KOMPAS.com - Presiden terpilih Prabowo Subianto diusulkan membentuk kabinet pemerintahan baru yang berisikan 40 kementerian yang dipimpin oleh 40 menteri.
Usulan tersebut datang dari Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara Hukum Administrasi Negara, seperti dikutip dari siaran Kompas TV, Senin (6/5/2024).
Asosiasi tersebut mengusulkan penambahan kementerian baru untuk memenuhi keseluruhan urusan pemerintah. Karena itu, pengaturan jumlah kementerian perlu ditinjau ulang.
Asosiasi ini mengusulkan perlu dibentuk Kementerian Pangan Nasional, Kementerian Perpajakan dan Penerimaan Negara, Kementerian Pengelolaan Perbatasan dan Pulau Terluar, serta Kementerian Kebudayaan.
Terkait hal tersebut, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menilai penambahan jumlah menteri merupakan hal wajar. Pasalnya, Indonesia merupakan negara besar yang butuh pemerintahan besar dan banyak kementerian sehingga bisa menguntungkan warganya.
Namun, dia membantah hal ini sebagai bagian dari upaya bagi-bagi kursi di kabinet di antara partai politik.
"Ya itulah kesalahan cara berpikir, enggak apa-apa, jadi masukan bagi kami. Jangan sampai hanya sekadar untuk mengakomodir kepentingan politik," kata Habiburokhman.
Sebagai perbandingan, presiden ketujuh Indonesia Joko Widodo saat ini memiliki 30 kementerian bidang dan 4 kementerian koordinator dalam Kabinet Indonesia Maju.
Lalu, bisakah presiden Indonesia membentuk kabinet dengan 40 kementerian?
Baca juga: Beredar Bocoran Kabinet Prabowo-Gibran, AHY Jadi Menko Polhukam dan Terawan Jadi Menkes
Aturan jumlah menteri dalam kabinet
Pakar hukum administrasi negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Richo Andi Wibowo mengungkapkan, jumlah kementerian yang dapat dibentuk oleh presiden diatur dalam Pasal 15 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
"UU Kementerian Negara membatasi jumlah kementerian menjadi maksimal 34 buah," terangnya, saat dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (7/5/2024).
Richo menyatakan, ketentuan ini dibuat untuk memastikan pemerintahan berjalan efektif serta membuat isu-isu serumpun dapat diatur dalam satu kementerian.
Dia menilai hal tersebut sesuai semangat reformasi birokrasi dan mencegah regulasi dibentuk berdasarkan ego sektoral.
Karena itu, dia menyerukan kabinet baru tidak boleh sengaja membentuk koalisi yang "gemuk" untuk menjamin kepentingan politik terpenuhi.
"Jangan sampai pemerintah daerah disuruh efektif, tapi pemerintah pusat malah tidak efektif. Jangan sampai birokrat disuruh netral, tapi presiden dan menteri mempertunjukkan ketidaknetralan dengan gamblang," tutur dia.
Terkait aturan diubah untuk memenuhi keinginan penambahan menteri, Richo menyebut UU Kementerian Negara memang dapat diubah. Namun, dia menanyakan urgensi perubahannya.
"Apa alasan hukum dan konseptual mengubah norma kuncian di atas? Apa bukti-bukti empirisnya, termasuk apa bukti bahwa perubahan ini bukan untuk kepentingan politik sesaat saja?" tanyanya.
Tanpa alasan jelas, lanjut dia, perubahan UU Kementerian Negara dinilai terkesan mengada-ada. Richo menyebut, perubahan ini akan cacat legitimasi sosial.
Baca juga: Daftar Partai Koalisi Prabowo-Gibran Usai Ditetapkan Jadi Presiden dan Wakil Presiden Terpilih
Harus mengubah undang-undang
"Tidak bisa tidak (maksimal 34 menteri). (Kalau ingin 40 menteri) harus mengubah undang-undangnya dulu. Tidak ada delegasinya dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden," jelas dia saat dihubungi Kompas.com, Selasa.
Bivitri menambahkan, pemerintahan Jokowi sayangnya mungkin mengubah undang-undang dalam waktu singkat. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk mengubah UU Kementerian Negara sehingga jumlah kementerian lebih dari 34 jelang pembentukan kabinet.
Dia melanjutkan, perubahan UU sesungguhnya diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika sesuai aturan itu, terdapat tahapan yang harus dipenuhi untuk mengubah UU.
Dalam asas itu, ada lima tahap pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.
"Suatu UU, kalau tidak ada di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dan Prolegnas Tahunan, itu tidak ada. UU Kementerian Negara itu jelas tidak ada sehingga tidak bisa tiba-tiba dibahas," tegas Bivitri.
Di sisi lain, saat ini tidak ada waktu yang cukup untuk mengubah UU Kementerian Negara sebelum kabinet baru disahkan. Pengesahan kabinet dilakukan usai presiden terpilih dilantik, yaitu pada Oktober mendatang.
Selain itu, pilkada serentak akan terlaksana pada November 2024. Bvitri menilai, banyak anggota DPR selaku pembuat UU akan sibuk mengurusi pilkada.
Dia juga menekankan tidak boleh ada proses perubahan perundang-undangan yang mengubah sistem ketatanegaraan secara signifikan pada masa transisi perubahan pemerintahan seperti sekarang.
Baca juga: Profil Lengkap Eko Patrio, Disiapkan PAN Jadi Menteri Prabowo
Ada persiapan ubah jumlah menteri
Sayangnya, Bivitri tak memungkiri perubahan UU pada masa pemerintah Jokowi dapat dilakukan dalam waktu cepat. Dia mencontohkan Revisi UU KPK dibuat dalam waktu dua minggu atau Revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara hanya dalam enam hari kerja.
"Tidak ada yang tak mungkin dalam masa pemerintahan Pak Jokowi," ungkapnya.
Dia menambahkan, UU Kementerian Negara tidak boleh diubah pada masa transisi pemerintahan dari Jokowi ke presiden terpilih Prabowo secara etika. Sayangnya, dia menilai, etika kurang diperhatikan oleh pemerintahan sekarang.
Di sisi lain, Bivitri menyebut UU Kementerian Negara dapat diubah saat kabinet baru sebentar lagi ditetapkan jika diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Hal sama terjadi pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengubah batas usia calon wakil presiden.
"Yang saya dengar, sudah ada kelompok-kelompok yang siap-siap untuk menjadi pemohon ke Mahkamah Konstitusi supaya (jumlah maksimal kementerian) diubah dari 34 menjadi 40 atau 39," ungkap dia.
Meski tidak mungkin dilakukan sesuai UU Kementerian Negara yang kini berlaku, Bivitri menegaskan peraturan itu berpotensi besar berubah hanya dalam waktu singkat jika diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.