KEMATIAN dokter ARL, seorang residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro (Undip), membuka luka dalam yang selama ini tersembunyi di balik kebesaran nama institusi pendidikan Kedokteran.
Tragedi ini bukan hanya persoalan perundungan yang dilakukan oleh senior terhadap junior, melainkan refleksi dari masalah mendasar dalam sistem pendidikan kedokteran yang sarat akan hirarki, tekanan psikologis, dan ego profesi yang tak tersentuh.
Rahasia umum, sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia terkenal keras. Mahasiswa PPDS tidak hanya dituntut untuk menguasai materi kedokteran yang sangat kompleks, tetapi juga sering dihadapkan pada jam kerja panjang, tekanan mental dari supervisor, dan kultur hierarki yang kaku di rumah sakit tempat mereka berlatih.
Laporan keluarga yang masuk ke Kepolisian menuding adanya pemerasan dan tekanan psikologis yang besar, bahkan hingga menyeret senior-senior ke dalam pusaran dugaan pelanggaran pidana.
Hal ini semakin diperparah dengan sikap defensif institusi terkait yang, alih-alih menunjukkan empati, justru mengeluarkan hasil audit internal bahwa tidak ada perundungan dalam kejadian tersebut.
Sikap ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah institusi pendidikan kedokteran kita benar-benar aman bagi mereka yang sedang belajar di dalamnya?
Tidak ada ucapan bela sungkawa dari pihak departemen terkait, serta hasil audit internal yang terkesan melindungi diri, seakan memperkuat ego institusional bahwa mereka tak mungkin salah.
Kondisi ini mencerminkan salah satu masalah terbesar dalam pendidikan kedokteran di Indonesia-ego profesi yang menjadikan dokter, terutama yang lebih senior, merasa memiliki kekebalan atas kritik, apalagi hukum.
Profesi dokter memang penuh dengan tuntutan, tanggung jawab, dan prestise. Namun seringkali prestise ini disalahartikan menjadi ego yang merusak.
Ego tersebut muncul bukan hanya dari keberhasilan menyelesaikan pendidikan yang panjang dan berat, tetapi juga dari sistem pendidikan kedokteran yang sangat hirarkis, di mana senior dianggap sebagai otoritas tak terbantahkan.
Dalam sistem ini, junior diposisikan sebagai pihak yang harus tunduk pada senior tanpa memiliki ruang untuk berkomentar atau melawan.
Sikap ini menciptakan budaya tidak sehat. Dokter-dokter muda dipaksa untuk menanggung beban yang seringkali tidak manusiawi.
Sebagai contoh, dalam kasus dokter ARL, ia diduga harus menyerahkan uang hingga puluhan juta rupiah kepada senior sebagai bagian dari “kewajiban sosial” yang pada dasarnya adalah bentuk pemerasan.
Meski ada aturan etika profesi yang mengatur, sanksi terhadap pelanggaran sering kali tidak tegas dan proses pelaporannya tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi korban.
Fakta bahwa banyak kasus perundungan dan kekerasan dalam pendidikan kedokteran tidak diungkap ke publik menunjukkan adanya kekurangan dalam sistem pelaporan.
Junior seringkali takut untuk melapor karena khawatir akan mendapatkan balasan, baik secara sosial maupun profesional. Hal ini diperparah dengan kurangnya mekanisme pengawasan yang efektif dari institusi pendidikan.
Tekanan semacam ini, ditambah beban kerja yang tak kenal waktu, menciptakan kondisi psikologis tidak stabil.
Studi dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa burnout atau kelelahan ekstrem menjadi masalah sangat umum di kalangan tenaga medis, terutama mereka yang menjalani pendidikan spesialis.
Burnout ini sering kali tidak hanya berujung pada masalah fisik, tetapi juga bisa mengarah pada depresi, kecemasan, bahkan pemikiran bunuh diri.
Di beberapa negara, mahasiswa kedokteran dan dokter residen dilindungi oleh peraturan yang ketat terkait jam kerja dan dukungan mental. Namun di Indonesia, perlindungan semacam ini masih sangat minim.
Reformasi sistem Pendidikan Kedokteran
Apa yang harus dilakukan untuk mencegah tragedi seperti ini terulang kembali?
Pertama, universitas dan rumah sakit pendidikan harus memperbaiki sistem pelaporan perundungan.
Perlu ada komite etika independen yang bisa menindaklanjuti laporan tanpa campur tangan dari pihak berkepentingan.
Komite ini harus memiliki mekanisme pelaporan anonim dan melindungi pelapor dari segala bentuk intimidasi.
Kedua, perubahan kurikulum dalam pendidikan kedokteran. Etika profesi dan hukum kesehatan harus diberikan penekanan lebih besar, tidak hanya sebagai materi akademis, tetapi juga dalam bentuk pelatihan regular untuk semua level, baik junior maupun senior.
Penting juga untuk memperkenalkan modul kepemimpinan etis, di mana para dokter diajarkan bagaimana menjadi pemimpin yang adil dan suportif, bukan otoriter dan menindas.
Ketiga, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan harus lebih aktif dalam melakukan audit eksternal terhadap institusi pendidikan kedokteran.
Laporan perundungan atau pelanggaran etika harus diperlakukan dengan serius, dan sanksi harus diterapkan tanpa memandang status atau jabatan pelaku.
Selain itu, sanksi administratif bagi institusi yang gagal dalam melindungi mahasiswanya harus diberlakukan, termasuk penurunan akreditasi atau pembekuan program.
Profesi dokter adalah salah satu profesi mulia. Namun kemuliaan itu tidak boleh dirusak oleh ego pribadi atau kelompok.
Kasus dokter ARL mengingatkan kita bahwa di balik jas putih yang dikenakan oleh dokter muda, ada manusia yang rentan terhadap tekanan, baik fisik maupun psikologis.
Mereka yang telah lebih dahulu menjalani profesi ini harus menjadi mentor dan pelindung, bukan menjadi penguasa yang menindas.
Dengan reformasi yang tepat, sistem pendidikan kedokteran bisa menjadi tempat yang lebih aman dan sehat bagi generasi dokter selanjutnya.
Ego harus dikesampingkan, solidaritas antardokter harus dikedepankan. Hanya dengan cara ini kita bisa mencegah tragedi yang sama terjadi lagi di masa depan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.