PENGUMUMAN mengejutkan datang dari Majalah Gatra, salah satu media ternama Indonesia yang menyatakan berhenti terbit per 31 Juli 2024.
Selain majalah Gatra, PT Era Media Informasi juga bakal menutup situs web Gatra.com, majalah Gatra Jateng, situs Gatrapedia.com, kanal Gatra TV, dan semua hal yang terkait.
Mengutip dari artikel Kompas.com, Direktur Utama PT Era Media Informasi Hendri Firzani mengungkapkan, alasan utama penutupan semua unit bisnis PT Era Media Informasi adalah kerugian.
Hendri menjelaskan, kesulitan diperparah dengan munculnya wabah Covid-19 yang membuat tergerusnya pendapatan Gatra Media Group.
Hal ini membuat Gatra Media Group tidak mampu melakukan program pengembangan yang sangat dibutuhkan untuk dapat memenuhi tuntutan zaman agar bisa bergerak lebih baik ke depan.
Padahal pada masa jayanya, Majalah Gatra selalu disandingkan bersama Tempo yang dikenal dengan jurnalismenya yang berani dan mendalam melalui laporan investigasi dan analisis tajam terhadap berbagai isu penting di Indonesia.
Pukulan telak pertama: Media sosial
Memang tidak pernah ada penyebab tunggal dari krisis yang harus dialami Gatra sehingga memutuskan pamit. Namun, setidaknya dua tantangan yang kini menjadi "pertarungan puputan" bagi media arus utama: media sosial dan kecerdasan buatan (AI).
Kedua kekuatan disruptif ini telah mengguncang fondasi industri media selama bertahun-tahun, menghadirkan pukulan telak yang tak terelakkan.
Pertama, media sosial telah merevolusi cara orang mengonsumsi berita.
Platform Facebook, Twitter, dan Instagram, Youtube, atau bahkan TikTok menawarkan akses instan ke informasi dari berbagai sumber, tanpa perlu mengakses portal media arus utama lagi.
Baca juga: Menerawang Lowongan Kerja Masa Depan di Era Khodam AI
Algoritma mereka pun menyortir informasi sesuai preferensi pengguna, menciptakan gelembung filter yang mempersempit cakupan informasi yang diterima.
Hal ini berakibat pada penurunan drastis pembaca media online yang mencari informasi lebih beragam dan mendalam.
Dalam “Digital News Report 2024”, Reuters Institute menegaskan tahun ini telah terjadi perubahan ekosistem informasi dalam skala masif.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, media sosial Facebook dan juga X, serta platform berbasis visual dan video seperti TikTok, Instagram, serta Youtube mengurangi prominensi dan peran media.
Platform-platform ini semakin menjauhkan ketergantungan pada tautan (link) yang mengarahkan pembaca ke portal media.
Laporan sama menyebutkan secara tegas tanpa tedeng aling-aling: 60 persen penduduk Indonesia kini mendapatkan berita dari platform media sosial.
Perlu dicatat dengan garis tebal di bawahnya: mendapatkan berita dari media sosial, bukan tautan langsung ke media online seperti Kompas.com, Detik, Medcom atau sejenisnya.
Di antara platform tersebut, TikTok khususnya justru mengalami peningkatan popularitas sebagai sumber berita, melonjak 7 poin persentase dari 22 persen menjadi 29 persen.
Bayangkan, mencari berita dari TikTok dan berhenti di situ tanpa kemudian mengecek di sumber utamanya.
Riset sama menunjukkan, 34 persen responden mengaku menyebarkan berita yang mereka dapatkan di media sosial, platform pertukaran pesan, serta email.
WhatsApp menduduki peringkat pertama sebagai platform berbagi berita diikuti Youtube, Facebook, dan Instagram.
WA Grup (WAG) keluarga, WAG RT/RW atau WAG alumni sekolah, kini menjadi "loper" berita tanpa perlu orang lagi melakukan pengecekan ke sumber berita utama.
Pukulan telak kedua: AI
Angin segar “Publisher Right” yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (September 2024) nampaknya hanya menjadi istirahat singkat di sudut ring, sebelum industri media mendapatkan rentetan hantaman berikutnya: kecerdasan buatan atau AI.
Penelitian baru menunjukkan, rangkuman AI (AI Overview) yang menjadi layanan pencarian baru Google, dapat memiliki dampak negatif signifikan terhadap angka keterbacaan media dari hasil pencarian.
Baca juga: AI Jadi Sephia di Tempat Kerja: Benci tapi Rindu
Rangkuman AI dalam AI Overview menimbulkan kekhawatiran mengurangi kemungkinan pencari mengklik artikel asli yang dibuat media.
Sisi lain, Google mengklaim rangkuman ini justru meningkatkan klik ke artikel yang dibuat publisher atau media.
Dominic Ponsford, Pemimpin Redaksi Press Gazette mengungkapkan, bukti yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan media dalam ekosistem pencarian Google yang semakin dikuasai AI.
Ketika rangkuman AI ditampilkan, posisi artikel asli media turun rata-rata satu halaman dalam hasil pencarian. Hal ini mengurangi visibilitas artikel dan berpotensi menurunkan jumlah klik.
Belum diketahui pasti apakah artikel asli masih mendapatkan klik ketika disebutkan dalam rangkuman AI. Google belum merilis data terkait, dan sistem rangkuman AI ini masih terus dikembangkan.
Namun, berdasarkan penelitian sebelumnya, penurunan jumlah klik bisa mencapai 85 persen jika artikel digantikan oleh rangkuman AI.
Padahal, baru 23,7 persen saja dari kata kunci yang ditampilkan melalui AI Overview Google ini! Bayangkan “kiamat media” yang akan terjadi bila seluruh kata kunci pencarian ditampilkan melalui layanan AI Overview.
Situasi ini semakin membuat media frustrasi karena rangkuman AI seringkali dibuat berdasarkan konten asli dari media. Media merasa tidak mendapatkan nilai tambah dari layanan rangkuman AI Google ini.
Pemimpin industri penerbitan di Inggris, News Media Association (NMA) dan Professional Publishers Association (PPA), secara tegas telah menyatakan keprihatinan serius terhadap dampak potensial AI Overview Google terhadap industri media.
Baca juga: Mas Menteri, Jangan Berhenti Hanya Batalkan Kenaikan UKT
Mereka mengkritik kurangnya transparansi Google dalam pengembangan fitur ini, yang dinilai dapat merusak model bisnis media dan mengurangi kualitas serta keragaman informasi online.
“Langkah yang berpotensi berbahaya ini pada akhirnya berisiko merusak keragaman dan kualitas berita serta informasi yang tersedia secara online. Dalam hal ini, kita semua (media) kalah,” ungkap News Media Association.
Di Indonesia, concern terhadap hal ini belum mengemuka menjadi isu bersama yang terbuka. Entah karena dampaknya memang belum dirasakan benar, atau masih mencari jalan musyawarah mufakat.
Jurnalisme Berkualitas, Relevan, dan Inovasi
Lalu, apakah masih adakah harapan bagi media arus utama untuk tetap tegar berdiri menghadapi hantaman beruntun media sosial dan AI?
Janet Steele, Professor of Media and Public Affairs and International Affairs, George Washington University (AS), dalam laporan untuk segmen Indonesia “Digital News Report 2024” Reuters Institute mengungkapkan sisi gelap banjir informasi dari media sosial.
"Karena popularitas media sosial sebagai sumber berita, banyak perhatian tertuju pada dampak sosial dalam menyebarkan disinformasi, propaganda politik, hoaks, dan ujaran kebencian," ungkapnya.
Banjir informasi di media sosial seringkali dipenuhi konten tidak terverifikasi, mengancam kredibilitas berita.
Dalam konteks inilah kemudian, filosofi jurnalisme makna yang diusung Jakob Oetama, menekankan pentingnya berita yang mendidik dan mencerahkan masyarakat menemukan maknanya.
Dalam konteks ini, media masih menyandang peran krusial dengan kredibilitas dan kerja-kerja jurnalistik yang bertanggung jawab dalam menyaring informasi, memverifikasi fakta, dan menyajikan berita akurat dan berimbang.
Menjaga kualitas jurnalisme di tengah gempuran informasi yang tak terkendali di media sosial menjadi harga yang tidak dapat ditawar bagi media saat ini.
Sisi lain, media pun perlu beradaptasi dan berinovasi untuk relevan dengan generasi pembaca baru yang lebih banyak membuka media sosial ketimbang portal berita.
Media perlu menemukan cara dan platform baru dalam menarasikan jurnalisme berkualitas. Tetap menyuarakan kebenaran yang mencerahkan dan menginspirasi tanpa terlihat "jadul" atau old school di mata audiens barunya.
Media perlu bertransformasi secara digital, termasuk berkompromi dengan AI, memanfaatkan teknologi untuk menjangkau audiens baru dan menghadirkan konten menarik dan relevan.
Sambil bertransformasi, media masih memiliki PR besar dalam menemukan model-model bisnis baru di luar PV atau klik tanpa harus kehilangan idealisme.
Baca juga: Hampir 10 Juta Gen Z Nganggur, Menyingkap Sisi Gelap Generasi Z
Hanya dengan adaptasi dan inovasi dalam cara bertutur dan menghidupi dirinya, media arus utama dapat bertahan dan berkembang di era digital yang penuh gejolak ini.
Jadi, plot twist penutup artikel ini adalah: senyatanya pertarungan sengit saat ini bukanlah antara media arus utama melawan sosial media atau AI.
Sebenar-benarnya ini adalah pertempuran antara media melawan dirinya sendiri: menjaga kredibilitas dengan jurnalistik berkualitas sambil menemukan bisnis model baru yang lincah dan tangkas.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.