Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mega El Nino Pernah Picu Kepunahan Massal Terburuk dalam Sejarah Bumi, Berlangsung 10 Tahun

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/Nexus 7
Ilustrasi El Nino. Fenomena mega El Nino mungkin memicu kepunahan massal terburuk sepanjang sejarah Bumi.
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - Fenomena El Nino mungkin memicu kepunahan massal terburuk dalam sejarah Bumi, yang memusnahkan lebih dari 90 persen kehidupan.

Sekitar 252 juta tahun lalu, kepunahan massal yang mengakhiri periode geologi Permian adalah yang terburuk dari lima peristiwa bencana global dalam sejarah Bumi.

Peristiwa yang juga dikenal dengan nama Great Dying ini bahkan lebih dahsyat daripada kepunahan akibat asteroid raksasa yang menjadi malapetaka bagi dinosaurus.

Dilansir dari Livescience, Kamis (12/9/2024), penelitian baru dalam jurnal Science menunjukkan, kelebihan karbon dioksida di atmosfer menyebabkan perubahan iklim.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pada gilirannya, perubahan iklim ini membunuh 90 persen spesies di Bumi pada akhir periode Permian ratusan juta tahun lalu.

Temuan tersebut memiliki implikasi bagi ilmu iklim modern terkait bagaimana pemanasan global saat ini akan memengaruhi siklus El Nino-La Nina.

Baca juga: Sama-sama Pola Iklim, Apa Beda Fenomena El Nino dan La Nina?


El Nino memicu kepunahan massal terburuk

Pada periode Permian, sekitar 298,9 juta hingga 251,9 juta tahun lalu, kehidupan di Bumi berkembang pesat.

Benua raksasa Pangaea atau Pangea ditumbuhi hutan lebat, tempat berbagai reptil berkeliaran di samping amfibi dan kumpulan serangga yang berdengung.

Di lautan, terumbu karang yang menjulang tinggi menjadi rumah bagi nautilus bercangkang spiral, ikan, dan hiu.

Kehidupan itu berjalan sebagaimana mestinya hingga serangkaian retakan gunung berapi raksasa di tempat yang saat ini disebut Siberia di Rusia meletus.

Retakan ini, yang dikenal sebagai Siberian Traps atau Perangkap Siberia, memuntahkan sejumlah besar karbon dioksida ke udara.

Lebih buruk lagi, retakan tersebut meletus di daerah kaya lapisan batu bara, yang ikut menguap ke atmosfer, mengakibatkan suhu lebih tinggi, hujan asam, dan pengasaman laut.

Bahkan, dampak geologis dari letusan ini telah ditemukan di lapisan batuan hingga Afrika Selatan.

Baca juga: Kenapa Thailand Masih Bisa Ekspor Beras meski Dilanda El Nino?

Rekan penulis studi dan profesor paleoenvironment di University of Leeds, Inggris, Paul Wignall mengatakan, efek mega El Nino, fenomena serupa dengan saat ini tetapi lebih intens dan lama, mungkin telah memainkan peran penting.

"Yang kami tunjukkan, itu adalah krisis kepunahan yang disebabkan oleh iklim. Bukan hanya pemanasan, tetapi juga bagaimana iklim bereaksi," kata dia, dikutip dari CNN, Kamis.

Jika kondisi lingkungan buruk tetapi konstan, kehidupan dapat berevolusi untuk mengatasinya secara mandiri.

"Namun, faktanya, kehidupan terus berubah dari satu (fenomena) ekstrem ke ekstrem lainnya selama beberapa dekade," lanjutnya.

Tim peneliti membangun model komputer iklim global selama akhir periode Permian. Hasilnya menunjukkan, saat suhu global meningkat, El Nino tumbuh dalam besaran dan durasi tertentu.

El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal yang terjadi di Samudra Pasifik bagian tengah, tetapi memengaruhi cuaca di seluruh dunia.

Fenomena ini meningkatkan suhu secara drastis dan mengakibatkan terjadinya periode banjir dan kemarau panjang yang dapat memicu kebakaran hutan.

Baca juga: Berkat El Nino, Gurun Terkering di Dunia Ditumbuhi Bunga-bunga

Fenomena El Nino dalam skala besar

Saat ini, fenomena El Nino biasanya berlangsung antara 9 hingga 18 bulan, serta terjadi setiap dua sampai tujuh tahun sekali.

Namun, menurut peneliti, dalam fase terpanas dari periode kepunahan massal, El Nino berlangsung selama sepuluh tahun.

El Nino yang terjadi 252 juta tahun lalu pun kemungkinan bermula di Samudra Panthalassa, suatu perairan yang jauh lebih besar daripada Samudra Pasifik saat ini.

Perairan tersebut dapat menahan lebih banyak panas, sehingga akan memperkuat dan mempertahankan efek fenomena El Nino.

Wignall menegaskan, aktivitas vulkanik tetap menjadi faktor utama kepunahan. Namun, bencana ini tidak cukup untuk menjelaskan skala bencana biologis yang terjadi.

Hal itu terbukti dari planet Bumi yang telah mengalami aktivitas vulkanik serupa sebelumnya, akan tetapi tidak sampai memicu kepunahan massal.

Baca juga: Spesies Burung di Pulau Terpencil Punah dalam Satu Tahun gara-gara Kucing Si Penjaga Mercusuar

"Vulkanisme adalah penyebab utama di sini, tetapi ada mekanisme umpan balik pada dinamika lautan yang menyebabkan El Nino jauh lebih kuat mulai berkembang dan kemudian (kedua hal) itu terjadi bersamaan," kata Wignall.

El Nino yang berkepanjangan dan intens juga menjelaskan mengapa kepunahan dimulai dari daratan sebelum merambat ke lautan.

Yadong Sun, peneliti di China University of Geosciences sekaligus salah satu penulis utama studi mengatakan, mega El Nino menyebabkan suhu di darat melampaui toleransi termal sebagian besar spesies.

Perubahan suhu yang melanda saat itu terjadi demikian cepat, sehingga spesies tidak mampu beradaptasi.

"Hanya spesies yang dapat bermigrasi dengan cepat yang dapat bertahan hidup, dan tidak banyak tumbuhan atau hewan yang dapat melakukan itu," kata dia.

Baca juga: Tak seperti Dinosaurus, 4 Hewan Ini Bisa Selamat dari 5 Kepunahan Massal

Mungkinkah terulang di masa modern?

Salah satu alasan utama mengapa kepunahan pada akhir periode Permian sangat mengerikan adalah mega El Nino menciptakan kondisi yang sangat hangat di daerah tropis.

Kondisi ini menyebar dengan cepat ke lintang yang lebih tinggi, mengakibatkan hilangnya sebagian besar tumbuhan dan kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida dari atmosfer.

Beberapa peneliti pun berpikir kepunahan akhir Permian mungkin memberikan pelajaran bagi krisis iklim saat ini.

Penelitian mencatat, peristiwa El Nino masa kini diketahui menyebabkan pemutihan karang dan kematian massal ikan.

Akan tetapi, dampak ekologis dan lintasan masa depan fenomena El Nino dalam iklim yang memanas belum diketahui.

Baca juga: Spesies Manusia Hampir Punah akibat Perubahan Iklim Ekstrem 900.000 Tahun Lalu

Di sisi lain, Wignall mengatakan, dunia 252 juta tahun lalu secara geografis merupakan tempat yang berbeda.

Pada masa itu, Bumi terdiri dari benua super besar yang disebut Pangea serta lautan besar yang mengelilinginya.

Hal tersebut mungkin membuat dunia lebih sensitif terhadap karbon dioksida yang dikeluarkan oleh gunung berapi super.

Menurut Wignall, akhir periode Permian merupakan krisis terbesar dalam sejarah Bumi dari sudut pandang kehidupan.

"Tetapi saya rasa kita tidak akan pernah mencapai kondisi itu lagi, karena (Bumi saat itu) adalah planet yang sangat aneh dengan benua di satu sisi dan lautan raksasa di sisi lainnya,” kata Wignall.

"Planet ini benar-benar rentan pada saat itu," tandasnya.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi