Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dibayar atau Ditipu, Fakta Upah Kerja Rodi Jalan Daendels Anyer-Panarukan

Baca di App
Lihat Foto
Wikimedia Commons
Herman Willem Daendels
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Herman Willem Daendels adalah adalah politikus Belanda yang pernah menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda selama tiga tahun pada 1808-1811.

Dia diberi amanat untuk menggantikan Gubernur Hindia Belanda ke-36 oleh Raja Belanda Louis Napoleon Bonaparte ketika Belanda sedang dijajah oleh Perancis.

Alasan Napoleon mengirim Daendels adalah untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris dan Daendels dianggap sebagai pemuda yang memiliki semangat Revolusi Perancis.

Napoleon kala itu juga memberikan dua pesan terkait pemerintahan kepada Daendels, yaitu dia harus membuat pemerintahan yang bebas dari korupsi dan memberikan keuntungan bagi Perancis.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selain itu, Napoleon memerintahkan Daendels untuk menjamin nasib orang pribumi dengan memperhatikan kualitas sarana.

Instruksi itulah yang kemudian menjadi dasar hukum pembangunan Jalan Raya Pos atau jalan yang membentang dari Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 kilo meter.

Daendels juga menerapkan sejumlah kebijakan lain untuk melindungi Pulau Jawa.

Tetapi seiring berjalannya waktu, Daendels bersikap laiknya diktator.

Sejarah mencatat, rakyat pribumi sengsara akibat dipaksa kerja rodi dan tidak diberi upah, termasuk bagi pekerja yang membangun Jalan Raya Pos.

Lantas, benarkah demikian? Simak penjelasan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) sekaligus penulis disertasi tentang sentralisasi kekuasaan Daendels, Djoko Marihandono untuk mencari tahu faktanya.

Baca juga: Sejarah 25 Agustus 1958, Hari Lahirnya Mi Instan Pertama di Dunia


Apakah pekerja Jalan Anyer-Panarukan diberi upah?

Djoko mengungkapkan, para pekerja yang membangun Jalan Raya Pos sebenarnya diberi upah oleh pemerintah Daendels.

Aturan pemberian upah kepada para pekerja ini tertuang dalam instruksi tanggal 5 Mei 1808 yang terdiri dari sepuluh pasal.

"Dalam pasal 4 disebutkan pembiayaan proyek ini ditanggung oleh negara. Pemerintah memberikan upah yang pelaksanaannya dilakukan oleh komisaris negara," ujar Djoko, kepada Kompas.com, Kamis (8/8/2024).

Adapun besaran upah yang diberikan berbeda-beda, tergantung medan jalan yang dikerjakan. Djoko mengatakan nominal upah ini juga sudah termuat dalam instruksi pada Pasal 5.

Pemerintah Daendels telah menyediakan kurang lebih 30.000 ringgit. Ringgit merupakan nama lain dari mata uang gulden Hindia Belanda. Berikut rincian upah yang diberi kepada pekerja:

  • Cisarua-Cianjur: 10 ringgit perak/orang
  • Cianjur-Rajamandala: 4 ringgit perak/orang
  • Rajamandala-Bandung: 6 ringgit perak/orang
  • Bandung-Parakanmuncang: 1 ringgit perak/orang
  • Parakanmuncang-Sumedang: 5 ringgit perak/orang
  • Sumedang-Karangsebung (Cirebon): 4 ringgit perak/orang.

Djoko menambahkan, total pekerja yang dikerahkan untuk membangun Jalan Raya Pos ada sebanyak 1.100 orang. Mereka kemudian dibagi lagi jumlahnya menyesuaikan enam rute proyek.

Rute dengan medan pegunungan membutuhkan pekerja paling banyak, seperti rute Cisarua-Cianjur dikerjakan 400 orang dan Rajamandala-Bandung 200 orang.

Sementara, Cianjur-Rajamandala, Parakanmuncang-Sumedang, Sumedang-Karangsebung dikerjakan setidaknya 150 orang. Terakhir, Bandung-Parakanmuncang dikerjakan oleh 50 orang.

Selama pembangunan berjalan, proyek diawasi oleh para pengamat dan bupati. Bupati adalah jabatan tertinggi yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda kepada orang pribumi.

"Jadi inilah yang dilaporkan (dalam sejarah) tidak dibayar, karena proses pembayarannya diberikan kepada para bupati sebagai pengawas dari pembangunan jalan itu," ucap Djoko.

Baca juga: Jejak Tugu Triangulasi Terakhir di Solo, Saksi Pemetaan Nusantara Era Kolonial Belanda

Lantas, apakah upah pekerja dikorupsi oleh pribumi?

Meski begitu, Djoko mengatakan dugaan tersebut belum tentu benar.

Menurutnya, bisa saja ada arsip laporan penyaluran upah oleh bupati, tetapi belum ditemukan.

"Mungkin ada, tapi arsipnya belum ditemukan dan itu yang dipertanyakan oleh menteri koloni ketika Daendels dipanggil pulang ke Paris menghadap Napoleon. Kalo dibilang korupsi belum tentu," ujarnya.

Djoko berpendapat, keterbelakangan kemampuan menulis orang pribumi saat itu kemungkinan menjadi penyebab tidak ditemukannya arsip pembayaran upah pekerja Jalan Raya Pos saat ini.

"Jadi pertanggungjawaban itu harusnya dilaporkan, tapi tidak. Toh, seandainya ditelusur, pemerintah kolonial itu sudah memberikan pembayaran, karena instruksi harus dijalankan, Daendels itu orangnya keras, sangat keras," timpal Djoko.

Selain berwatak keras, Daendels juga dikenal sebagai sosok yang taat dan konsisten dengan aturan. Hal itu dapat terlihat dari adanya kebijakan yang mewajibkan negara membayar upah untuk mandor.

Djoko memaparkan, mandor berhak mendapat upah 3 ringgit perak, pekerja selain buruh Jalan Raya Pos diberi 2 ringgit perak. Masing-masing kepala dari orang yang bekerja juga akan menerima tiga kantong beras dan garam.

Baca juga: Jangan Sampai Keliru, Ternyata Holland Tidak Sama dengan Belanda

Apakah pernah ada korupsi pada masa pemerintahan Daendels?

Melalui paper bartajuk "Dandels Effort to Abolish Corruption" yang ditulis Djoko pada 2006 untuk seminar Belanda di Indonesia, korupsi sudah ada sejak zaman pemerintahan Daendels.

Dalam artikel ilmiah itu, Djoko mengungkapkan bagaimana Daendels mengawasi korupsi produk agraris yang merupakan primadona Pulau Jawa.

Upaya "mencurangi" pemerintah terlihat oleh Daendels ketika para petani menyerahkan hasil produk mereka ke gudang pusat melalui bupati.

Berat produk yang diserahkan oleh petani kepada bupati adalah 160 ton per pikul. Bupati kemudian menyerahkan hasil produk kepada residen sebanyak 120 ton per pikul.

Sampai akhirnya, produk yang masuk ke gudang pusat hanya 100 ton per pikul. Artinya, ada pengurangan 20 ton setiap pikulnya.

Oleh karena itu, Daendels menetapkan aturan mulai dari awal sampai masuk ke gudang pusat, berat produk yang diserahkan harus 120 ton per pikulnya tanpa pengurangan.

"Ternyata ada pengurangan berat sampai di gudang dan lebih dari 30 produk mengalami penyusutan. Rupanya petuas-petugas itu korupsi lagi," jelas Djoko.

Selain terjadi penyusutan komoditi dagang, di masa Daendels juga terjadi pembalakan hutan.

Daendels memberikan sanksi berat bagi mereka yang menyelewengkan hasil bumi dan hutan.

Apabila terbukti bersalah, akan dikenakan sanksi denda, kehilangan jabatan, dan hukuman mati.

"Mereka yang mengorupsi aset negara lebih dari 3.000 ringgit akan dihukum mati. Lalu yang melakukan kesalahan administrasi dan merugikan negara 15.000-30.000 ringit harus juga dihukum dengan disidangkan dan ditembak," papar Djoko.

Menurutnya, pemerintahan kolonial yang menjalankan semangat anti korupsi hanyalah Daendels.

Baca juga: Kata Duit Disebut Berasal dari Belanda dan Tertulis di Koin VOC, Ini Asal-usulnya

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi