KOMPAS.com - Gerakan 30 September 1965 atau lebih dikenal dengan G30S merupakan peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal serta satu perwira Angkatan Darat (AD).
Latar belakang dari peristiwa ini adalah "kabar burung" atau isu adanya Dewan Jenderal yang berencana untuk mengudeta Presiden Soekarno.
Namun, keberadaan Dewan Jenderal itu hingga kini masih menjadi misteri.
Karena ada isu kudeta itu, Pasukan Cakrabirawa, tim khusus yang bertugas untuk pengamanan presiden beserta sejumlah tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), merencanakan penculikan terhadap sejumlah jenderal.
Rencananya, para jenderal itu akan dihadapkan kepada Soekarno itu terkait isu kudeta yang berembus.
Namun, rencana ini justru berubah menjadi tragedi berdarah. PKI yang dipimpin oleh Dipa Nusantara (DN) pun dituduh menjadi dalam di balik peristiwa ini.
Lantas, di mana DN Aidit saat peristiwa G30S terjadi?
Baca juga: Mengapa PKI Dianggap sebagai Dalang G30S?
Keberadaan DN Aidit saat G30S
Dikutip dari Kompas.com (30/9/2019), pada malam itu, Aidit sedang berada di rumahnya bersama sang istri, Soetanti.
Saat ia berusaha menidurkan putranya, Ilham Aidit, pada 21.30 WIB, sebuah mobil Jeep tiba-tiba muncul di depan rumahnya.
Menanggapi kedatangan mobil itu, Soetanti sempat membentak dua orang berseragam militer yang berada di depan pintu.
"Ini sudah malam!" bentak Soetanti.
"Maaf, tapi ini darurat. Kami harus segera!" jawab mereka.
Aidit yang mendengar ketegangan tersebut keluar menemui tamunya, kemudian kembali ke kamar tidur untuk memasukkan beberapa pakaian dan buku ke dalam tas.
Baca juga: Asal-usul Nama Lubang Buaya dan Alasan Jadi Tempat Pembuangan Korban G30S
Soetanti sebenarnya melarang suaminya untuk pergi malam itu. Namun, Aidit tetap pergi bersama dua orang berseragam militer, tanpa memberi penjelasan tujuan dan alasan di balik kepergiannya.
Sementara itu, Mayor (Udara) Soejono mengaku menjadi orang yang menjemput Aidit dan membawanya ke rumah dinas Menteri/Panglima Angkatan Udara, Laksdya Omar Dhani, di Wisma Angkasa, Kebayoran Baru, Jakarta.
Karena sang pemilik rumah tidak ada di lokasi tersebut, Aidit dibawa ke rumah mertua Omar di Jalan Otto Iskandardinata III, Jakarta Timur.
Namun, Omar tak kunjung muncul sehingga Aidit dibawa lagi ke rumah dinas seorang bintara Angkatan Udara (AU) di Kompleks Perumahan AU di Halim Perdanakusuma, Jakarta, yang dijadikan Central Komando (Cenko) II.
Saat penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa jenderal berlangsung, Aidit hanya diam di rumah tersebut.
Baca juga: Korban Salah Tangkap G30S, Mengapa Pierre Tendean Tetap Dibunuh?
Aidit berpindah tempat
Pada Jumat, 1 Oktober 1965 pagi hari, Aidit baru mengetahui bahwa “operasi” tidak berjalan sesuai rencana karena sejumlah jenderal justru tewas malam itu.
Sesuai perintah Omar Dhani, ia kemudian dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dan diterbangkan menuju Yogyakarta.
Satu hari di Yogyakarta, Aidit kemudian berpindah ke Semarang, Jawa Tengah, dan melakukan konsolidasi agar PKI dapat dilepaskan dari insiden penembakan jenderal itu.
Dari Semarang, Aidit kemudian bertolak ke Boyolali dan Solo, Jawa Tengah. Di dua kota tersebut, ia menerima kecaman terhadap apa yang terjadi di Jakarta.
Baca juga: Mengenal 10 Pahlawan Revolusi yang Gugur dalam Peristiwa G30S
Pada 6 Oktober 1965, saat berada di Blitar, Jawa Timur, ia menulis surat kepada Soekarno yang menyampaikan cerita G30S versinya.
Pada malam itu, ia dijemput oleh seseorang berpakaian Cakrabirawa dengan alasan untuk menghadiri rapat kabinet di Istana.
Namun, ia justru dibawa ke tempat lain. Aidit juga sempat bertanya kepada mereka, apakah penangkapan para jenderal sudah diketahui Soekarno.
Mereka pun menjawab bahwa Soekarno sudah memberikan “restu” untuk menindak para jenderal tersebut.
Baca juga: Tak Hanya di Lubang Buaya, Korban G30S Juga Ada di Kentungan Yogyakarta, Siapa Saja?
Akhir hidup Aidit
Ia menyadari, Angkatan Darat di bawah Pangkostrad Mayjen Soeharto sedang memburu tokoh PKI yang dianggap menjadi dalang pembunuhan para jenderal.
Usai peristiwa G30S, Aidit tak pernah menginjakkan kakinya di Jakarta dan berusaha meredam aksi kekerasan militer kepada simpatisan PKI di Jawa Timur.
Dalam surat terakhirnya tertanggal 10 November 1965, Aidit mengaku akan mencari perlindungan ke China.
Namun, Aidit akhirnya tertangkap pada 22 November 1965 dan dibawa ke Boyolali, Jawa Tengah, usai terus bersembunyi di rumah teman-temannya.
Saat tertangkap, Aidit mengaku bertanggung jawab dan dibawa oleh Kolonel Jasir Hadibroto ke markas Batalion Infanteri 444.
Baca juga: 7 Teori soal Pihak yang Jadi Dalang G30S, Ada Soeharto dan CIA
"Saya adalah satu-satunya orang yang memikul tanggung jawab paling besar dalam peristiwa G30S yang gagal dan yang didukung oleh anggota-anggota PKI yang lain, dan organisasi massa di bawah PKI," tulis Aidit dalam surat pemeriksaan yang ditandatanginya.
Di markas Batalion tersebut, Aidit dipersilakan membuat pesan terakhir dan memberikan pidato berapi-api yang membuat Jasir kesal.
"Aidit berteriak kepada saya, daripada saya ditangkap, lebih baik kalian bunuh saja," ungkap Jasir dalam wawancara dengan Suara Pembaruan pada September 1998.
"Saya sih, sebagai prajurit yang patuh dan penurut, langsung memenuhi permintaannya. Karena dia minta ditembak, ya saya kasih tembakan," sambunya.
Baca juga: Kenapa Para Jenderal Diculik dan Dibunuh dalam Peristiwa G30S?
Profil singkat DN Aidit
Dilansir dari Kompas.com (22/5/2022), Aidit dianggap sebagai “tokoh antagonis” yang dituduh menjadi dalang peristiwa G30S.
Ia lahir dengan nama Achmad Aidit pada 30 Juli 1923, anak pertama dari pasangan Abdullah Didit dan Mailan.
Aidit kecil dikenal sebagai seorang anak yang pandai mengaji dan rajin beribadah. Ia pernah mengenyam pendidikan Hollandsche Inlandsch School (HIS) dan pernah melanjutkan sekolah di Middestand Handel School, Jakarta.
Selama pendudukan Jepang di Indonesia, Aidit bersama teman-temannya mendapat pelajaran seputar politik dari tokoh besar, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, dan Ki Hajar Dewantara.
Dia menjadi bagian dari PKI pada 1 September 1948 dan ditunjuk sebagai anggota Polirbiro yang bertanggung jawab dalam perburuhan.
Usai peristiwa Pemberontakan PKI Madiun, Aidit dan tiga orang lainnya, Njoto, Lukman, dan Sudisman menggantikan posisi pemimpin lama pada Januari 1951.
Baca juga: Sosok DN Aidit, Ketua PKI yang Dituding Jadi Dalang G30S
Kala itu, Aidit terpilih menjadi sekretaris jenderal partai berdasarkan hasil kongres kelima dan menyingkirkan tokoh-tokoh tua PKI yang dianggap banyak melakukan kesalahan.
Kariernya melejit pada akhir 1950-an dan berhasil menduduki posisi Ketua Comite Central PKI (CC-PKI).
Ia memalingkan kiblat PKI dari Uni Soviet ke Republik Rakyat China (RRC) dan membangun PKI secara militan.
Pada pemilihan umum (Pemilu) 1955, PKI berhasil masuk dalam empat partai suara terbanyak dengan meraih 3,5 juta suara.
Aidit sempat menduduki jabatan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 1962 hingga 1963.
Pada 1963-1964, ia duduk sebagai Wakil MPRS dalam Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora I pada 1964-1965.
(Sumber: Kompas.com/Nibras Nada Nailufar, Verelladevanka Adryamarthanino | Editor: Heru Margianto, Widya Lestari Ningsih)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.