KOMPAS.com - Pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) disebut kerap memberi baby trap agar korban tidak mampu meninggalkan hubungan yang tidak sehat.
Pendapat tersebut diungkapkan oleh sejumlah warganet, selepas kasus KDRT yang dilakukan oleh Armor Toreador kepada istrinya, Cut Intan Nabila terungkap.
Selama lima tahun membangun rumah tangga, Armor dan Cut Intan telah dikaruniai tiga buah hati.
Bahkan, dalam rekaman CCTV yang dibagikan Cut Intan di Instagram pada Selasa (13/8/2024), anak ketiga yang belum genap berusia 1 bulan menjadi saksi kekerasan.
Selebgram dan mantan atlet anggar tersebut pun mengaku tetap bertahan dari perbuatan suaminya karena anak.
"Baby trap. sengaja dikasih anak bnyk biar gabisa kabur. untung udh bnyk yg sadar buat gugat cerai," tulis akun media sosial X @social***," Rabu (14/8/2024).
Lantas, apa itu baby trap?
Baca juga: Marak Kasus KDRT, Dokter Soroti Efek Pertengkaran Orangtua di Depan Anak
Baby trap jadi faktor korban KDRT susah lepas
Psikolog klinis dari Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta Ratna Yunita Setiyani Subardjo membenarkan, baby trap menjadi salah satu cara yang digunakan pelaku KDRT agar korbannya susah lepas dari hubungan tidak sehat.
Baby trap adalah sebuah situasi saat seseorang sengaja membuat pasangan atau dirinya hamil, sehingga pasangan memiliki kemungkinan kecil memutuskan hubungan.
"Iya betul, jadi baby trap itu arti sebenarnya sengaja dilakukan oleh orang supaya jadi susah meninggalkan (hubungan)," ujar Ratna, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (15/8/2024).
Ratna mengatakan, telah dikaruniai banyak anak memang dapat menjadi faktor yang membuat korban tidak mau meninggalkan pelaku kekerasan.
Sebab, korban yang mayoritas perempuan pasti akan berpikir bagaimana masa depan anak-anaknya jika berjauhan dengan sosok ayah.
Padahal, secara psikologis, sebenarnya sudah tidak lagi ikatan yang bisa menjadi penguat untuk mempertahankan rumah tangga.
"Kalau secara fisik ada bapak dan ibunya masih jadi suami istri tentu orang juga tidak akan menghakimi," kata Ratna.
Tindakan menghakimi dari orang lain pun turut menjadi faktor dan permasalahan lain yang membuat korban tak kunjung lepas dari pelaku.
Namun, bukan hanya anak atau baby trap, faktor lain juga bisa memaksa korban untuk tetap bertahan dalam sebuah hubungan toksik.
Materi misalnya, beberapa perempuan sering kali enggan memutus jerat hubungan tidak sehat karena takut akan sulit memenuhi kebutuhan dirinya dan anak-anak.
Belum lagi jika sudah memiliki anak, tentu membutuhkan biaya tidak sedikit untuk membesarkannya.
"Korban jadi berpikir ulang, kalau mau meninggalkan berarti setidaknya harus mapan dulu, sementara untuk jadi mapan sekarang cari kerja susah. Jadi ada dependent (bergantung) secara materi," ungkap Ratna.
Baca juga: Komnas Perempuan Tindak Lanjuti Aduan Cut Intan Nabila, Bagaimana Cara Lapor KDRT?
Korban KDRT sering kali ingin kenyamanan semu
Dosen di Fakultas Psikologi Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta ini menyampaikan, jika menilik lebih jauh dalam kasus KDRT, bisa jadi korban juga bertahan karena ingin mendapatkan kenyamanan semu.
Sayangnya, guna mendapatkan kenyamanan semu tersebut, korban perlu melewati banyak ketidaknyamanan dan agresivitas yang menyakitkan.
Dia mencontohkan, saat berada dalam hubungan tidak sehat, baik KDRT maupun kekerasan verbal, korban akan mendapat banyak tekanan dari pelaku yang tak segan melemparkan tangan untuk memukul atau menampar.
Namun, setelahnya, pelaku akan meminta maaf serta melimpahkan segala bentuk kasih sayang, sehingga terjalinlah kembali hubungan mesra.
"Setelah ada permintaan maaf, korban seolah-olah merasa apa yang dia inginkan, yakni kasih sayang tercapai. Perhatian pelaku juga biasanya menjadi berlebih," tutur Ratna.
Namun, kemesraan yang terjalin akan luntur saat pelaku kembali berulah dan melakukan tindakan kekerasan pada korban.
"Nanti terjadi lagi, siklusnya seperti itu terus-menerus. Itu jadi dependent secara psikologis ya," kata dia.
Baca juga: Memutus Stigma dan Siklus Berulang KDRT
Cara lepas dari jeratan pelaku KDRT
Ratna berujar, hal pertama yang perlu dilakukan untuk bisa lepas adalah menyadari tengah berada dalam kondisi "tidak baik-baik saja".
Pasalnya, jika korban merasa tidak ada masalah, dia tentu tidak akan mengambil tindakan untuk keluar dari lingkaran hubungan toksik.
"Tapi kalau merasa sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, maka akan membuatnya mengambil jalan lain," ucap Ratna.
Kendati demikian, tidak semua korban bisa mendapatkan pemahaman tersebut dari dirinya sendiri.
Sebagai solusinya, korban bisa berbagi cerita kepada teman yang dirasa mampu memberikan tanggapan baik.
"Atau kalau kita merasa tidak mau teman lain tahu, ya mesti sharing (berbagi) kepada profesional," sambungnya.
Kesadaran bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja ini juga perlu diraih sesegera mungkin agar tak menjadi bumerang yang bisa semakin merugikan korban.
Terlebih, masalah rumah tangga bukan hanya berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis korban, melainkan juga anak-anak yang ikut menyaksikan langsung pertengkaran orangtuanya.
Penting juga untuk mendapatkan dukungan praktis dan emosional alias support system permanen dari orang-orang sekitar agar mampu lepas dari hubungan tidak sehat.
"Orang-orang di sekitar itu masih banyak kok yang sayang dengan kita dan kita bisa mendapatkan itu semua selama terbuka dan tahu apa yang sedang kita hadapi," terang Ratna.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.