Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 15 Jun 2022

Dosen Tetap Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Tarumanagara

Pekerjaan untuk Juru Parkir Liar Minimarket

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/LASTI KURNIA
Motor parkir di pinggir jalan samping gedung perkantoran di Jalan Tali Raya, Jakarta, Senin (8/4/2013). Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) berencana menggandeng Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), untuk melihat kemungkinan penerapan sistem donasi parkir yang diterapkan di Hungaria untuk mengatasi parkir liar. Donasi parkir menetapkan orang membayar parkir berdasarkan kebutuhan, bekerja sama dengan juru parkir dan menggunakan teknologi sistem Information Technology (IT).
Editor: Sandro Gatra

WALAU sudah dipasang spanduk atau stiker dengan tulisan besar “Parkir Gratis Khusus Pengunjung” di depan minimarket terkemuka, juru parkir liar atau tidak resmi tetap saja hadir menyambangi pengunjung yang membawa sepeda motor atau mobil pribadi.

Yang tidak mau ambil pusing, memberikan selembar dua ribuan. Yang mau bersitegang, berlalu saja tanpa memberikan uang sembari menunjuk tulisan besar “parkir gratis” itu. Pengunjung pun resah.

Sebagai bagian dari layanan yang diberikan, pengelola minimarket merasa berkepentingan untuk “membebaskan” tarif parkir pengunjung karena area parkir adalah milik minimarket sendiri.

Seperti rumah yang punya area parkir tamu, masa tamunya dikutip uang parkir? Kurang lebih seperti itu.

Selain telah membayar retribusi, minimarket juga tidak memperoleh pendapatan dari parkir pengunjung.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun, pengelola minimarket tak kuasa juga ketika juru parkir liar hadir tanpa diundang seperti turut membantu mengatur motor dan mobil yang parkir.

Pemprov DKI pun akhirnya menanggapi dengan menertibkan juru parkir liar. Satpol PP dan juru parkir seperti main kucing-kucingan. Pemprov DKI mencoba memberi solusi wacana dengan memberikan pekerjaan.

Petugas parkir atau juru parkir adalah salah satu dari sekian banyak pekerjaan informal. Yang lain adalah pengamen, pemulung, pedagang kaki lima, tukang ojek, penjahit, buruh tani, asisten rumah tangga, tukang bangunan dan sebagainya.

Sebagaimana disebutkan BPS, pada 2023, rata-rata pendapatan pekerja informal adalah Rp 1,86 juta per bulan.

Seorang juru parkir liar mengaku bisa memperoleh pendapatan Rp 100.000 per hari yang mesti disetor ke RW. Namun itu tidak tentu juga karena berfluktuasi tergantung jumlah pengunjung yang datang.

Upaya penertiban yang dilakukan pun membuat mereka gelisah. “Kalau dilarang bekerja itu, mau kerja apa lagi?” demikian sebagian keluhan mereka.

Memberi pekerjaan kepada juru parkir liar bukan semudah membalik tangan atau sekadar bicara tanpa kejelasan. Ada aspek-aspek yang harus diperhatikan.

Pertama, motivasi menjadi juru parkir.

Sebagian dari mereka adalah penganggur, atau menambah penghasilan dari pekerjaan informal lain yang penghasilannya rendah dan tidak menentu. Mereka bekerja semata untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Motivasi mencari uang hanya untuk makan bisa menjadi hal yang utama. Pemenuhan kebutuhan yang amat mendasar ini tampaknya begitu mendesak. Peran negara harus hadir di sini.

Kedua, keterampilan yang dimiliki.

Jika mau diberi pekerjaan, apa keterampilan yang mereka miliki? Ini menjadi kendala. Perlu identifikasi keterampilan, pengalaman atau bekal lain yang mereka miliki, agar dapat dipekerjakan secara layak.

Jika tidak punya keterampilan memadai, barangkali peminatan apa yang sesuai untuk mereka.

Ketiga, pola pikir. Pola pikir yang terbuka, bahwa mereka ingin berubah menjadi lebih baik, menjadi hal yang tidak kalah penting. Hanya dengan pendidikan dan pelatihan hal itu bisa terjadi selain faktor lingkungan yang memberikan pengaruh tidak kalah kuat.

Kemudian siapa yang mau melatih dan mendidik mereka? Mungkin kalangan lembaga pendidikan tinggi sebagai bagian dari program pengabdian kepada masyarakat (PKM) dapat mengambil peran melalui kolaborasi dengan perusahaan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial (CSR).

Munculnya “fenomena” juru parkir liar adalah gunung es dari sekian banyak pekerjaan informal yang kadang dianggap meresahkan, namun ada kalanya juga terasa bermanfaat seperti pengatur lalu lintas di putaran atau persimpangan jalan yang dulu akrab disebut “Pak Ogah”.

Kemudian sempat hadir SUPELTAS (Sukarelawan Pengatur Lalu Lintas), untuk mewadahi para “Pak Ogah”, di bawah koordinasi Satlantas (Satuan Lalu Lintas), yang kini tidak jelas juga nasibnya.

Akankah nasib juru parkir liar seperti “Pak Ogah”?

Begitu banyak pekerja informal yang membutuhkan perhatian pemerintah agar tidak menjadi beban masyarakat berkepanjangan.

Siapapun, jika ada pilihan lebih baik, tidak akan menjalani pekerjaan itu. Solusi terbaik dan berkelanjutan sungguh diharapkan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi