KOMPAS.com - Pemandu Gunung Everest atau yang dikenal dengan istilah sherpa disebut-sebut merupakan salah satu pekerjaan paling berbahaya.
Seperti yang diketahui, Gunung Everest terletak di perbatasan Nepal dan Tibet dengan ketinggian 8.849 meter di atas permukaan laut.
Mendaki Gunung Everest dapat berisiko, sebab penelitan menunjukkan, mendaki gunung melebihi 2.440 meter dapat mengurangi pasokan oksigen hingga menyebabkan gejala mual, sakit kepala, dan kelelahan.
Akibatnya, tidak sedikit pendaki yang meninggal di gunung ini, tak terkecuali sherpa.
Lantas, apa itu tugas sherpa dan mengapa tetap diminati meski membahayakan nyawa?
Baca juga: Puncak Gunung Everest adalah Dasar Lautan pada 470 Juta Tahun Lalu, Ini Proses yang Terjadi
Apa itu Sherpa?
Istilah sherpa kerap digunakan untuk memanggil seseorang yang bertindak sebagai porter atau pemandu di Gunung Everest. Namun, sherpa sebenarnya adalah kelompok etnis asli yang tinggal di wilayah pegunungan tinggi Himalaya.
Dilansir dari Wonderpolis, suku sherpa terdiri dari sekitar 150.000 orang. Nama sherpa memiliki arti "orang timur" yang mengacu pada asal-usul mereka di Khams, Tibet timur.
Suku sherpa telah tinggal di daerah tersebut selama ratusan tahun, sehingga tubuh mereka sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan di sana dan hapal dengan medan pendakian.
Karena alasan itu, suku sherpa memiliki stamina yang lebih besar saat mendaki daripada orang pada umumnya.
Hal ini juga yang membuat banyak di antara mereka bekerja sebagai pemandu di Gunung Everest.
Tidak hanya sekedar menunjukkan jalan, tetapi sherpa juga melakukan pekerjaan berbahaya, seperti memasang tali dan tangga untuk para pendaki, membangun tenda, membawa barang dan persediaan penting, hingga menurunkan jenazah pendaki yang meninggal di Gunung Everest.
Baca juga: Komet Sebesar Tiga Kali Gunung Everest Meledak dan Mengarah ke Bumi
Pekerjaan berisiko
Dikutip dari Majalah Outside, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit menyebut sherpa adalah pekerjaan yang memiliki kemungkinan sepuluh kali lebih besar untuk meninggal dibandingkan nelayan dan pekerjaan non-militer yang paling berbahaya di Amerika Serikat.
Himalayan Database mencatat, sekitar 290 orang sherpa meninggal saat mendaki Gunung Everest dalam lebih dari satu abad.
Kematian para sherpa ini salah satunya diakibatkan oleh pecahnya gletser Khumbu, bongkahan es seukuran rumah yang menggantung.
Sherpa biasanya selalu berangkat lebih dulu, mendaki sisi Everest yang mematikan. Sedangkan, para klien pendaki menunggu berhari-hari di kamp bawah.
Mereka menaiki Gunung Everest dalam kegelapan, sebelum cuaca menghangat dan menyebabkan es bergeser. Sherpa bisa menghabiskan 16 jam sehari di gletser untuk memasang tali dan tangga.
Baca juga: Komet Setan Sebesar Gunung Everest Akan Muncul Saat Gerhana Matahari April 2024
Pekerjaan berisiko dengan bayaran tinggi
Seorang mantan sherpa bernama Geljen Sherpa mengaku dirinya terpaksa melakukan pekerjaan berbahaya tersebut demi kelangsungan hidup keluarganya.
"Saya melakukannya untuk keluarga, karena saya tidak berpendidikan. Kalau tidak berpendiidkan, kami tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang bagus," ujar dia, dilansir dari NPR (14/4/2018).
Hal serupa juga diungkapkan seorang sherpa lain bernama Phurba Sherpa. Dia bersama kelima saudaranya merupakan pemandu Gunung Everest.
Namun, pada ekspedisi pertamanya, longsoran salju menewaskan tiga pendaki sherpa dan salah satu saudaranya. Akibat hal itu, dia dan beberapa saudaranya pun berhenti dan mencari pekerjaan yang lebih aman.
"Saya menyerah. Saya berjanji tidak akan pernah mendaki gunung lagi, tetapi suatu hari saya berubah pikiran, karena saya butuh uang," kata Phurba.
Seorang pemandu gunung yang disertifikasi oleh Federasi Internasional Asosiasi Pemandu Gunung umumnya mendapat bayaran antara 4.000 dolar AS (Rp 60 juta) hingga 10.000 dolar AS (Rp 151.000) setiap satu kali mendaki.
Jumlah minimum tersebut terhitung sepuluh kali lebih banyak dari upah rata-rata di Nepal.
Baca juga: Pendaki Harus Melewati Death Zone untuk Mencapai Puncak Everest, Apa Itu?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.