KOMPAS.com - Penelitian baru mengungkapkan, orang yang dirawat di rumah sakit karena infeksi Covid-19 parah, menunjukkan perubahan otak yang setara dengan penuaan 20 tahun.
Temuan tersebut sekaligus menunjukkan komplikasi neurologis yang bisa bertahan pada pasien Covid-19, bahkan setelah sembuh.
Pemindaian MRI dan tes darah juga menunjukkan adanya penanda cedera otak dan berkurangnya volume otak pada pasien-pasien tersebut, dikutip dari Neuro Science News, Selasa (24/9/2024).
"Setelah dirawat di rumah sakit karena Covid-19, banyak orang melaporkan gejala kognitif berkelanjutan yang sering disebut kabut otak," kata penulis studi, Greta Wood dari University of Liverpool, Inggris.
“Namun, masih belum jelas apakah ada bukti obyektif tentang gangguan kognitif. Jika benar, apakah ada bukti biologis tentang cedera otak dan yang paling penting apakah pasien dapat pulih dari waktu ke waktu," tambahnya.
Selain itu, penting untuk ditekankan bahwa ini adalah pasien Covid-19 yang membutuhkan rawat inap. Karenanya, temuan ini tidak boleh digeneralisasikan secara luas kepada semua orang yang pernah mengalami infeksi virus ini.
Baca juga: Asal Muasal Pandemi Covid-19 dari Pasar, Bukan Kebocoran Laboratorium
Dampak Covid-19 pada otak
Dalam studi tersebut, peneliti mempelajari 351 pasien Covid-19 yang memerlukan rawat inap dengan dan tanpa komplikasi neurologis baru.
Para peneliti menemukan, orang yang memiliki dan tanpa komplikasi neurologis akut Covid-19, memiliki kognisi yang lebih buruk daripada yang diharapkan untuk usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan mereka, berdasarkan 3.000 subyek kontrol.
Penulis korespondensi Profesor Benedict Michael dari Ilmu Saraf di University of Liverpool mengatakan, Covid-19 bukanlah kondisi yang hanya terjadi pada paru-paru.
Menurutnya, sering kali pasien yang terkena dampak paling parah adalah mereka yang mengalami komplikasi otak.
“Temuan ini menunjukkan bahwa rawat inap dengan Covid-19 dapat menyebabkan defisit kognitif global dan terukur secara obyektif yang dapat diidentifikasi bahkan 12-18 bulan setelah rawat inap," ujarnya.
“Defisit kognitif yang persisten ini terjadi pada mereka yang dirawat di rumah sakit, baik dengan maupun tanpa komplikasi neurologis klinis. Ini menunjukkan bahwa Covid-19 saja dapat menyebabkan gangguan kognitif tanpa diagnosis neurologis yang dibuat," tambahnya.
Baca juga: Muncul Varian Baru Covid-19 Xec di Eropa dan AS, Bagaimana Kesiapan Indonesia?
Gejala yang dialami penyintas Covid-19
Dilansir dari Imperial Today, terdapat bukti yang berkembang bahwa Covid-19 dapat menyebabkan masalah kesehatan kognitif dan mental yang berkepanjangan.
Beberapa pasien yang telah pulih melaporkan gejala-gejala, termasuk kelelahan, 'kabut otak', kesulitan mengingat kata-kata, gangguan tidur, kecemasan, dan bahkan gangguan stres pascatrauma (PTSD) berbulan-bulan setelah infeksi.
Di Inggris, sebuah penelitian menemukan bahwa sekitar satu dari tujuh orang yang disurvei melaporkan memiliki gejala yang mencakup kesulitan kognitif 12 minggu setelah tes Covid-19 positif.
Meskipun kasus yang ringan sekalipun dapat menyebabkan gejala kognitif menetap, namun sepertiga hingga tiga perempat pasien yang dirawat di rumah sakit melaporkan masih mengalami gejala kognitif 3-6 bulan kemudian.
Sementara itu, para peneliti mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan defisit kognitif.
Baca juga: Kemenkes Tegaskan Mpox Bukan Efek Samping Vaksin Covid-19
Infeksi virus secara langsung mungkin saja terjadi, tetapi tidak mungkin menjadi penyebab utama.
Sebaliknya, para peneliti mengatakan bahwa kemungkinan besar ada kombinasi dari beberapa faktor yang berkontribusi, termasuk oksigen atau suplai darah yang tidak memadai ke otak, penyumbatan pembuluh darah besar atau kecil akibat pembekuan, dan pendarahan mikroskopis.
Namun, bukti-bukti yang muncul menunjukkan, mekanisme paling penting adalah kerusakan yang disebabkan oleh respons inflamasi tubuh dan sistem kekebalan tubuh.
Meskipun penelitian ini mengamati kasus-kasus yang dirawat di rumah sakit, tim peneliti mengatakan bahwa pasien yang tidak cukup sakit untuk dirawat mungkin juga memiliki tanda-tanda gangguan ringan.
"Penelitian jangka panjang kini sangat penting untuk menentukan bagaimana pasien pulih atau siapa yang mungkin mengalami perburukan kondisi, untuk memastikan apakah ini khusus untuk Covid-19 atau cedera otak umum akibat infeksi lain," ujar Profesor Gerome Breen dari King's College London.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.