Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 26 Mar 2023

Pengajar di Universitas Singaperbangsa Karawang, Lulusan Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia

Komersialisasi Centang Biru di Media Sosial dan Krisis Realitas

Baca di App
Lihat Foto
Instagram/ @pieterlydian
Meta Verified hadir di Indonesia. Meta Verified merupakan layanan yang memungkinkan pengguna Instagram dan Facebook mendapatkan lencana atau centang biru serta sejumlah benefit lain, dengan cara membayar biaya langganan per bulan.
Editor: Sandro Gatra

DENGAN modal Rp 110.000, akun Instagram Anda sudah bisa mendapat label centang biru (lencana). Simbol yang sebelumnya sulit didapatkan pemilik akun Instagram karena begitu ketatnya seleksi yang ditetapkan.

Di awal-awal kemunculannya, tanda centang biru Instagram hanya disematkan kepada para publik figur, seperti artis, pejabat dan tokoh masyarakat.

Tanda centang ini berfungsi memverifikasi bahwa akun si publik figur adalah asli alias benar-benar dimiliki oleh yang bersangkutan.

Cara ini dapat memitigasi persebaran informasi hoaks yang sering kali muncul di media sosial dengan mengatasnamakan akun publik figur.

Seiring berjalan waktu, terjadi perubahan pada kebijakan Instagram atas pemberian tanda centang biru. Siapapun dapat mengajukan permohonan centang biru untuk akunnya. Pengajuan bisa dilakukan secara gratis.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asalkan, pemohon memenuhi syarat-syarat yang diminta Instagram. Beberapa di antaranya, yaitu akun harus memiliki keunikan. Namun yang lebih penting lagi, akun tersebut memiliki banyak follower dan ramai engagement seperti komentar, like, share hingga kualitas konten.

Setelah permohonan diajukan, maka pihak media sosial akan menindaklanjuti. Prosesnya bisa berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, hingga Instagram mengumumkan apakah akun pemohon bisa mendapat tanda centang biru atau tidak.

Kini, kebijakan Instagram atas pemberian fasilitas centang biru kepada warganet berubah lagi. Sejak diakuisisi Meta Platforms, Inc (META), Instagram mengkomersialisasikan tanda centang biru.

Dikutip dari artikel Kompas.com (2023) berjudul “Facebook dan Instagram Rilis Centang Biru Berbayar, Segini Tarifnya”, Instagram dan Facebook mulai menjual produk "Meta Verified", yaitu centang biru pada tahun lalu.

Di Instagram, dengan berlangganan Rp 110.000 per bulan untuk satu profil, warganet sudah bisa memiliki simbol centang biru. Untuk mengurusnya juga cukup mudah. Tidak seribet dengan prosedur yang gratis.

Bahkan warganet yang memesan centang biru, tidak perlu menunggu hingga berminggu-minggu. Setelah berlangganan, maka pemilik akun hanya menunggu tanda cetang biru disematkan, paling lama 48 jam setelah pemesanan.

Komersialisasi tanda centang biru menjadi bisnis yang legit. Berdasarkan data We Are Social (2024), pengguna Instagram di Indonesia mencapai 100,9 juta pengguna.

Jika 10 persen saja dari total pengguna Instagram di Indonesia atau sekitar 10 juta pengguna langganan centang biru, maka dalam sebulan Instagram meraup Rp 1,1 triliun.

Kalau setahun, dengan asumsi pengguna terus berlangganan dan tidak ada pelanggan tanda centang yang baru, Instagram bisa meraup Rp 13,2 triliun. Hampir setengah anggaran belanja Pemerintah Provinsi Jawa Tengah setahun. Itu baru dari bisnis centang biru, belum dari produk Instagram yang lain.

Tidak hanya di grup META seperti Instagram dan Facebook, komersialisasi tanda centang juga terjadi di platform medsos X (dulu bernama Twitter). Bahkan platform X menawarkan tiga jenis centang alias lencana, biru, emas dan abu-abu.

Centang biru untuk akun individu, emas untuk akun perusahaan dan centang abu-abu untuk akun yang dikelola pemerintah. Dan untuk mendapatkan salah satu jenis tersebut, pemilik akun X bisa membelinya.

Platform X menawarkan harga berkisar Rp 100.000 sampai Rp 156.000.

Di Indonesia ada sekitar 27 juta pengguna X. Sama seperti Instagram tadi, jika diasumsikan 10 persen saja dari total pengguna X di Indonesia berlangganan centang biru, itu artinya platform X dapat meraup ratusan miliar rupiah per bulan.

Bisnis tanda centang (check mark) di media sosial ini menggambarkan potensi perputaran uang triliunan rupiah dalam satu bulan.

Meskipun demikian, fenomena pembelian centang biru ini memiliki konsekuensi karena siapapun bisa mendapatkan centang biru, tanpa perlu verifikasi yang selektif.

Ada beberapa alasan seseorang ataupun pemilik akun medsos rela merogoh uang demi si centang biru.

Menurut Nikita Rosa (2024), alasan pertama adalah prestise dan kepercayaan diri. Warganet merasa lebih mendapat pengakuan ketika berinteraksi online, jika akunnya diganjar centang biru.

Alasan kedua, tekanan untuk performa. Pembeli centang biru ingin selalu mempertahankan citra positif termasuk di dunia maya. Orang seperti ini, ingin memunculkan kasta dalam realitas semu di media sosial.

Ketiga, pertumbuhan follower dan penggemar. Pelanggan centang biru kategori ini, meyakini bahwa lencana yang dia beli bisa menggenjot jumlah pengikut baru.

Terakhir, perasaan ketergantungan pada pengakuan sosial. Pelanggan cetang biru ini cenderung sangat tergantung dengan pengakuan sosial dan validasi, termasuk di media sosial. Perhatian, sanjungan atau apresiasi sudah menjadi kebutuhan sebagai pengakuan sosial.

Meminjam istilah dari teori semiotik Ferdinand de Saussure, centang biru merupakan penanda dan petanda, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan bagai dua sisi dari sehelai kertas. Sebuah tanda “benar” yang bermakna pengakuan sosial di medsos.

Persoalannya pengakuan sosial sering dikaitkan dengan narsisme. Narsisme berkaitan dengan kecintaan pada diri sendiri, yang paralel dengan kecenderungan mementingkan diri sendiri. Seorang yang narsis seringkali merasa kagum terhadap dirinya sendiri (Sabekti, 2019; Raskin, 1988).

Maraknya penggunaan tanda centang biru memunculkan gap antara representasi di media sosial dan realitas. Sebab yang diakui di media sosial, belum tentu mendapat pengakuan di dunia nyata.

Berangkat dari pemikiran filsuf postmodernisme Jean Baudrillard, tanda centang biru merupakan bentuk manipulasi atau rekayasa yang bisa menggantikan realitas. Inilah kondisi yang disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas.

Realitas runtuh, bahkan dunia maya dianggap lebih nyata dibandingkan dunia nyata itu sendiri.

Karena itu, Jean Baudrillard melihat bahwa masyarakat postmodern hidup dalam hiperrealitas yang menjadikan realitas semu menjadi model acuan baru dalam tatanan sosial masyarakat.

Dalam hiperrealitas, citra acap kali lebih dominan menyakinkan, dibandingkan fakta. Tak jarang, mimpi dan iming-iming laku dijual karena dianggap lebih benar ketimbang kenyataan.

Sampai-sampai hiperrealitas seringkali menjadi penentu eksistensi. Aku di medsos, maka aku ada.

Mengacu pada pemikiran hiperrealitas Baudrillard, fungsi tanda centang biru bisa saja bukan representasi substansi kebenaran, dari pemilik akun media sosial. Melainkan cara mencari pengakuan yang mengkonstruksi identitas dan hubungan sosial.

Fenomena centang biru semakin digandrungi. Merujuk pemikiran Baudrillard, situasi ini menggambarkan bahwa saat ini masyarakat semakin mengalami krisis realitas. Di mana kita justru semakin teralienasi dari dunia nyata.

Warganet lebih fokus pada simbolisme dan representasi daripada pada pesan atau hubungan sebenarnya. Akibatnya masyarakat memperdalam alienasi sosial.

Dari pemikiran Baudrillard muncul pertanyaan, bagaimana mungkin kita mengeluarkan biaya hanya demi produk manipulasi tanda di dunia maya? Faktanya peminat centang biru banyak.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi