ADANYA gugatan dari perusahaan rekaman terkait Hak Cipta, ditanggapi oleh startup pengembang Artificial intelligence (AI).
Tulisan ini adalah kelanjutan dari artikel saya sebelumnya di Kompas.com "Pro-Kontra Penggunaan AI dalam Industri Musik” (5/08/2024).
Dilansir The Verge dalam laporannya "AI music Startups Say Copyright Violation is Just Rock and Roll" (2/08/2924), para pengembang AI itu intinya menolak argumen penggugat.
Mereka mengatakan, metode pelatihan AI yang mereka gunakan, termasuk kedalam penggunaan wajar atau yang dalam UU Hak Cipta dikenal dengan fair use. Para tergugat juga menyebut, label rekaman besar telah menghambat persaingan industri.
Namun demikian, Suno dan Udio yang menjadi tergugat, mengakui telah melatih model AI pembuat musik mereka dengan materi berhak cipta. Alasan mereka, tindakan tersebut sah menurut doktrin penggunaan wajar (fair use) dalam hak cipta.
Suno mengatakan, platform pembuat musiknya telah digunakan 12 juta kali sejak diluncurkan pada Desember 2023.
Seperti telah saya uraikan sebelumnya, gugatan terhadap Suno dan Udio, diajukan oleh Recording Industry Association of America (RIAA), kelompok yang mewakili label rekaman besar seperti Universal Music Group (UMG), Sony Music Entertainment, dan Warner Records.
Gugatan itu menuduh Suno dan Udio melakukan pelanggaran hak cipta berupa penyalinan rekaman suara berskala besar tanpa izin.
Laporan The Verge lebih lanjut menjelaskan, alat pembuat musik AI milik Udio dan Suno memungkinkan pengguna membuat lagu dengan mengetikkan deskripsi tertulis.
Dalam kasus ini, menurut RIAA, beberapa trek vokal terdengar identik dengan vokal artis terkenal seperti Bruce Springsteen, Michael Jackson, dan ABBA.
Dalam tanggapannya, baik Suno maupun Udio mengatakan bahwa gugatan tersebut menunjukan penolakan industri musik terhadap persaingan.
Mereka berdalih, membantu orang-orang menghasilkan ekspresi artistik baru adalah tujuan hukum Hak Cipta, bukan malah kemudian melarangnya.
Suno dan Udio mendasarkan pada doktrin klasik “fair use” dalam hak cipta. Prinsip fair use adalah pilar dan salah satu prinsip utama Hak Cipta yang telah dipraktikan secara global.
Mereka menyatakan, rekaman suara yang ada, dieksplorasi dan dianalisis dengan tujuan mengidentifikasi pola suara dan berbagai gaya musik. Hal ini memungkinkan orang membuat kreasi baru mereka sendiri.
Tergugat beropini bahwa hal ini sejalan dengan prinsip penggunaan wajar atau fair use sebagai pilar hakiki hukum Hak Cipta.
Dalam unggahan di blog, Suno mengatakan bahwa label rekaman besar memiliki kesalahpahaman tentang cara kerja perangkat musik AI-nya.
Tergugat berpendapat bahwa model pelatihannya sama dengan seorang anak yang belajar menulis lagu rock baru. Dengan mendengarkan musik rock secara saksama terlebih dulu, dan bukan sekadar menyalin dan mengulang trek yang dilindungi hak cipta.
Suno menyebut bahwa penyedia AI lain seperti OpenAI, Google, dan Apple juga mengambil data pelatihan mereka dari internet terbuka. Ia menyebut bahwa belajar bukanlah pelanggaran.
Sebagian besar internet terbuka memang berisi materi berhak cipta, dan beberapa di antaranya dimiliki oleh label rekaman besar.
Terhadap argumen Suno dan Udio, tak urung RIAA menepisnya dengan mengatakan, tidak seperti layanan pesaingnya seperti YouTube, perusahaan tergugat gagal memperoleh persetujuan untuk menggunakan karya berhak cipta, sebelum meluncurkannya ke pasar.
Menurut RIAA, tidak adil mencuri karya nyata seorang artis, mengekstraksi nilai intinya, dan mengemasnya kembali untuk bersaing langsung dengan yang asli.
Deepfake dan Soundlike
Berbeda dengan penggunaan AI dalam menghasilkan lagu dan produk musik baru, persoalan hukum lainnya adalah terkait deepfake dan soundlike.
Sebagaimana dirilis dalam siaran resmi Office of The Governor Tennessee (21/03/2024), Gubernur Tennessee Bill Lee telah menandatangani Ensuring Likeness Voice and Image Security (ELVIS) Act yang berdampak pada tata kelola hak cipta.
Meskipun tak berkaitan langsung, UU ini disebut ELVIS Act. Mengingatkan kita pada artis hebat Elvis Presley.
Elvis lahir di Tupelo, Mississippi, tetapi ia dan keluarganya pindah ke Memphis, Tennessee saat ia berusia 13 tahun, dan memulai karier musik pada 1954.
Tennessee memang memiliki perhatian khusus terhadap industri musik. Musik mendukung lebih dari 61.617 pekerjaan di seluruh negara bagian, menyumbang 5,8 miliar dolar AS terhadap PDB dengan mengisi lebih dari 4.500 tempat pertunjukan musik.
UU yang mulai berlaku 1 Juli 2024 ini, mengatur tentang deepfake dan soundlike. Mencakup penggunaan suara dan kemiripan seseorang oleh AI generatif, platform internet, dan perusahaan teknologi.
UU ELVIS memperluas larangan penggunaan suara seseorang tanpa izin, selain nama, foto, dan kemiripan.
UU ini juga mengatur tanggung jawab perusahaan yang mendistribusikan suara, atau kemiripan tanpa izin, dan penyedia teknologi produksi suara atau kemiripan tanpa izin.
Target UU ini apalagi jika bukan platform media sosial, layanan streaming, dan pengembang AI generatif dengan mempersempit pengecualian fair use dan iklan.
UU ELVIS juga memungkinkan perusahaan rekaman untuk mengajukan tindakan atas nama artis mereka.
Opini akademis
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Emory, Matthew Sag, dalam artikel "Fairness and Fair Use in Generative AI" Fordham Law Review 2024 memberikan pandangan akademis.
Ia menyatakan bahwa Sistem AI Generatif, seperti model bahasa Generative Pretrained Transformer (GPT) dan Large Language Model Meta AI (LLaMA), serta model teks-ke-gambar Stable Diffusion dan Midjourney, dibangun dengan menyerap sejumlah besar teks dan gambar dari internet.
Hal ini dilakukan tanpa mempertimbangkan apakah karya-karya tersebut tunduk pada pembatasan Hak Cipta, atau apakah penulisnya akan menolak penggunaannya.
Meskipun bukan hal sepenuhnya baru, perkembangan AI generatif menimbulkan pertanyaan penting bagi hukum Hak Cipta.
AI generatif memberi konteks berbeda paling mendasar tentang Hak Cipta. Mencakup kapan hak pemilik Hak Cipta berakhir, dan kapan kebebasan untuk menggunakan karya berhak cipta dimulai.
Beberapa yurisdiksi memilih dengan aturan khusus. sementara yang lain akan mengandalkan penggunaan wajar atau fair use, bahkan mungkin perlakuan wajar.
Profesor Matthew mengakui, beberapa yurisdiksi akan menutup mata saat teknologi ini berkembang. Secara diam-diam mengizinkan pelanggaran yang meluas, atau memilih untuk membiarkan pihak lain melakukan pekerjaan teknologi tinggi untuk melatih model besar.
Profesor Matthew juga diundang sebagai pakar dalam sesi dengar pendapat dengan Sub Komite Senat AS sebagaimana dilaporkan Emory Law News Center (18/07/2023).
Pada kesempatan itu, ia menekankan pentingnya bagi Kongres untuk mengklarifikasi penerapan doktrin penggunaan wajar, jika akan membuat UU baru tentang AI dan Hak Cipta.
Ia menyebut beberapa negara lain antara telah mengadopsi fair use dalam undang-undang Hak Cipta mereka. Sementara Jepang, Inggris, dan Uni Eropa memiliki pengecualian untuk eksplorasi data teks untuk pembelajaran mesin.
Pakar hukum terkenal itu menyatakan prihatin terhadap penggunaan AI untuk menciptakan deepfake dan media sintetis, yang dapat digunakan untuk melecehkan, melukai, dan mencemarkan nama baik individu.
Ia menegaskan perlunya undang-undang hak publisitas nasional untuk menggantikan undang-undang negara bagian yang tidak konsisten, serta mendukung lahirnya UU data privasi nasional.
Sebagai penutup tulisan ini, dapat saya kemukakan, untuk mengatasi potensi kegaduhan yang sudah di depan mata, maka perlu pendekatan hukum yang lebih realistik, termasuk membuat regulasi yang dapat menampung keseimbangan teknologi AI dan Hak Cipta.
Tulisan saya ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa penggunaan AI dalam industri musik telah melanggar atau tidak melanggar hak cipta.
Namun, lebih pada menunjukan realitas, kasus-kasus, regulasi negara lain, dan praktik global terkait hal ini. Hal yang dapat dijadikan bahan kajian dalam penyusunan Regulasi AI dan Hak Cipta kita ke depan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.