Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dianggap Sakral, Benarkah Malam 1 Suro Tidak Boleh Tidur dan Berisik?

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Larangan malam 1 suro, tidak boleh tidur atau berisik. Warga berjalan kaki dalam keheningan mengelilingi kompleks Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, saat mengikuti tradisi Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng, Selasa (4/11/2013) dini hari. Tradisi yang dilangsungkan setiap pergantian tahun baru hijriah ini dilakukan sebagai sarana perenungan dan instropeksi warga atas berbagai hal yang telah dilakukan pada tahun sebelumnya.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Sejumlah larangan malam 1 Suro mewarnai malam tahun baru yang dianggap sakral oleh sebagian masyarakat Jawa.

Suro adalah bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang bertepatan dengan bulan Muharam di kalender Hijriah.

Tahun ini, 1 Suro akan jatuh pada Minggu (7/7/2024), sehingga malam 1 Suro diperingati pada Sabtu (6/7/2024) malam.

Masyarakat Jawa percaya, keluar rumah serta menimbulkan kebisingan di malam 1 Suro akan mendatangkan kesialan dan nasib buruk.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Malam yang dinilai sakral ini juga tak jarang dipercaya menjadi momen untuk berhubungan dengan leluhur. Oleh karena itu, muncul larangan tak boleh tidur atau harus begadang sepanjang malam.

Baca juga: 11 Weton Tulang Wangi yang Dikaitkan Malam 1 Suro, Apa Itu?


Tidak boleh tidur atau berisik di malam 1 Suro

Budayawan dan dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tundjung Wahadi Sutirto membenarkan, memang terdapat beberapa anjuran untuk tidak melakukan sesuatu pada malam 1 Suro, seperti berisik dan tidur.

Namun, dia menilai, larangan dan anjuran itu tidak diterapkan secara nyata dan hanyalah sebuah kebiasaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi.

"Jadi, anjuran itu bersifat longgar," ujar Tundjung, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (5/7/2024).

Pemerhati budaya ini menjelaskan, di tengah-tengah masyarakat Jawa, istilah tuguran atau perenungan diri sambil berdoa pada malam 1 Suro merupakan kebiasaan yang akhirnya menjadi tradisi.

Menilik sejarahnya, anjuran begadang atau tidak tidur ini diarahkan untuk menyambut tahun baru 1 Suro atau 1 Muharam dengan cara merenungkan kehidupan yang sudah maupun akan terjadi.

Salah satu tindakan menyambut tahun baru dengan cara terjaga sepanjang malam ini juga dapat digunakan untuk mencari aspirasi dan inspirasi.

Oleh karena itu, menurut Tundjung, muncul pula anjuran untuk tidak berisik atau euforia pada malam 1 Suro, yang amat berbeda dengan momen perayaan tahun baru Masehi.

"Karena dimensinya berbeda. Jika malam 1 Suro itu bersifat spiritual, kalau pergantian tahun baru Masehi sifatnya lebih ke arah hedonis," kata Tundjung.

Dahulu, lanjut Tundjung, anjuran dan larangan malam 1 Suro masih menjadi tuntutan di tengah masyarakat Jawa.

Namun, seiring perkembangan zaman, anjuran tersebut sudah sangat longgar dan tidak mengikat sebagian masyarakat.

"Bagi keluarga yang ikatan etnisitasnya masih kuat berorientasi kepada budaya Jawa, maka tuguran dan hening di malam 1 Suro itu akan dilakukan dengan penuh kesadaran," tutur Tundjung.

"Bukan sekadar upacara, tetapi menjadi tata cara," sambungnya.

Baca juga: Membongkar Mitos di Balik Larangan Keluar Rumah pada Malam 1 Suro

Larangan keluar rumah saat malam 1 Suro

Sementara itu, larangan lain yang santer terdengar, yakni keluar rumah saat malam 1 Suro, merupakan sebuah mitos.

Tundjung mengungkapkan, masyarakat Jawa percaya bahwa malam 1 Suro adalah waktu yang sakral dan memiliki aura mistis.

Mitos ini bermula dari "penyakralan" masyarakat akan penggabungan kalender Islam dan Jawa (Hindu) yang melatarbelakangi lahirnya malam 1 Suro.

"Momentum penanggalan yang digaungkan itu diyakini sebuah momentum yang istimewa, sehingga masyarakat menganggap malam 1 Suro sakral," kata Tundjung, dilansir dari Kompas.com, Jumat.

Sifat malam 1 Suro yang sakral itu membuat masyarakat Jawa sebagai pelaksana budaya, "meluhurkan" pergantian tahun dengan aktivitas spiritual.

Menurut dia, Sultan Agung, Raja Mataram Islam yang memerintah pada 1613-1645, menciptakan penggabungan kalender Saka dengan Islam.

Penggabungan dilakukan pada Jumat Legi, yaitu saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M.

Baca juga: Apa Itu Weton Tulang Wangi yang Dikaitkan dengan Malam 1 Suro?

Tradisi Kirab 1 Suro

Kendati demikian, mitos tidak boleh keluar rumah saat malam 1 Suro justru bertentangan dengan tradisi keraton.

Pada malam 1 Suro, keraton biasanya menggelar iring-iringan atau kirab di tengah malam, tepat pada 1 Muharam pukul 00.00 WIB.

Hingga saat ini, tradisi tersebut masih eksis, salah satunya digelar oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat setiap malam 1 Suro.

Menurut Tundjung, tradisi tersebut berkaitan dengan perjanjian Abiproyo antara Panembahan Senopati (Raja pertama Mataram) dengan Nyai Roro Kidul.

Diceritakan, pada malam 1 Suro, Nyai Roro Kidul akan membantu Kerajaan Mataram melawan musuh.

Masyarakat Jawa yang bertandang ke keraton pada malam 1 Suro pun dianggap sebagai kawula Mataram yang akan dilindungi dari marabahaya.

Oleh sebab itu, beberapa kalangan masyarakat Jawa lebih menyarankan pergi ke keraton pada malam 1 Suro daripada keluar rumah tanpa tujuan yang jelas.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi