KOMPAS.com - Yasuo Takamatsu kehilangan istrinya, Yuko, dalam peristiwa tsunami Jepang pada 11 Maret 2011.
Pada saat itu, gempa bumi bermagnitudo 9,1 mengguncang Jepang pukul 14.46 waktu setempat dan memicu gelombang tsunami.
Bencana tersebut menyebabkan korban jiwa mencapai lebih dari 19.000 orang, dan masih banyak lagi yang dinyatakan "hilang".
Di antara orang-orang yang hilang adalah Yuko Takamatsu, istri Yasuo Takamatsu.
Meskipun kehilangan istrinya akibat tsunami, Yasuo tetap berharap dapat menemukan jenazah Yuko.
Menyelam sejak 2013 untuk mencari istrinya
Untuk mencari Yuko, Yasuo memutuskan untuk mengambil kursus menyelam di usia 56 tahun untuk menjelajah ke laut dalam.
Dari tahun 2013 hingga saat ini, ia telah melakukan 600 penyelaman ke laut dalam upaya untuk menemukan jasad Yuko, tetapi sayangnya, ia belum menemukannya.
Namun, cinta abadi Takamatsu kepada Yuko membuatnya terus bertahan dan ia masih berharap bahwa suatu hari ia akan dapat menemukannya.
Di usianya yang kini mencapai 67 tahun, dia masih bisa berharap untuk menemukan jenazah istrinya itu.
Baca juga: Ramai soal Sesar Sumatera Disebut Picu Tsunami pada 2024, BMKG: Hoaks
Kisah pertemuan Yasuo dan Yuko
Dikutip dari laporan NY Times, Yasuo dan Yuko pertama kali bertemu pada tahun 1988.
Saat itu Yuko berusia 25 tahun dan menjadi karyawan di Bank 77 di Onagawa, Prefecture Miyagi. Sementara itu, Yasuo adalah seorang prajurit di Pasukan Bela Diri Jepang.
Atasan Yasuo memperkenalkan mereka dan sejak hari pertama mereka bertemu, mereka langsung jatuh cinta.
Ia menggambarkan Yuko sebagai sosok yang lembut dan mengatakan bahwa ia menyukai senyum dan sifatnya yang rendah hati.
Yuko selalu tertarik mendengarkan musik klasik dan memiliki bakat melukis karena ia menggunakan cat air di atas kanvas-yang tidak ia tunjukkan kepada siapa pun kecuali kepada suaminya yang sangat dicintainya.
Hari yang mengubah segalanya
Tanggal 11 Maret 2011 terukir dalam ingatan kolektif masyarakat Jepang sebagai hari kehilangan yang sangat besar.
Bagi Yasuo, hari itu menandai hari terakhirnya mendengar kabar dari istrinya, Yuko, yang berusia 47 tahun.
Ia tersapu oleh gelombang tsunami yang dahsyat saat berada di kantornya di cabang Bank 77 Onagawa.
Gempa berkekuatan 9,0 skala Richter itu, salah satu gempa terkuat yang pernah tercatat, melepaskan tsunami yang begitu dahsyat hingga meluluhlantakkan kota-kota dan merenggut ribuan nyawa, meninggalkan luka dalam jiwa bangsa yang belum sepenuhnya pulih.
Salju turun pada hari terjadinya tsunami, yaitu hari Jumat, 11 Maret 2011. Yasuo mengantar Yuko ke bank yang terletak di tepi pantai Onagawa.
Ia kemudian mengantar ibu mertuanya ke rumah sakit di Ishinomaki. Yasuo sedang dalam perjalanan keluar rumah ketika gempa besar terjadi.
Ia ingat bahwa seluruh dunia berguncang selama enam menit penuh. Dia kembali ke Onagawa melalui jalan pertanian lama dan mendengarkan berita tsunami di radio.
Ia menerima kabar bahwa putranya selamat di Universitas Sendai, tetapi ia tidak dapat menghubungi putrinya di sekolah di Ishinomaki. Ia juga tidak mendengar kabar dari Yuko.
Baca juga: Kisah Ayah Jadi Sopir Taksi 24 Tahun demi Cari Putrinya yang Hilang
Pesan yang hilang dalam gelombang...
Di tengah kekacauan bencana, saat itu Yuko sempat mengirim email sederhana yang sangat menghantui ke Takamatsu.
“Kamu baik-baik saja? Aku ingin pulang,” bunyi pesan tersebut.
Itulah kata-kata terakhir yang diterima Yasuo darinya. Kata-kata itu penuh dengan cinta, perhatian, dan kerinduan akan rasa aman yang tidak akan pernah terpenuhi.
Seseorang menemukan ponsel Yuko di tempat parkir sebulan setelah tsunami, tidak jauh dari tempat ia menghilang. Yasuo menemukan pesan teks yang belum terkirim di ponsel lipat berwarna merah muda itu. Pesan itu ditulis pada pukul 15.25.
"Begitu dahsyatnya tsunami," tulis Yuko.
Dari situ Yasuo tahu istrinya masih hidup hingga pukul 15.25, menduga saat itu tsunami sudah setinggi kakinya di atap bank.
Manajer cabang 77 Bank Onagawa menerima peringatan tsunami yang hanya memperkirakan gelombang setinggi 6 meter. Ia memberi perintah untuk mengungsi ke atap gedung mereka, yang tingginya 10 meter.
Namun tsunami menghantam cabang tersebut dengan gelombang yang jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan, diperkirakan antara 15 dan 17 meter. Tsunami tersebut menghanyutkan 12 dari 13 karyawan, termasuk Yuko.
“Untuk menyelamatkan hidupmu, kamu harus pergi ke tempat yang lebih tinggi,” kata manajer. Namun tsunami datang di luar dugaan mereka.
Yuko merupakan salah satu dari 2.523 orang yang jasadnya tidak pernah ditemukan setelah gempa dan tsunami pada hari itu.
Operasi pencarian, yang kini jumlahnya jauh lebih kecil, telah berlangsung selama 13 tahun terakhir.
Prefektur Miyagi memiliki jumlah orang hilang terbanyak, yakni 1.213 orang, dengan sisa-sisa jenazah 47 orang yang belum teridentifikasi.
Terus mencari jenazah Yuko
Menemukan mayat di kedalaman laut bukanlah hal yang mudah bagi Yasuo, bahkan banyak yang melarangnya melakukan tugas itu.
Menemukan Yuko di hamparan laut yang luas akan sama seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Namun, Takamatsu tetap bersikeras dengan pilihannya.
"Pada usia 56 tahun, alasan saya benar-benar tertarik belajar menyelam adalah karena saya mencoba menemukan istri saya di laut,” kata dia.
Pencariannya terhadap jasad Yuko memang tidak semudah yang dibayangkan Yasuo, dan dia menyadarinya.
Tetapi dia mengaku, hal itu satu-satunya yang dapat dia lakukan saat ini.
"Saya tidak punya pilihan selain terus mencarinya. Saya merasa paling dekat dengannya di lautan," tuturnya.
Tidak ada yang tahu kondisi jasad di laut
Tetsuya Takagi, seorang ahli patologi forensik di Universitas Kedokteran dan Farmasi Tohoku di Sendai, berbicara tentang nasib jasad yang terhanyut ke lautan.
Menurutnya, jika sebuah jasad terbawa ke laut dan menghilang, sulit untuk mengatakan apa yang dapat terjadi.
"Tidak seorang pun pernah benar-benar tahu bagaimana laut bergerak atau mengalir. Jika sebuah jasad ditarik ke kedalaman tertentu, jasad itu akan tetap di sana," kata dia dikutip dari good.is.
Jika jasad itu tersangkut di peralatan penangkap ikan, jasad itu mungkin akan hanyut menyeberangi Pasifik dan muncul di Hawaii. Jasad di laut sebagian besar akan menjadi lunak sehingga jika disentuh kulitnya akan terkelupas.
"Dalam kasus lain, jasad itu mungkin terbungkus dalam zat yang disebut lilin kuburan yang membuatnya menjadi keras seperti plester," katanya.
Sebuah film pendek berdasarkan kehidupan Yasuo Takamatsu juga telah dibuat dan ditayangkan di berbagai festival film.
Berjudul "Nowhere to Go but Everywhere," film dokumenter ini disutradarai oleh Erik Shirai dan Masako Tsumura.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.