KOMPAS.com - Tahun Baru Islam 2024 atau 1 Muharam 1446 Hijriah jatuh pada Minggu, 7 Juli 2024.
Dalam menyambut tahun baru Islam, masyarakat Indonesia di sejumlah daerah memiliki tradisi berbeda-beda.
Salah satu tradisi masyarakat Jawa yang masih bertahan hingga saat ini yakni adanya kuliner bubur merah putih.
Bubur merah putih ini memiliki sejarah tersendiri dalam perkembangan Islam di Tanah Jawa, serta mempunyai filosofi khusus.
Lantas, bagaimana sejarah dan filosofi atau makna bubur merah putih tersebut?
Baca juga: Tahun Baru Islam 7 Juli 2024 Adakah Hari Libur Cuti Bersama?
Sejarah bubur merah putih
Sejarawan sosial Universitas Sebelas Maret (UNS) Tundjung Sutirto mengatakan, bubur merah putih sudah ada sejak era Kerajaan Hindu di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Bubur merah putih tersebut kemudian masih terus bertahan hingga saat berdirinya Kerajaan Mataram Islam.
“Fenomena (penyajian bubur merah putih) itu merupakan sinkretisme yang merupakan bentuk akulturasi penggabungan tahun Islam dan tahun Jawa oleh Sultan Agung,” ucap Tundjung saat dihubungi Kompas.com, Jumat (5/7/2024).
Adapun Sultan Agung yang memiliki nama asli Raden Mas Jatmika memerintah Mataram Islam pada tahun 1613-1645 M.
Saat itu, Mataram Islam mencapai masa kejayaannya dengan wilayah kekuasaannya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.
Meski demikian, ungkap Tundjung, tidak ada rujukan pasti dari era Mataram Islam bahwa bubur merah putih menjadi sajian khas tahun baru Islam.
Baca juga: Apa Itu Weton Tulang Wangi yang Dikaitkan dengan Malam 1 Suro?
Filosofi bubur merah putih
Bubur merah putih memiliki filosofi atau makna tersendiri, khususnya dalam esensi perwujudan tubuh manusia.
“Warna merah dan putih itu adalah esensi perwujudan tubuh manusia yang berupa tulang (putih) dan darah (merah),” ujar Tundjung.
Selain itu, bubur ini disebut juga sebagai “jenang sengkala” dalam bahasa Jawa. Dengan menyajikan bubur ini, diharapkan ketika memasuki tahun baru Islam, manusia akan terhindar dari musibah.
Adapun kata sengkala itu sendiri, tutur Tundjung, memiliki arti “rintangan hidup” pada manusia.
“Jadi jenang sengkala itu sebagai visualisasi doa agar terbebas dari rintangan hidup,” jelas dia.
Tak hanya itu, Tundjung menilai bahwa bubur merah putih atau jenang sengkala menjadi bubur utama di antara jenis bubur atau jenang lainnya.
Terpisah, sejarawan Heri Priyatmoko mengungkapkan bahwa bubur merah putih dianggap sebagai makanan yang berkaitan erat dengan manusia paling awal. Sebab, bubur menjadi makanan pertama yang dikonsumsi oleh manusia setelah ASI.
Dikutip dari Kompas.com (9/8/2021), bubur merah putih juga bisa diartikan sebagai simbol kehidupan baru.
Warna merah pada bubur tersebut merupakan simbol indung telur dan warna putihnya adalah simbol sperma.
Warna bubur merah putih juga menjadi representasi perempuan dan laki-laki dalam kehidupan manusia.
Baca juga: Membongkar Mitos di Balik Larangan Keluar Rumah pada Malam 1 Suro
Ada aturan dalam pembuatan bubur merah putih
Salah satu aturan tersebut, terang Heri, yaitu pembuat bubur tidak boleh dalam keadaan datang bulan atau menstruasi.
“Ini mitosnya ya. Tapi kemudian fakta di balik itu adalah masalah kebersihan. Faktanya biar bisa fokus memasak dan kebersihannya terjaga,” terang Heri.
Dalam budaya Jawa, bubur merah putih kemudian dihidangkan bersama beberapa pendamping sajen lain, seperti rokok kretek, uang koin, dan ayam ingkung.
Semua pendamping dimaknai sebagai pengantar doa.
Bubur merah putih dan beberapa pendampingnya akan diletakkan dalam takir yang merupakan wadah terbuat dari daun pisang.
Baca juga: Sejarah dan Isi Perjanjian Giyanti yang Menandai Pecahnya Mataram Islam
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.