KOMPAS.com - Tepat 40 tahun lalu, aksi demonstrasi berdarah terjadi di Tanjung Priok, Jakarta Utara pada 12 September 1984.
Peristiwa ini menjadi salah satu kerusuhan besar dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru).
Hingga kini, belum diketahui secara pasti jumlah korban meninggal dunia dalam Peristiwa Tanjung Priok.
Pemerintah memperkirakan, 33 orang menjadi korban dalam insiden itu. Namun, lembaga-lembaga kemanusiaan menaksir ratusan orang terbunuh dalam tragedi tersebut.
Baca juga: Di Mana Soeharto Saat Soekarno Bacakan Proklamasi Kemerdekaan RI?
Asas tunggal Pancasila
Pada 16 April 1980 dalam peringatan ulang tahun Kopasandha (Komando Pasukan Sandi Yudha), Presiden Soeharto mengingatkan adanya upaya untuk menggantikan Pancasila sebagai ideologi.
Upaya tersebut tidak semata-mata dengan kekuatan senjata, tetapi juga kekuatan subversif.
Menurut Soeharto, mereka melontarkan berbagai isu yang mendiskreditkan pemerintahan Orde Baru dan para pejabat. Apalagi, praktik-praktik ini terus berlangsung mendekati pelaksaan pemilu.
Dikutip dari Kompaspedia, (13/9/2021), pernyataan Presiden Soeharto tersebut justru mendapatkan kecaman dari beberapa tokoh seperti AH Nasution, Hoegeng Imam Santosa, Ali Sadikin, Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara.
Mereka pun membuat Petisi 50 sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan Orde Baru karena mengintepretasikan Pancasila untuk kepentingan pemerintahannya sendiri.
Petisi ini kemudian disampaikan kepada DPR pada 13 Mei 1980.
Baca juga: 32 Tahun Sempat Dilarang Soeharto, Ini Sejarah Imlek di Indonesia
Latar belakang Peristiwa Tanjung Priok
Tanjung Priok yang berada di wilayah Jakarta Utara merupakan salah satu sektor perekonomian paling penting di Indonesia.
Hal ini membuat wilayah tersebut memiliki demografi penduduk yang cukup padat karena sebagian besar warganya juga bekerja di pelabuhan Tanjung Priok.
Mereka banyak yang bekerja sebagai pedagang kecil, penarik becak, atau berbagai pekerjaan kasar lainnya.
Memasuki tahun 1980-an, perekonomian Indonesia dihantam oleh krisis akibat anjloknya harga minyak dunia, sehingga membuat aktivitas di Tanjung Priok ikut terganggu.
Banyak dari mereka kemudian mengkritik pemerintahan Orde Baru dalam ceramah-ceramah di masjid.
Pada 7 September 1984, seorang anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) mendatangi Mushala As Sa'adah.
Anggota Babinsa itu meminta pengurus mushala untuk mencopot pamflet jadwal pengajian yang juga berisi tulisan tentang problem Islam pada masa Orde Baru.
Baca juga: Penyebab Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru dan Lengsernya Soeharto
Keesokan harinya, pada 8 September 1984, seorang anggota ABRI bernama Sertu Hermanu mendatangi mushala tersebut dan meminta pengurus menyerahkan pamflet yang dilepas.
Saat itu, Hermanu memasuki mushala tanpa melepas sepatu dan bahkan menyiramkan air got ke dinding.
Dilansir dari Kompas.com (29/6/2023), hal itu kemudian menyulut kemarahan masyarakat setempat dan membakar motor Hermanu.
Dua hari setelahnya, beberapa jamaah mushola As Sa'adah berpapasan dengan salah satu petugas koramil, rekan Sertu Hermanu dan sempat terjadi adu mulut.
Adu mulut ini kemudian ditengahi oleh dua orang takmir Masjid Baitul Makmur dan mengajak merundingkan masalah itu di sekretariat masjid.
Perundingan ternyata tidak kunjung membaik karena prajurit tersebut menolak menganggap masalahnya selesai.
Tak hanya itu, massa telah berkumpul dan mendengar percakapan di dalam sekretariat. Mereka kehilangan kesabaran dan membakar sebuah motor milik seorang marinir.
Atas pembakaran tersebut, kedua takmir masjid yang menengahi adu mulut, ditangkap bersama dua orang lainnya.
Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk membebaskan keempat orang yang ditahan itu, tetapi hasilnya sia-sia.
Baca juga: Mengenal Baju Korpri, Muncul pada Era Orde Baru dan Jadi Seragam Identitas ASN
Kerusuhan pecah
Dalam ceramah tersebut, seorang pria bernama Amir Baki berbicara secara lantang dan menuntut aparat membebaskan empat orang takmir masjid, paling lambat pukul 23.00 WIB.
Setelah ceramah-ceramah usai, sekitar 1.500 orang melakukan aksi demonstrasi menuju kantor polsek dan koramil.
Beberapa sumber lain mengatakan, beberapa orang sempat melakukan aksi pengerusakan sejumlah bangunan selama perjalanan.
Ketika tiba di Jalan Protokol, mereka kemudian dikepung oleh kelompok militer dari dua arah dan disambut tembakan senjata api.
Massa demonstran ditembaki oleh militer yang bersenjata lengkap secara membabi buta.
Dalam sekejap, massa berhamburan, seiring banyaknya korban bergeletakan di jalan. Aparat kemudian menembakkan bazoka ke arah kerumunan.
Saat itu, rumah sakit setempat dilarang menerima korban kerusahan tersebut. Oleh karena itu, para korban dibawa ke rumah sakit militer di tengah kota.
Setelah korban diangkut, mobil pemadam kebakaran berdatangan untuk menyirami jalan yang penuh dengan darah.
Baca juga: Di Mana Soeharto Saat Soekarno Bacakan Proklamasi Kemerdekaan RI?
Usai kejadian
Setelah kejadian itu, banyak pihak yang menyayangkan tindakan represif angkatan bersenjata.
Kasus tersebut kemudian berlanjut hingga sidang subversi. Sejumlah orang diadili atas tuduhan melawan pemerintahan yang sah.
Dua orang terdakwa, Salim Qadar dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan Tonny Ardie 17 tahun 6 bulan penjara.
Dikutip dari Kompas.com (12/9/2018), untuk mengusut kasus ini, dibentuk Komisi Penyelidik Pemeriksa dan Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T).
Pembentukan KP3T dilakukan usai mendapat desakan dari berbagai pihak untuk menyelidiki pelanggaran HAM dalam peristiwa itu.
Pasalnya, terdapat sebuah kesewenang-wenangan dari pihak aparat terhadap korban.
Baca juga: Jadi Film Wajib Era Soeharto, Mengapa Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI Berhenti Ditayangkan?
Pihak aparat juga melakukan penangkapan dan penahanan di luar proses hukum terhadap seseorang yang dicurigai ikut dalam insiden tersebut.
Selain itu, aparat juga diyakini melakukan upaya penghilangan paksa selama selang waktu tiga bulan setelah peristiwa 12 September 1984.
Saat itu, korban ditangkap tanpa ada surat pemberitahuan kepada pihak keluarga dan tanpa alasan jelas.
Hasil penyelidikan KP3T menyebutkan nama-nama yang terlibat dalam aksi pelanggaran HAM tersebut, yaitu dari Babinsa, Kesatuan Arhanud, Koramil Koja, Polres Jakarta Utara, dan beberapa perwira tinggi.
Karena termasuk pelanggaran HAM berat, pemerintah pun diminta untuk menuntaskan kasus itu.
Namun, kasus ini akhirnya dianggap sudah selesai melalui proses mediasi dan islah yang panjang.
Baca juga: Hari-hari Lengsernya Soeharto Setelah 32 Tahun Menjabat Presiden
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.