KOMPAS.com - Jepang menjadi salah satu negara yang memiliki tingkat obesitas rendah dan harapan hidup tinggi.
Menurut data Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, angka harapan hidup rata-rata di sana pada 2021 mencapai 87,57 tahun untuk wanita dan 81,47 tahun bagi pria.
Sementara, tingkat obesitas di Jepang merupakan yang terendah di antara negara-negara maju yang berpendapatan tinggi, yaitu 4,5 persen, merujuk pada data World Population Review tahun 2024.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat (AS) memiliki tingkat obesitas sebesar 42,7 persen dan Inggris berkisar di angka 20,1 persen.
Lantas, apa rahasianya?
Baca juga: 95.000 Orang Jepang Hidup hingga Usia 100 Tahun, Apa Rahasianya?
Pola makan ikan dan minum teh hijau
Menurut penelitian yang terbit dalam European Journal of Clinical Nutrition tahun 2021, risiko obesitas rendah dan umur panjang warga Jepang disebabkan karena pola makan yang sehat.
Masyarakat Jepang memiliki kebiasaan mengonsumsi lebih banyak ikan dan makanan laut dibandingkan daging merah.
Sejumlah penelitian telah membuktikan, sering mengonsumsi ikan, makanan laut, susu dan produk olahannya dapat mengurangi kadar asam lemak jenuh dan meningkatkan asam lemak tak jenuh ganda.
Asam lemak jenuh biasanya kerap dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung iskemik atau berkurangnya aliran darah ke jantung karena penyumbatan di arteri koroner. Jantung iskemik juga merupakan penyakit yang dihubungkan dengan obesitas.
Selain itu, penyebab orang Jepang berisiko kecil mengalami obesitas adalah karena lebih sering meminum minuman tanpa pemanis gula, seperti teh hijau.
Sementara, menurut studi LongeviQuest, organisasi yang telah memverifikasi 269 orang yang berusia lebih dari 100 tahun di Jepang, masyarakat di Negara Matahari Terbit itu punya kebiasaan makan sesuai pepatah "hara hachi bu".
Artinya, mereka akan berhenti makan apabila sudah 80 persen kenyang.
Baca juga: Perempuan Muda di Jepang Banyak yang Terobsesi Kurus, Apa Penyebabnya?
Aktif beraktivitas
Masih merujuk pada penelitian LongeviQuest, orang Jepang memiliki kebiasaan untuk beraktivitas aktif, meskipun sudah memasuki usia lanjut.
Mereka yang sudah berumur biasanya melakukan senam dengan mendengarkan radio di pagi hari.
Studi juga telah membuktikan, beraktivitas secara intens dalam waktu singkat dapat menurunkan risiko kanker dan penyakit jantung hingga meningkatkan potensi panjang umur.
Makan siang bergizi di sekolah
Menurut studi yang terbit dalam jurnal kesehatan Inggris, makan siang sekolah yang bergizi membantu mencegah obesitas pada anak dan remaja di Jepang.
Dilansir dari Mainichi (8/7/2018), dalam studi itu para peneliti University of Tokyo menganalisis hubungan antara perubahan fisik siswa SMP dan SMA dengan penambahan penyajian makan siang oleh pemerintah di beberapa sekolah.
Selama satu tahun, hasil penelitian menunjukkan, bertambahnya penyajian makan siang membuat tingkat obesitas pada siswa laki-laki menurun sebesar 0,23 persen.
Selain itu, mereka yang cenderung kelebihan berat badan juga mengalami penurunan massa tubuh sebesar 0,37 persen.
Menurut salah satu peneliti, Profesor Yasuki Kobayashi, adanya makan siang berupa nasi, lauk, sayur, dan susu mengajarkan para siswa terbiasa mengonsumsi makanan yang sehat.
"Makan siang di sekolah mungkin efektif mengurangi siswa yang pemilih terhadap makanan dan mengajarkan kebiasaan makan yang sehat kepada mereka," ujar dia.
Baca juga: Wanita Jepang Temukan Kuning Telur Berwarna Putih, Disebut karena Ayam Diberi Makan Nasi, Benarkah?
Sistem kesehatan yang bagus
Dikutip dari Open Accss Government (9/8/2023), pemerintah Jepang menerapkan sistem kesehatan yang berfokus pada pencegahan. Hal ini diwujudkan dengan menciptakan asuransi yang terjangkau.
Sejak tahun 1961, Jepang telah menerapkan sistem Asuransi Kesehatan Nasional (NHI) yang bisa digunakan masyarakat untuk mendapatkan perawatan kesehatan.
Dengan NHI, masyarakat Jepang umumnya hanya membayar hingga 30 persen biaya medis dan obat, sementara 70 persen sisanya ditanggung pemerintah.
Selain itu, Jepang juga mendorong pengobatan secara tradisional, seperti kampo. Hal itu terlihat dari sekitar 80 persen sekolah kedokteran di Jepang yang memiliki mata kuliah kampo.
Sebanyak lebih dari 80 persen dokter di Jepang biasanya juga meresepkan obat tradisional, terutama saat perawatan primer.
Baca juga: Sulit Resign, Warga Jepang Rela Bayar Ahli Demi Berhenti Kerja
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.