Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berencana Tinggal di Bulan, Apa yang Akan Manusia Makan?

Baca di App
Lihat Foto
NASA
Ilustrasi astronot di Bulan. Yang akan dimakan manusia jika hidup di Bulan.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) meyakini, manusia bisa mulai hidup dan tinggal di Bulan pada masa mendatang.

Demam menetap di luar Bumi pun kian meningkat seiring berkembangnya teknologi yang memungkinkan manusia menjelajahi antariksa.

Dua tahun ke depan, pada 2026, NASA berencana mengirim astronot kembali ke Bulan melalui misi Artemis.

Sementara itu, Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) yang semula dirancang untuk mengorbit Bumi selama 15 tahun, kini telah memasuki tahun ke-26 di antariksa.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Para ilmuwan secara serius juga melihat kemungkinan misi luar angkasa dengan membawa awak.

Ditambah, saat ini mulai menjamur proyek-proyek pariwisata yang meluncurkan roket berisi orang-orang berkantong tebal piknik ke luar angkasa.

Lantas, jika manusia benar-benar bisa menetap di Bulan, apa yang akan dimakan nanti?

Baca juga: Cerita Ed Dwight, Butuh 60 Tahun Sebelum Wujudkan Mimpi Terbang ke Luar Angkasa


Astronot makan makanan yang diproses khusus

Wakil Kepala Operasi Astronot di Badan Antariksa Eropa (ESA), Sonja Brungs mengatakan, makanan adalah sesuatu yang membuat astronot tetap waras di luar angkasa.

"Makanan yang baik, makanan yang layak dengan banyak variasi, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing astronot sangat penting untuk keberhasilan misi luar angkasa," ujarnya, seperti dilansir BBC, Minggu (25/5/2024).

Para astronot dibekali kantong kecil berisi makanan siap saji buatan perusahaan produksi makanan khusus, yang dikeringkan dengan cara dibekukan, didehidrasi, atau distabilkan secara termal (panas).

Saat akan mengonsumsinya, astronot perlu menambahkan air untuk kemudian dipanaskan atau didinginkan.

Mereka juga dapat membawa makanan khusus yang mengingatkan pada rumah, tetapi dengan formulasi dan proses penstabilan secara hati-hati.

Para astronot dilarang membawa makanan yang menghasilkan remahan seperti roti karena mudah mengudara dan merusak peralatan jika tak sengaja tersedot.

Penggunaan garam pada makanan di luar angkasa dibatasi, mengingat tubuh manusia menyimpan natrium berbeda dengan saat berada di Bumi.

"Astronot yang baru berada di luar angkasa selama enam bulan merindukan kerenyahan dan tekstur," kata Brungs.

Dia mengungkapkan, mengunyah makanan dengan beragam tekstur dan rasa sangat penting bagi kesehatan mental.

Oleh karena itu, saat menjalankan misi luar angkasa, sangat penting membekali beragam makanan untuk dikonsumsi.

Baca juga: Astronot di Luar Angkasa Menua Lebih Lambat Dibanding Manusia di Bumi, Apa Sebabnya?

Menanam lobak, cabai, dan selada

Dikutip dari laman La Trobe University, selain makanan yang telah diproses khusus, menumbuhkan tanaman dapat mendukung kehidupan manusia di luar angkasa.

Para astronot masa sekarang sudah mengonsumsi lobak, cabai, dan selada yang ditanam di ISS. Namun, ada sejumlah tantangan dalam menumbuhkan taman luar angkasa yang subur.

Lingkungan luar angkasa kaya akan karbon dioksida, kekurangan mikroba tanah, gravitasi berubah, terpapar radiasi Matahari yang berpotensi membahayakan, dan perlu menggunakan air daur ulang yang memiliki kadar garam tinggi.

Agar tanaman dapat tumbuh subur di luar angkasa dan memberikan nutrisi lengkap bagi kesehatan manusia, tanaman pun memerlukan desain ulang.

Sayuran di luar angkasa saat ini ditanam dalam kotak tertutup dengan lampu LED berenergi rendah, di atas "tanah liat" berpori dengan air, nutrisi, dan oksigen yang disuplai ke akar.

Sensor dan kamera berteknologi tinggi juga terpasang untuk terus memantau perkembangan dan kesehatan tanaman.

Baca juga: Tomat yang Dipanen di Luar Angkasa Hilang, Ditemukan 8 Bulan Kemudian

Inovasi makanan untuk hidup di Bulan

Pada 2021, NASA meluncurkan Deep Space Food Challenge untuk menemukan cara baru menciptakan makanan di luar angkasa dengan sumber daya terbatas dan limbah seminimal mungkin.

Tantangan inovasi tersebut sekaligus menyediakan makanan yang aman, bergizi, dan lezat yang dapat menjadi bekal menjalankan misi luar angkasa dalam jangka panjang.

Solar Foods, yang berbasis di Helsinki, Finlandia, adalah salah satu dari delapan perusahaan yang telah mencapai tahap akhir tantangan ini.

Konsep mereka menggunakan limbah luar angkasa untuk menghasilkan protein guna memenuhi asupan para astronot.

Wakil Presiden Senior di Bidang Luar Angkasa dan Pertahanan Solar Foods, Artuu Luukanen menyebut, perusahaannya menemukan mikroba yang dapat dimakan di pedesaan Finlandia.

Mikroba itu tumbuh dengan memakan campuran karbon dioksida, hidrogen, dan oksigen. Hasilnya, Solar Foods menemukan sumber protein dari bakteri.

Protein ini pun diklaim dapat dicampur dengan berbagai makanan agar lebih bergizi, seperti pasta, protein batangan, daging alternatif, dan bahkan pengganti telur.

"Secara harfiah kami membuat makanan dari udara tipis. Kami mulai memikirkan tentang makanan luar angkasa karena di habitat luar angkasa mana pun, Anda memiliki dua gas limbah utama, hidrogen dan karbon dioksida," kata Luukanen.

Berbeda, Interstellar Lab di Pulau Merritt, Florida, Amerika Serikat, mengembangkan sistem bioregeneratif modular untuk memproduksi microgreens, sayuran, jamur, dan serangga.

Perusahaan ini juga merupakan finalis Nasa Deep Space Food Challenge, bersama Enigma of the Cosmos di Melbourne, Australia, sebuah perusahaan yang berupaya mengembangkan microgreens secara efisien di luar angkasa.

Microgreens sendiri merupakan sayuran mikro yang dipanen saat berusia sangat muda, yaitu sekitar tujuh hingga empat belas hari setelah semai.

Satu jenis makanan lagi yang mungkin dapat dikonsumsi manusia di Bulan dan luar angkasa adalah jamur.

Tiga dari enam finalis Nasa Deep Space Food Challenge saat ini mengerjakan ide seputar jamur, termasuk Mycorena dari Gothenburg, Swedia.

Perusahaan ini mengembangkan sistem kombinasi mikroalga dan jamur untuk menghasilkan mikoprotein, sejenis protein yang berasal dari jamur dan sering digunakan dalam produk daging alternatif.

Carlos Otero, bagian dari tim penelitian dan pengembangan di Mycorena mengungkap, jamur adalah bahan pangan serbaguna.

Jamur juga dinilai sangat kuat karena tahan terhadap radiasi, serta mudah disimpan dan diangkut.

"Jamur dapat tumbuh pada substrat (tanah) yang berbeda, tumbuh dengan cepat," kata Otero.

Semua inovasi makanan luar angkasa tersebut merupakan closed loop circular system yang tidak menghasilkan limbah.

Produk akhir makanan pun dapat dicetak tiga dimensi dengan menggunakan teknologi 3D food printing untuk menghasilkan makanan yang sedikit mirip dengan tekstur filet ayam.

Tidak hanya rasa dan tekstur enak, sejumlah makanan itu juga sumber protein yang mengandung semua asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh manusia.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi