Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membongkar Mitos di Balik Larangan Keluar Rumah pada Malam 1 Suro

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA
Malam satu Suro tidak boleh keluar rumah.
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - "Malam satu Suro tidak boleh keluar rumah". Begitulah salah satu larangan yang berkembang kuat dalam kultur masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa percaya, keluar rumah tanpa tujuan jelas pada malam satu Suro dikaitkan dengan kesialan dan mendatangkan hal buruk.

Diketahui, malam satu suro adalah malam yang menandai awal bulan pertama penanggalan Jawa.

Ini diperingati pada malam sehari sebelum 1 Muharam dalam kalender Hijriah, dimulai setelah Maghrib.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tahun ini, malam satu Suro jatuh pada Sabtu (6/7/2024) malam.

Baca juga: Kirab Pusaka Malam 1 Suro Keraton Solo 2024: Jadwal, Rute, dan Jumlah Kerbau yang Dikirab

Mitos di balik malam satu Suro tidak boleh keluar rumah

Pemerhati budaya sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Tundjung W Sutirto mengatakan, larangan keluar rumah pada malam satu Suro adalah mitos.

Menurutnya, masyarakat Jawa percaya bahwa malam satu Suro merupakan waktu yang sakral dan memiliki aura mistis, sehingga diwarnai beragam mitos, salah satunya tidak boleh keluar rumah.

"Kalau keluar rumah akan sial karena diyakini akan bertemu dengan pasukan dari Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan) yang tengah menuju ke keraton atau ke Gunung Merapi," kata Tundjung, dikutip dari pemberitaan Kompas.com (16/7/2023).

Selain larangan keluar rumah, mitos malam satu Suro yang menguat di kalangan masyarakat adalah tidak boleh menggelar pernikahan dan pindah rumah.

Ia menjelaskan, semua mitos malam satu Suro yang diyakini oleh masyarakat Jawa itu memiliki substansi berupa pengendalian diri.

"Semua mitos malem satu Suro adalah pantangan untuk bersenang-senang. Tuntunan yang diwarisi para leluhur adalah sebuah cipta, rasa, dan karsa, bagaimana terjadinya penanggalan Jawa yang merupakan penggabungan kalender Islam dengan Jawa (Hindu)," jelas dia.

Baca juga: Mitos Tidak Boleh Keluar Saat Malam Satu Suro Bertentangan dengan Tradisi Keraton, Apa Sebabnya?

Asal-usul mitos malam satu Suro tak boleh keluar rumah

Tundjung menerangkan, perkembangan mitos malam satu Suro tidak boleh keluar rumah terjadi secara akumulatif, sesuai konteks zamannya dan dianut oleh pemangku kebudayaan saat itu.

Dalam konteks mitos larangan keluar rumah saat malam satu Suro, mulanya berawal dari "penyakralan" masyarakat Jawa terkait penggabungan kalender Islam dan Jawa (Hindu) yang melatarbelakangi terjadinya malam satu Suro.

"Itu termasuk mitos yang menyakralkan pergantian tahun baru Jawa," ujarnya.

"Momentum penanggalan yang digaungkan itu diyakini sebuah momentum yang istimewa, sehingga masyarakat menganggap malam satu Suro sakral, karena adanya penggabungan itu akan menentukan perhitungan," lanjut dia.

Sifat malam satu Suro yang sakral itu membuat masyarakat Jawa sebagai pelaksana budaya, "meluhurkan" pergantian tahun dengan aktivitas spiritual.

Dengan begitu, muncul mitos untuk tidak boleh bepergian jauh tanpa tujuan, tidak menyelenggarakan pernikahan, tidak pindah rumah, dan tidak keluar rumah pada malam satu Suro.

"Kalau dicari mulai kapan, tentu sejak Sultan Agung menciptakan penggabungan kalender Saka dengan Islam yang dilakukan pada hari Jumat Legi, yaitu saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M," terang Tundjung.

Baca juga: Tradisi Malam Satu Suro Masyarakat Jawa, Ada Kirab dan Manten Lurah

Bertentangan dengan tradisi keraton

Akan tetapi, mitos tidak boleh keluar rumah saat malam satu Suro itu justru bertolak belakang dengan tradisi yang keraton.

Pada malam satu Suro, keraton biasanya menggelar kirab di tengah malam, tepat pada 1 Muharram pukul 00.00 WIB.

Menurut Tundjung, tradisi tersebut berkaitan dengan perjanjian Abiproyo antara Panembahan Senopati (Raja Mataram) dengan Nyai Roro Kidul.

Disebutkan bahwa pada malam satu Suro, Nyai Roro Kidul akan membantu kerajaan Mataram melawan musuh.

Masyarakat Jawa yang bertandang ke keraton pada malam satu Suro, akan dianggap sebagai kawula Mataram yang akan dilindungi dari marabahaya.

Oleh sebab itu, beberapa kalangan masyarakat Jawa lebih menyarankan pergi ke keraton pada malam satu Suro daripada keluar rumah tanpa tujuan yang jelas.

Hingga saat ini, tradisi itu masih tetap eksis, salah satunya dilakukan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang menggelar Kirab Satu Suro pada malam satu Suro.

Baca juga: 5 Tempat Wisata di Jogja untuk Penyelenggaraan Tradisi Satu Suro

Kirab Satu Suro di Solo

Dilansir dari laman pariwisatasolo.surakarta.go.id, acara Kirab Satu Suro identik dengan arak-arakan kebo bule, sehingga sering disebut Kirab Kebo Bule. 

Kirab akan dimulai dengan barisan kebo bule yang berjalan di posisi depan bersama dengan pawangnya.

Kemudian disusul barisan abdi dalem bersama putra-putri sinuhun dan para pembesar yang membawa sepuluh pusaka Keraton.

Mereka akan mengenakan pakaian adat Jawa berwarna hitam atau busana Jawi jangkep. Sementara, peserta wanita mengenakan kebaya berwarna hitam.

Baca juga: Kirab Pusaka Malam 1 Suro Pura Mangkunegaran Solo, Rutenya Bakal Diperpanjang

Selama proses kirab berlangsung, peserta tidak boleh mengucapkan satu patah kata pun. Hal ini dimaknai sebagai perenungan diri terhadap apa yang sudah dilakukan selama setahun terakhir.

Biasanya, kirab dimulai pada pukul 23.00 WIB, dengan rute dimulai dari Keraton Solo menuju Jalan Pakoe Boewono–Bundaran Gladag-Jalan Jenderal Sudirman.

Selanjutnya, kirab memutar di sekitar Benteng Vastenburg ke arah timur melalui Jalan Mayor Kusmanto, kemudian berbelok ke arah selatan melintasi Jalan Kapten Mulyadi, dan melanjutkan perjalanan ke arah barat memasuki Jalan Veteran.

Kirab berlanjut ke arah utara melintasi Jalan Yos Sudarso, kemudian berbelok ke arah timur melalui Jalan Slamet Riyadi, dan di Bundaran Gladag berbelok kanan (ke arah selatan) untuk kembali masuk ke dalam keraton.

Menariknya, tradisi tersebut kerap dinantikan warga Solo, Jawa Tengah. Sebagian warga berusaha untuk menyentuh, mengambil air jamasan, dan mengambil kotoran kebo bule yang jatuh selama kirab berlangsung.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi