodal Jawa pada saat itu yang biasa hidup secara royal dan mewah.
Kesulitan dan kesempitan semacam ini ternyata membentuk kepribadian KHD di kemudian hari. Meskipun menikmati pendidikan dasar di Europesche Lagere School (ELS) karena statusnya sebagai priyayi, tapi KHD kerap mengajak anak-anak sekitar keraton untuk bermain dan belajar bersama.
Ketika usianya belasan tahun, ia yang berbadan kecil bersama teman-teman melawan sekelompok sinyo Belanda yang berbadan lebih besar yang kedapatan sedang mem-bully anak-anak perempuan di suatu sudut gang.
Ia ditegur oleh keraton karena kericuhan ini, tapi dari situ benih asmara tumbuh antara dirinya dengan Sutartinah, salah satu anak perempuan yang dibelanya, dan kelak akan menjadi istrinya.
Setelah lulus pendidikan dasar ELS, ia lanjut STOVIA, pendidikan dokter untuk kalangan elite. Namun ia tidak menyelesaikan studinya karena terlanjur jatuh hati dengan kegiatan jurnalistik.
Perlawanan melalui kegiatan tulis menulis dan menggugat lewat pena dianggapnya lebih efektif sebagai upaya pembebasan dari kolonialisme.
Melalui aktivisme jurnalistik ia berkenalan dengan dua bestienya yang lain; Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo.
Melawan lewat tulisan
Pada umur 23 tahun, ia membuat tulisan yang menggegerkan berjudul Djika Saja Seorang Belanda (Als ik een Nederlander). Ia dimasukkan penjara karena tulisannya itu dan dibuang ke Belanda.
Namun tak pernah sekalipun asanya luntur. Di kapal Bulow dalam perjalanan pengasingan ke Belanda, ia menulis surat untuk kawan-kawan seperjuangan supaya api semangat tidak padam.
Di akhir tahun yang sama pada 1913, KHD menyempatkan menulis Satu untuk Semua, Semua untuk Satu (Een voor Allen, maar ook allen voor een) yang berisi seruan pada semua khalayak Hindia agar tetap berani menentang kesewenangan penjajah.
Setelah itu, pada 1928 saat umurnya 40 tahun, seorang ningrat yang bernama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat memutuskan untuk melepas sepenuhnya identitas keningratannya dan memilih nama Ki Hadjar Dewantara karena secara egaliter ingin melebur dengan identitas rakyat biasa.
Sebagai laki-laki Jawa yang hidup pada masa kolonialisme, keberpihakan KHD pada kaum perempuan sungguh amat progresif melampaui zamannya.
Pada Desember 1928, KHD menulis Sjair Pagar Keselamatan yang isinya menyemangati kaum perempuan untuk maju dan merdeka dalam hidupnya.
KHD juga menulis Perempoean dalam Doenia Pendidikan tentang keterlibatan peran perempuan yang menurutnya sangat penting terutama sebagai pendidik. Ia menganggap bahwa perempuan lebih mampu dalam melakukan pendekatan batin kepada anak didik.
Pada tahun 1931, ia kembali menulis Vrouwenraad dalam Taman Siswa; pentingnya memiliki badan khusus perempuan sebagai bagian utama dari keluarga besar Taman Siswa.
Seniman dan sastrawan
Selain itu, sebagai karakter yang eklektik, lembut, sekaligus nasionalis, banyak karya KHD lain yang belum banyak diketahui publik.
Beberapa di antaranya adalah dua buah syair berjudul Lagoe Internasional dan Marsch Socialist yang dikumandangkan tahun 1920, sebagai bentuk Perayaan Hari Buruh Internasional.
KHD memang secara konsisten memberikan penekanan pentingnya peran kesenian kebudayaan dalam pendidikan.
Sehingga tak heran bahwa semasa hidupnya ia tak hanya aktif menulis, tetapi juga membuat syair dan lagu. Beberapa lagu lain yang ia buatkan notasinya untuk pelajaran bernyanyi di TS adalah Langen Soeka (Lagu Gembira) dan Kembang Setaman.
Ia kerap mengingatkan pentingnya peran seni budaya untuk melembutkan hati dan jiwa manusia termasuk penggunaan tembang, gamelan, dan sastra untuk mengajarkan murid-muridnya.
Terlepas dari segala perhatiannya pada kehidupan publik berbangsa dan bernegara, KHD tetap hadir sebagai seorang Ayah yang penuh kasih untuk keluarga.
Anak pertama KHD dengan Sutartinah adalah seorang anak perempuan berkebutuhan khusus. Namun tidak seperti orang-orang pada waktu itu yang kerap merasa situasi ini semacam aib, KHD justru selalu melibatkan Jeng Asti - anak perempuannya itu -hampir di seluruh kesempatan.
Jeng Asti akan diperkenalkan dengan bangga pada semua orang dan akan menyambut tamu-tamu yang datang ke rumah KHD pada acara kasual maupun formal.
Melihat begitu kayanya keteladanan yang dapat kita ambil dari sesosok figur lemah lembut seperti KHD, rasanya pertanyaan mengenai relevansi menjadi terasa dangkal.
Pada hari-hari di mana keteladanan menjadi barang langka yang begitu mahal harganya, membaca ulang nilai-nilai yang diwarisi oleh para pendiri bangsa seperti KHD menjadi tanggung jawab bagi kita semua.
Konsep Merdeka Belajar sesuai warisan konsep pendidikan KHD yang sudah digulirkan selama beberapa tahun belakangan ini harus terus dilanjutkan, disempurnakan pelaksanaannya, dan dikawal bersama.
Begitu pula dengan komitmen soal pentingnya seni budaya dalam membangun jiwa dan membentuk kepribadian bangsa.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.