Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rupiah Tembus Rp 16.400 per Dollar AS dan Marak Badai PHK, Bagaimana Kondisi Ekonomi Indonesia?

Baca di App
Lihat Foto
PIXABAY/ROBERT LENS
Ilustrasi rupiah, uang rupiah.
|
Editor: Mahardini Nur Afifah

KOMPAS.com - Kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hingga pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sampai menembus Rp 16.400 santer terdengar beberapa waktu terakhir.  

Kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran, apakah kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja?

Dikutip dari data Google Finance, per Selasa (18/6/2024), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada di angka Rp 16.410.

Di sisi lain, badai PHK di sektor industri tekstil marak terjadi. Diberitakan Kompas.com Kamis (13/6/2024), Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) melaporkan sebanyak 13.800 pekerja pabrik tekstil terkena PHK sejak awal 2024.

“Sedikitnya ada enam perusahaan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) tutup dan empat lakukan efisiensi PHK, total pekerja ter-PHK sekitar 13.800-an pekerja," kata Kepala KPSN Ristadi. 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PHK tak hanya melanda industri tekstil. Baru-baru ini marketplace Tokopedia juga melakukan efisiensi pekerja dengan klaim restrukturisasi setelah bergabung dengan TikTok Shop (ShopTokopedia).

"Kami harus melakukan penyesuaian yang diperlukan pada struktur organisasi sebagai bagian dari strategi perusahaan agar dapat terus tumbuh," ungkap Direktur Corporate Affairs Tokopedia dan ShopTokopedia, Nuraini Razak, dilansir dari (14/6/2024). 

Beberapa peristiwa tersebut terjadi dalam waktu yang berdekatan dan memunculkan kekhawatirkan di benak publik. 

Lantas, bagaimana kondisi ekonomi Indonesia di mata sejumlah pakar ekonomi? 

Baca juga: Rupiah Tembus Angka Rp 16.400 per Dollar AS, Ini Penyebab dan Bahaya yang Mengintai


Kondisi ekonomi Indonesia masih bertahan

Pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin menyebutkan, ekonomi Indonesia saat ini masih berada di level bertahan (survive).

Ia menepis anggapan ekonomi Indonesia sedang terpuruk. Sebab, untuk menilai kualitas ekonomi suatu negara tidak cukup hanya melihat indikator pelemahan nilai tukar mata uang dan PHK massal.

“Apakah (ekonomi kita) benar-benar sakit? Secara indikator makro tidak juga. Pertumbuhan ekonomi tidak istimewa, tapi tidak buruk. Masih survive,” ungkap dia, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (19/6/2024).

Lebih lanjut Eddy menjelaskan, beberapa indikator untuk menakar kondisi perekonomian dalam negeri, di antaranya tingkat inflasi, suku bunga, dan cadangan devisa negara.

Berdasarkan data yang ada saat ini, menurut Eddy, tingkat inflasi di Indonesia tidak seburuk negara lain.

Begitupun dengan selisih tingkat acuan suku bunga Indonesia dengan Amerika Serikat yang tidak terlalu besar.

“Di Amerika Serikat saat ini suku bunga acuan kira - kira 5,25 sampai 5,5 persen. Di Indonesia sampai 6 persen lah katakan. Not bad,” kata Eddy.

Sedangkan cadangan devisa Indonesia pun cukup kuat, meski tidak sekuat China yang angkanya mencapai 1 triliun dolar AS.

Sementara itu, ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan jika melihat dari maraknya PHK massal, kondisi perekonomian Indonesia secara umum tengah mengalami pelemahan daya saing.

"Pelaku usaha gulung tikar akibat kalah dari pelaku usaha asing. PHK massal merupakan konsekuensi fenomena ini,” ucapnya, saat dihubungi Kompas.com, secara terpisah, Rabu.

Baca juga: Benarkah Rupiah Melemah Bisa Menyebabkan Inflasi di Indonesia? Ini Kata Pakar

Indonesia perlu waspada

Walaupun keadaan ekonomi Indonesia terbilang masih bertahan di tengah berbagai tekanan, Eddy menyampaikan disiplin moneter dan fiskal tetap harus dilakukan.

Disiplin moneter berarti Bank Sentral harus menjaga tingkat suku bunga, inflasi, peredaran uang, mengawasi stabilitas mata uang, dan pemberian lisensi ke lembaga keuangan.

Sementara disiplin fiskal adalah tugas Kementerian Keuangan yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Harus hati-hati. Misal defisit pengeluaran pemerintah secara teoritis tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kalau bisa dijaga tidak melebihi persentase tersebut,” ujarnya.

Senada dengan Eddy, Wijayanto juga menyarankan agar pemerintah memastikan fiskal yang kredibel. Misalnya, dengan hemat berhutang dan mengurangi belanja negara yang tidak perlu.

Sementara untuk solusi jangka panjang, pemerintah bisa memulai untuk membangun kembali dan mendorong pertumbuhan sektor formal.

“Ini kunci daya saing ekonomi dan stabilitas fiskal, dua hal yang sangat krusial bagi stabilitas rupiah,” jelas dia.

Baca juga: PHK 1.500 Karyawan, Ini Penyebab Pabrik Ban PT Hung-A Indonesia Tutup

(Sumber: Galuh Putri Riyanto, Haryanti Puspa Sari | Editor: Reza Wahyudi, Sakina Rakhma Diah Setiawan)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi