Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Kecelakaan akibat Turbulensi Pesawat Kian Meningkat karena Perubahan Iklim, Kok Bisa?

Baca di App
Lihat Foto
Freepik/Trinity Moss
Dampak perubahan iklim terhadap kecelakaan pesawat.
|
Editor: Mahardini Nur Afifah

KOMPAS.com - Studi terbaru menunjukkan, climate change atau perubahan iklim dapat meningkatkan risiko kecelakaan pesawat akibat turbulensi.

Perubahan iklim adalah berubahnya pola cuaca dalam jangka panjang sehingga mengubah iklim lokal, regional, dan global.

 

Laporan penelitian ilmuwan di University of Reading, Inggris yang diterbitkan jurnal Climate Dynamics edisi Maret 2023 menunjukkan, perubahan iklim menyebabkan suhu di atmosfer meningkat.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kondisi tersebut bisa memengaruhi kehidupan di Bumi, termasuk jadi faktor penyebab turbulensi pada pesawat.

Baca juga: Aplikasi Prakiraan Cuaca Deteksi Badai Petir saat Pesawat Singapore Airlines Turbulensi Parah

Penulis pertama laporan tersebut, Isabel H. Smith dari Department of Meteorology mengatakan, 71 persen kecelakaan di pesawat disebabkan karena turbulensi atmosfer.

Kondisi tersebut diproyeksikan bakal terus memburuk seiring berjalannya waktu, karena efek perubahan iklim kian kentara.

Untuk diketahui, turbulensi adalah perubahan kecepatan aliran udara yang menimbulkan guncangan pada pesawat.

Ada banyak penjelasan mengapa turbulensi kerap terjadi. Namun, sejumlah pengamat turut mencermati kemungkinan dampak perubahan iklim bisa meningkatkan kasus turbulensi di seluruh dunia.

Baca juga: Apa Itu Turbulensi? Ini Pengertian, Penyebab, dan Dampaknya pada Pesawat

Kasus turbulensi terus meningkat

Diberitakan Ahmad Arif via Kompas.id, lebih dari sepertiga kecelakaan udara di Amerika Serikat (AS) sepanjang tahun 2009-2018 disebabkan turbulensi.

Turbulensi setidaknya mengakibatkan satu atau lebih cedera serius terhadap penumpang atau awak pesawat. Namun, Badan Keselamatan Transportasi (NTSB) AS mencatat tidak ada laporan kerusakan serius terhadap pesawat.

Dalam rentang waktu 2009-2022, NTSB mencatat sebanyak 163 orang terluka serius akibat turbulensi dalam penerbangan.

Direktur Penerbangan dan Teknis Operasi Asosiasi Transportasi Penerbangan Internasional (IATA) Stuart Fox juga menyampaikan, kematian akibat turbulensi saat udara cerah di pesawat tercatat terakhir dilaporkan pada 1997.

Insiden-insiden lain tercatat menimpa penumpang pesawat–pesawat kecil, termasuk sebuah jet pribadi pada 2023.

Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan, turbulensi bisa disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari pergerakan angin, naiknya udara panas dari permukaan bumi, dan pertemuan udara panas dan udara dingin, serta perubahan arah angin.

Turbulensi juga bisa terjadi saat udara jernih atau clear-air turbulence (CAT). CAT bakal lebih berbahaya bagi dunia penerbangan ke depan. Fenomena ini biasanya berkembang di lingkungan bebas awan di atmosfer tingkat atas.

"CAT biasanya terjadi pada pesawat yang terbang di ketinggian lebih dari 35.000 kaki," kata Alvin, saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (22/5/2024).

CAT dapat membahayakan penerbangan lantaran tidak terdeteksi oleh pilot dan radar onboard.

"Clear air terbulance (CAT) itu turbulensi saat cuaca cerah yang tidak terdeteksi radar. Jadi pilot tidak tahu bahwa di depannya ada turbulensi," imbuh dia.

Baca juga: Cerita Penumpang Singapore Airlines Saat Turbulensi, Tanpa Peringatan dan Penumpang Terlempar dari Kursi

Dampak perubahan iklim terhadap kecelakaan pesawat

Kepala Pusat Meteorologi Penerbangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Achadi Subarkah Raharjo menyampaikan, ada kelindan antara perubahan iklim dan kecelakaan pesawat terkait turbulensi.

"Pemanasan global menyebabkan atmosfer menjadi lebih tidak stabil, sehingga menghasilkan aliran udara yang lebih kacau," kata dia, saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (22/5/2024).

Hal tersebut dapat meningkatkan frekuensi dan intensitas turbulensi, terutama di ketinggian penerbangan yang lebih tinggi.

Studi yang dilakukan MIT dan NASA juga mengungkap hal yang sama. Disebutkan, peningkatan turbulensi berketerkaitan dengan perubahan iklim.

Perubahan iklim juga menyebabkan terjadinya perubahan pola cuaca ekstrem, sehingga  menyebabkan terjadinya badai, hujan lebat, dan angin kencang yang lebih sering terjadi.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2021, yang merupakan sintesis dari penelitian ilmiah terbaru tentang perubahan iklim menyimpulkan, intensitas hujan lebat 1,5 kali lebih sering terjadi di beberapa wilayah dunia.

Hal tersebut mengganggu penerbangan, menyebabkan penundaan, pembatalan, dan bahkan pendaratan darurat.

Di sisi lain, perubahan iklim juga berdampak pada infrastruktur bandara.

"Kenaikan permukaan laut dan peristiwa cuaca ekstrem dapat merusak landasan pacu, bandara, dan infrastruktur penting lainnya di bandara. Hal ini dapat mengganggu operasional penerbangan," kata Achadi.

Baca juga: Kronologi Singapore Airlines Alami Turbulensi, 1 Penumpang Meninggal

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi