Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Starlink Resmi Diluncurkan di Indonesia, Pakar Ingatkan Potensi Ancaman Siber

Baca di App
Lihat Foto
Starlink
Ilustrasi Starlink.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Elon Musk resmi meluncurkan layanan internet satelit Starlink di Denpasar, Bali pada Minggu (19/5/2024) pagi.

Hal itu menandakan Starlink milik Elon Musk ini resmi beroperasi di Indonesia dengan menawarkan berbagai paket bagi pelanggan.

Harga perangkat Starlink ini paling murah Rp 7.800.000 dan termahal sebesar Rp 43.721.590. Sementara untuk harga paket internet per bulannya, berkisar mulai dari Rp 750.000 sampai dengan Rp 86.130.000.

Layanan internet Starlink ini juga sudah terpasang di 10 titik kunci Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara pada awal Mei 2024. Starlink dipastikan dapat diakses 3.400 puskesmas di daerah terpencil.

Pakar keamanan siber sekaligus Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber (CISSReC) Pratama Persadha mengatakan bahwa Starlink bisa memberikan berbagai manfaat di Indonesia khususnya di daerah terpencil, seperti di bidang kesehatan, pendidikan, dan perekonomian digital. 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun, ia mengingatkan berbagai potensi ancaman siber untuk Indonesia.

“Adapun yang perlu diperhatikan untuk layanan Starlink ini adalah karena bagaimanapun Starlink adalah perusahaan asing,” ujar Pratama melalui keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Rabu (22/5/2024).

Lantas, apa saja potensi ancaman siber tersebut?

Baca juga: Starlink Milik Elon Musk Resmi Beroperasi di Indonesia, Ini Kelebihan dan Kekurangannya

Potensi ancaman siber Starlink

Berikut sejumlah potensi ancaman siber yang dapat timbul dari penggunaan Starlink sebagaimana disampaikan oleh Pratama:

1. Campur tangan kontrol jaringan dari pihak asing

Potensi ancaman siber pertama yang dapat timbul dari Starlink tersebut adalah berkurangnya kekuatan pemerintah dalam mengontrol jaringan dan infrastrukturnya.

Hal tersebut dikarenakan adanya kemungkinan mengenai ketergantungan pada layanan internet satelit itu.

“Di mana berarti bahwa negara mungkin tidak dapat mengambil tindakan yang diperlukan dalam situasi darurat atau konflik,” ungkap dia.

Pratama menilai, ketergantungan yang berlebihan terhadap layanan internet satelit dari perusahaan asing dapat menyebabkan negara menjadi lebih rentan terhadap campur tangan pihak asing dalam operasional infrastruktur komunikasinya.

Negara berpotensi tidak memiliki kontrol penuh atas jaringan, termasuk kemampuan untuk menghentikan atau mengalihkan layanan sesuai dengan kebijakan nasional dalam situasi darurat.

“Jika akses ke layanan tersebut terganggu atau dihentikan oleh negara asing atau entitas jahat, hal ini dapat mengganggu kemampuan negara untuk berkoordinasi dan mengambil tindakan yang efektif dalam situasi darurat atau konflik,” tuturnya.

Sementara, seperti diketahui bahwa layanan internet ini sangat penting untuk komunikasi dan koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan militer.

Sehingga, gangguan atau penghentian akses ke layanan ini dapat mengganggu fungsi-fungsi penting yang melibatkan keamanan nasional.

Pada 28 Februari 2022, Starlink memberikan akses internet gratis kepada pemerintah Ukraina.

“Setelah cukup lama pemerintah Ukraina menggunakan layanan ini dan sudah menjadi suatu ketergantungan, pada tanggal 30 September 2022 Starlink menghentikan layanannya,” jelasnya.

Hal tersebut kemudian mengancam nyawa prajurit Ukraina yang sedang berada di medan pertempuran, karena komunikasi dari pemerintah pusat terganggu.

Baca juga: Pembinaan Angkatan Siber Indonesia

2. Akses yang tidak diinginkan dari pihak asing

Potensi ancaman siber selanjutnya yaitu adanya akses yang tidak diinginkan di mana pihak asing dapat mencoba mengakses infrastruktur satelit untuk tujuan merugikan negara, seperti mata-mata.

“Sehingga keamanan infrastruktur satelit perlu dijaga dengan ketat untuk mencegah akses yang tidak diinginkan,” terang Pratama.

Pratama menilai, ancaman siber terhadap infrastruktur satelit dapat menjadi masalah serius.

Masalah tersebut terjadi ketika serangan siber yang berhasil dapat memengaruhi operasional satelit, merusak atau mematikan satelit, mencuri informasi penting, atau mengganggu komunikasi.

Pihak asing juga bisa memanfaatkan satelit untuk melakukan serangan fisik dengan mengubah orbitnya dan dijatuhkan di titik-titik vital negara, seperti layanan listrik dan minyak.

“Termasuk menjatuhkan satelit ke pusat pemerintahan yang bisa menimbulkan banyak korban jiwa bahkan bisa mengancam nyawa presiden serta jajaran menteri,” ujar Pratama.

Ia mengungkapkan, satelit hanya berada di Low Earth Orbit sehingga masih akan ada sisa fisik satelit yang sampai ke Bumi meski sebagiannya terbakar di atmosfer.

Potensi tersebut bukan tidak mungkin terjadi, karena pada 2006 seorang hacker bernama Jim Geovedi berhasil meretas satelit.

“Jim Geovedi berhasil melakukan peretasan dan mengubah orbit satelit milik China dan Indonesia,” kata Pratama.

Baca juga: Unlocked dan Kisah Nyata Kejahatan Siber di Korea

Lihat Foto
Starlink
Internet satelit Starlink yang bisa menjangkau wilayah terpencil.
3. Fungsi pengawasan penegak hukum menjadi lebih sulit

Dengan akan semakin masifnya perkembangan Starlink, juga dapat menimbulkan masalah baru untuk aparat penegakan hukum serta intelijen.

Sebab, menurut Pratama, alat-alat lawfull intercept dan monitoring yang sudah dimiliki tidak akan terpakai karena perbedaan teknologi yang.digunakan.

“Hal tersebut menyebabkan seolah-oleh aparat penegakan hukum dan intelijen kita buta dan tuli terhadap komunikasi yang dilewatkan Starlink tersebut,” ungkap dia.

Sejauh ini, pelaksanaan lawfull intercept dan monitoring tersebut masih bisa dilakukan karena Starlink bekerja sama dengan Network Access Provider (NAP) lokal untuk layanan backbone internetnya supaya bisa mendapatkan izin ISP (Internet Service Provider).

Meski begitu, ia menilai bahwa tidak ada jaminan bahwa Starlink hanya akan menggunakan bandwidth internet dari NAP lokal saja.

“karena sebetulnya tanpa bekerja sama dengan NAP lokal Starlink bisa memanfaatkan sistem ‘Laser Link’ yang mereka miliki dapat menghubungkan masing-masing satelitnya,” kata Pratama.

Laser Link tersebut, jelas dia, juga bisa dimanfaatkan untuk menyediakan backbone ke layanan internet Starlink.

Jika hal itu terjadi, maka kemungkinan pemerintah tidak dapat melakukan apapun karena semua infrastrukturnya berpotensi tidak bisa sesuai peraturan dan hukum di Indonesia.

“Terlebih dalam satu laser link tersebut bisa melewatkan trafik internet sampai 100 gigabit per detik (gbps),” ungkap Pratama.

Baca juga: Amankah Klik Accept All Cookies yang Muncul di Situs Internet?

Diharapkan Starlink selalu mematuhi regulasi

Dengan banyaknya ancaman tersebut, kata Pratama, pemerintah perlu memastikan bahwa Starlink akan selalu mengikuti regulasi yang diberikan.

“Sehingga kita masih memiliki kedaulatan digital meskipun ada Starlink di Indonesia,” katanya.

Ia berharap, Starlink selalu menaati regulasi sampai kapanpun, bukan hanya saat ini saja ketika baru beroperasi di Indonesia.

Salah satu contohnya dengan memastikan bahwa arus internet di Indonesia melalui Starlink hanya melalui NAP lokal dan tidak menggunakan Laser Link sebagai backbone layanannya.

Baca juga: Platform StopNCII.org Disebut Bantu Hapus Foto Porno Editan dari Internet, Ini Kata Pakar

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi