KEHADIRAN AI atau Artificial Intelligence yang semakin masif dalam kehidupan manusia hari ini, diprediksi berpotensi semakin mengancam pada berbagai aspek perilaku manusia.
Hal-hal yang secara konvensional dan tradisional merupakan keindahan subjek bernama manusia, saat ini, perlahan tapi pasti sudah mulai menghilang; digantikan oleh objek atau subjek baru yang diberi nama AI.
Contoh ini sudah penulis gambarkan dalam Kompas.com pada artikel berjudul “Generasi Tanpa Komunitas” (23/11/2023) dan “Generasi Alien” (11/07/2023).
Sebenarnya ancaman tentang hal ini sudah lama disampaikan oleh berbagai pihak. Misalnya melalui beragam pesan simbolik seperti dalam berbagai film.
Banyak film yang kemudian memberikan sinyalemen nyata betapa AI, meskipun memiliki kemampuan mempermudah kehidupan manusia, namun seiring dengan itu juga berpotensi menjadi ancaman terutama dalam berbagai kehidupan sosial.
Salah satu ancaman realitas baru akan didiskusikan pada artikel ini. Kita akan berangkat dari fakta salah satu dari keindahan manusia berinteraksi dengan manusia lain adalah terjadinya atau dihasilkannya ilmu pengetahuan.
Seorang filsuf, Habermas menjelaskannya fenomena ini dengan istilah “dialog intersubjektif”. Dialog intersubjektif adalah proses bagaimana dua pihak atau atau lebih saling memberikan argumen dan pandangan terhadap suatu objek yang dibahas.
Setiap kebenaran diinteraksikan, sehingga bisa menemukan mana yang betul-betul sesuai dengan kebenaran itu sendiri maupun menghasilkan kebenaran alternatif yang jauh lebih baik/tepat dengan kebutuhan.
Dialog intersubjektif memungkinkan tiap pihak berdiri secara setara tanpa memedulikan kapasitas antarsubjek tersebut.
Kesetaraan itu akan memungkinkannya untuk aktif memberikan argumen, saling berbagi data, maupun beropini berbeda-beda terhadap sesuatu.
Dengan hadirnya AI yang mengisi sebagian ruang sosial kehidupan manusia, maka beberapa hal yang melekat pada entitas manusia seperti relasi-relasi berbasis komunitas, akan menghilang.
Salah satu di antaranya adalah yang akan dibahas dalam artikel ini sebagai “generasi tanpa diskusi”.
Mengapa disebut generasi tanpa diskusi? Karena mereka adalah sekelompok orang yang jika dia merasa memiliki suatu masalah atau pertanyaan, cukup bertanya kepada AI yang tersedia setiap saat.
Di sini masalahnya. Jika kita bertanya kepada sesama manusia, maka jawaban-jawaban dari setiap orang yang ditanya sangat mungkin menghasilkan jawaban berbeda-beda.
Hal demikian karena setiap jawaban dipengaruhi oleh perspektif, ilmu pengetahuan, ruang, waktu dan kapasitas yang dimiliki oleh subjek orang tersebut.
Sedangkan kalau AI atau ‘sesuatu’ yang bisa dikatakan objek itu, walaupun dianggap memiliki kapasitas yang sama/mirip, jawaban dari pertanyaan kepadanya tergantung sekali dari kualitas pertanyaan yang diajukan.
Semakin bagus/dalam/kritis suatu pertanyaan, maka respons yang diberikan dengan sendirinya akan memberikan sesuai dengan “big data” yang dimiliki AI itu sendiri.
Maka objektivitas dalam pertanyaan manusia akan menjadi problem tersendiri; karena tidak jarang kalau yang bertanya itu tidak terlatih secara kritis, maka dia akan berhenti mendalami jawaban dari pemberi jawaban.
Di sisi lain, jika bertanya kepada manusia, bisa jadi pertanyaannya terlihat dangkal. Namun tidak jarang orang yang ditanya akan memberi jawaban berbeda, lebih mendalam, dan kadang bisa menghasilkan diskusi baru.
Dengan pola diskursif seperti ini, yang tentu berpotensi menghasilkan ilmu baru, justru pada ‘generasi tanpa diskusi’ malah berpeluang menghasilkan manusia yang kurang cerdas.
Mengapa disebut kurang cerdas? Karena kecerdasan salah satunya dihasilkan dari kemampuan seseorang melakukan diskusi secara kritis dengan pihak lain; Keberbedaan perspektif, cara pandang keilmuan dan lain sebagainya merupakan proses epistemmis yang berpotensi menghasilkan ilmu pengetahuan baru tersebut.
Sedangkan ketika kita bertanya dan dijawab AI secara objektif dan monologis, maka peluang menghasilkan ilmu baru menjadi sedikit, malah bisa jadi tidak ada.
Sebab AI hanya menghasilkan jawaban yang memuaskan penanya. Tidak seperti manusia yang kadang-kadang bisa nyebelin, membuat marah atau melegakan karena memuji dan sebagainya.
Diskusi merupakan proses di mana daya kritisisme seseorang di hadapan sesama subyek bisa fluktuatif-dinamis.
Sehingga manusia dituntut untuk bersikap dan berperilaku berbeda-beda. Tentu saja, model sikap seperti ini merupakan suatu pembelajaran tersendiri bagi manusia.
Lalu, bagaimana kita mengatasi persoalan kemunculan generasi tanpa diskusi ini?
Terdapat sejumlah cara yang bisa dijadikan solusi untuk mengatasi persoalan ini. Pertama, ruang belajar atau ruang pendidikan tidak hanya dibentuk dalam format bertanya atau perintah kepada anak didik, tetapi juga tetap dibuat dalam pola saling membangun dan mengembangkan pertanyaan yang menghasilkan diskusi-diskusi baru.
Kedua, AI adalah suatu keniscayaan peradaban manusia hari ini. Namun, AI tidak bisa menggantikan ruang dan model diksusi antarmanusia.
Kesadaran bahwa posisi ini rentan hilang oleh manusia itu sendiri, harus direspons oleh para pemangku kepentingan agar proses dialog intersubyektif tetap dipelihara dalam berbagai peluang relasional manusia.
Sebagai manusia nalar kritisnya jangan sampai memudar. Kritisisme yang merupakan basis dari salah satu kemampuan manusia menalar persoalan-persoalan di lingkungannya jangan menjadi kenangan yang tersimpan di museum saja.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.