KOMPAS.com - Aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib meninggal akibat diracun pada 7 September 2004 atau tepat 20 tahun yang lalu.
Ia meninggal ketika menempuh perjalanan menggunakan pesawat Garuda Indonesia dari Jakarta menuju Amsterdam, Belanda.
Munir terbang ke Negeri Kincir Angin untuk menempuh studi pascasarjana. Namun, keinginannya untuk melanjutkan studi tak pernah terwujud setelah ajal menjemputnya lebih dulu.
Berikut kronologi Munir diracun ketika terbang menuju Amsterdam dan sosok di balik pembunuhan aktivis HAM ini.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Aktivis HAM Munir Lahir 8 Desember 1965
Kronologi Munir diracun
Sebelum diracun, Munir dikenal sebagai tokoh yang vokal membela HAM. Hal ini dibuktikan Munir dengan terlibat dalam pendirian Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Berdasarkan catatan Kompaspedia, Jumat (16/9/2022), Munir pernah menjadi anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur di sekitar kerusuhan 1999 dan anggota Tim Penyusunan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2000.
Ia juga pernah menangani kemelut Timor Timur (1992–1994), warga Nipah di Madura (1993), keluarga Marsinah (1994), dan mahasiswa dan petani di Pasuruan (1995).
Setelah terlibat dalam serangkaian pengusutan kasus pelanggaran HAM di Tanah Air, Munir memutuskan melanjutkan studi ke Belanda.
Sesuai jadwal keberangkatan, Munir bertolak menuju Amsterdam dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 6 September 2004 pukul 21.55 WIB.
Ia terbang menuju Belanda menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974.
Dilansir dari Kompas.com, Rabu (14/9/2022), pesawat yang ditumpangi Munir sempat transit di Bandara Changi, Singapura pada 7 September 2004 sekitar pukul 00.40 WIB.
Pada saat itu, Munir duduk di Coffee Bean sebelum masuk kembali ke pesawat untuk melanjutkan perjalanan menuju Amsterdam pukul 01.50 WIB.
Baca juga: Keriuhan Bjorka: Klaim Bongkar Data Pemerintah hingga Kasus Munir, Tiba-tiba Akunnya Menghilang
Setelah tiga jam pesawat lepas landas, Munir mengalami sakit sehingga ia harus keluar-masuk toilet beberapa kali.
Ia sebenarnya mendapat perawatan oleh dokter dan dipindahkan dari kursinya 40G ke 1J.
Namun, upaya dokter tidak membuahkan hasil dan Munir dinyatakan meninggal pukul 08.10 WIB ketika pesawat yang ditumpanginya berada di ketinggian 40.000 kaki, tepat di atas Rumania.
Pesawat yang ditumpangi Munir kemudian mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam pada 7 September 2004 pukul 10.00 waktu setempat.
Peristiwa Munir meninggal terbilang mengejutkan karena ia berangkat menuju Amsterdam dalam keadaan sehat.
Sesampainya di Amsterdam, jenazah Munir menjalani prosedur pemeriksaan yang dilakukan sepuluh petugas polisi militer.
Penumpang yang berada di dalam pesawat juga dilarang turun sampai pemeriksaan rampung.
Pemerintah Belanda sempat mengautopsi jenazah Munir sebelum dibawa ke Indonesia untuk dimakamkan.
Pejuang HAM itu kemudian tiba Batu pada 12 September 2004 untuk dikebumikan.
Baca juga: Sebelum Akun Twitternya Hilang, Bjorka Ungkap soal Kasus Munir
Ditemukan racun di tubuh Munir
Dua bulan setelah Munir meninggal, Institut Forensik Belanda (NFI) mendapati temuan racun arsenik dengan jumlah dosis yang fatal dalam tubuh Munir.
Kecurigaan bahwa Munir dibunuh seketika mencuat. Suciwati yang merupakan istri Munir kemudian meminta hasil autopsi suaminya kepada Mabes Polri. Namun, kepolisian menolak permintaan tersebut.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merespons temuan NFI soal kematian Munir sambil berjanji bahwa pemerintah akan menindaklanjuti kasus ini.
Desakan kepada pemerintah untuk mengusut kasus Munir langsung menyeruak.
Sejumlah LSM mengadakan jumpa pers di kantor KontraS untuk mendesak pemerintah segera melakukan investigasi.
Mereka juga meminta pemerintah menyerahkan hasil autopsi kepada keluarga Munir.
Agar kasus Munir dapat terungkap, sejumlah LSM mendesak pemerintah membentuk tim penyelidikan independen dengan melibatkan masyarakat sipil.
Mabes Polri kemudian memanggil dan memeriksa delapan kru Garuda Indonesia yang terbang bersama Munir dalam perjalanan menuju Amsterdam pada 28 November 2004.
Baca juga: Empat Periode, Korupsi di Probolinggo, dan Munir yang Diracun di Udara
Jumlah saksi yang diperiksa terkait kematian Munir terus bertambah hingga 21 orang.
SBY juga mengesahkan Tim Pencari Fakta (TPF) kematian Munir pada 23 Desember 2004.
TPF tersebut dibentuk setelah SBY mendapat desakan dan terjadi gelombang demonstrasi dari masyarakat dan aktivis HAM.
TPF yang dibentuk SBY selanjutnya meminta Mabes Polri untuk segera menetapkan tersangka kasus Munir.
Desakan tersebut disampaikan TPF karena Mabes Polri lamban dalam mengusut kematian Munir.
Selain Mabes Polri yang bersikap lamban, pihak Garuda Indonesia juga terkesan menutup-nutupi kasus Munir.
TPF sempat menduga, pihak maskapai memalsukan surat penugasan seorang pilot Garuda Indonesia bernama Pollycarpus Budihari Priyanto yang terbang bersama Munir menuju Amsterdam.
Kecurigaan tersebut selanjutnya dilaporkan TPF ke SBY. TPF menduga indikasi kejahatan konspiratif dalam kasus pembunuhan Munir karena ada kecurigaan keterlibatan oknum PT Garuda Indonesia dan pejabat direksi Garuda.
Baca juga: Mengenang 16 Tahun Wafatnya Munir, Pejuang Kemanusiaan
Pollycarpus diperiksa dan BIN diduga terlibat
Mabes Polri akhirnya memanggil Pollycarpus pada 14 Maret 2005 setelah ia disebut mendapat surat penugasan palsu.
Pollycarpus kemudian mendapat panggilan kedua dari Mabes Polri pada 15 Maret 2005.
Bersamaan dengan pemeriksaan Pollycarpus, TPF mendapati temuan lain bahwa ada enam calon tersangka di mana empat di antaranya berasal dari Garuda Indonesia.
TPF juga mencium keterlibatan Badan Intelijen Negara (BIN) di balik kematian Munir.
Hal tersebut dikatakan TPF berdasarkan percakapan antara Pollycarpus dengan Muchdi Purwoprandjono atau Muchdi Pr dari BIN.
Keduanya diduga melakukan komunikasi sebelum dan sesudah Munir meninggal.
Pada saat itu, Pollycarpus dituduh menerima instruksi dari BIN untuk menghabisi Munir.
Setelah menjalani beberapa kali pemeriksaan di Mabes Polri, Pollycarpus ditetapkan sebagai tersangka pada 18 Maret 2005.
Pada 20 Desember 2005 atau lebih dari satu tahun pasca-meninggalnya Munir, Pollycarpus dijatuhi vonis selama 14 tahun penjara karena membunuh Munir.
Baca juga: Pembangunan Museum HAM Munir, Apa Saja PR Penegakan HAM di Indonesia?
Selain Pollycarpus, Direktur Utama PT Garuda Indonesia Indra Setiawan juga divonis satu tahun penjara lantaran dianggap menempatkan Pollycarpus sebagai extra crew di jadwal penerbangan Munir.
Meski dua orang sudah dijatuhi hukuman, tokoh-tokoh BIN yang diduga terlibat kasus Munir bebas dari semua tuntutan.
Pollycarpus bebas dari penjara pada 29 November 2014 dengan status bersyarat setelah menjalani hukuman sekitar sembilan tahun.
Enam tahun kemudian, ia meninggal setelah terinfeksi Covid-19 pada 17 Oktober 2020.
Pollycarpus mengembuskan napas terakhirnya setelah dirawat di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta selama 16 hari.
Muchdi Pr yang disebut-sebut terlibat pembunuhan Munir memutuskan bergabung dengan Partai Berkarya bentukan Tommy Soeharto pada 2018.
Ia kemudian menjadi ketua umum Partai Berkarya, namun partai yanag ia nahkodai gagal lolos sebagai peserta Pemilihan Umum 2024.
Setelah 20 tahun berlalu, kasus pembunuhan Munir masih menyisakan tanda tanya. Belum diketahui secara pasti siapa yang menjadi otak pembunuhan maupun motif yang sebenarnya.
Baca juga: Mengenal Arsenik, Racun Mematikan yang Membunuh Munir di Udara
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.