Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Peneliti
Bergabung sejak: 6 Nov 2022

Peneliti humor di Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)

Ultraman Senayan dan "Atraksi Politis" Jilid ke Sekian

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA
Anggota DPR terpilih Jamaludin Malik menggunakan kostum Ultraman menjelang dilantik di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2024).
Editor: Sandro Gatra

ULTRAMAN masuk Senayan. Gimmick anggota legislatif dari Dapil Jawa Tengah II, Jamaludin Malik, menjadi sorotan di hari pelantikan DPR dan DPD RI terpilih periode 2024-2029, Selasa (1/10/24).

Politikus Partai Golkar tersebut konsisten memakai kostum Ultraman sejak berkampanye. “Terobosannya” berbuah 118.402 suara sah yang mengantarkannya ke Gedung Paripurna, Kompleks Parlemen, Senayan.

Jamaludin sekali lagi sudah membuktikan bahwa keganjilan – yang merupakan bumbu humor – telah membuatnya jadi pembicaraan.

Normalnya, anggota legislatif datang di acara pelantikan mengenakan setelan jas formal. Namun, ia malah datang dengan kostum nyeleneh.

Meski akhirnya harus ganti baju demi diizinkan mengikuti prosesi, setidaknya, namanya sukses masuk pemberitaan berbagai media.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perhatian publik sudah malas atau malah ada yang muak dengan “hajatannya” para politikus ini pun mau tak mau jadi tersita.

Kita boleh mengangguk saat Jamaludin mengungkap filosofinya memakai kostum superhero asal Jepang itu, yakni sebagai “simbol pembasmi kejahatan”. Namun, kita juga perlu menyadari kalau ia sedang melakukan atraksi politis.

Dalam perspektif kajian humor, atraksi politis (political stunt) sebenarnya lebih identik dengan aktivisme atau cara rakyat mengomunikasikan keresahannya.

Misalnya, ada Srdja Popovic yang menuliskan pengalamannya dalam mengorganisasi massa untuk menggulingkan secara damai rezim Slobodan Miloševi.

Lewat Blueprint for Revolution (2015), aktivis Serbia tersebut menceritakan akrobat-akrobat unik inisiasinya yang ia labeli sebagai laughtivism, seperti memukul tong yang ditempeli foto si diktator.

Karena tidak ada pelanggaran hukum, akhirnya pihak berwajib membubarkan kerumunan masyarakat yang sedang protes itu dengan “menangkap” tong yang dipukuli sedari tadi.

Ada juga Sørensen dalam bukunya Humorous Political Stunts: Nonviolent Public Challenges to Power (2015), yang menyoroti ragam strategi publik berbagai negara untuk merebut perhatian sesamanya juga kaum elite, dari menyindir lembut sampai keras memaki.

Atau buku A Comedian and an Activist Walk into a Bar (2020) karya Chattoo dan Feldman, yang membedah strategi meningkatkan awareness soal perubahan iklim dan kemiskinan struktural melalui komedi.

Intinya, sejak ditulisnya Philogelos – buku kumpulan lelucon pertama di dunia – lahir dan sang bapak komedi, Aristophanes, mulai mementaskan karyanya lebih dari 2000 tahun lalu, memang begitulah humor secara politis berfungsi: koreksi sosial.

Sifat alamiah humor tersebut muncul karena paksaan. Sebab lazimnya, elite dan rezim menguasai beragam media komunikasi, dari podium-podium sampai pendengung alias buzzer dunia maya.

Mereka juga berbicara kepada kita dalam berbagai bahasa, dari bahasa propaganda yang manis sampai perundang-undangan yang mengikat. Alhasil, humor jadi bahasa yang paling mudah diterima dan bisa mengakomodasi dua pihak ini.

Namun, ketika politikus sudah ikutan nimbrung ke ranah humor, publik perlu waspada.

Dalam kasus Jamaludin “Ultraman” Malik, misalnya, jelas ia bukan politikus modal dengkul. Jamaludin itu pengusaha sukses di Jepara dengan kekayaan terlapor sekitar Rp3,9 miliar.

Ada kans, cosplay Ultraman-nya tidak sepenuhnya organik, lebih ke kosmetik atau bahkan rekomendasi dari konsultan politik.

Ia juga memakai kostum Ultraman sebagai perwujudan nazar jika lolos ke Senayan. Bahkan saat Jamaludin ganti ke setelan jas, telah siap stuntman untuk menggantikannya ber-cosplay. Jadi, kecil kemungkinan apabila “atraksi politis” itu tidak matang dipersiapkan.

Ragam “atraksi politis” tak berhenti mengantre dari masa Pilpres 2024 kemarin. Calon presiden, gubernur, sampai anggota legislatif semuanya berakrobat mengajak publik tertawa dan bergembira.

Masa ini merupakan ciri yang political theorist Patrick Giamario gambarkan sebagai The Age of Hilarity, Era Serba-Gembira.

Maka, pandangan Theodor Adorno bahwa humor adalah salah satu sarana untuk melenakan publik dari kerasnya kehidupan – atau kehidupan yang sengaja dibikin keras – jadi makin relevan.

Dari amatannya terhadap humor rasialis, Adorno sudah menggarisbawahi bahaya tertawa karena terkait dengan upaya mempertahankan struktur kekuasaan dan status quo (Laughter as Politics - Giamario, 2022).

Kini, politikus Indonesia sudah mulai lihai “mengindustrialisasi” humor, misalnya lewat “atraksi politis”, untuk mengendurkan kesadaran dan daya kritis masyarakat. Mereka menggunakan humor secara praktis saja, seperti memenangkan pemilu dan mengelak dari kritik.

Pada intinya, humor memang masih jadi “katup pengaman” alias katarsis, seperti kata Sigmund Freud dalam relief theory.

Namun kali ini, bukan publik yang berhumor demi melampiaskan emosinya sudah engap digencet kebijakan rezim yang tidak berpihak kepadanya.

Yang melakukannya lebih sering justru politikus, demi melanggengkan posisi, bahkan menutupi disfungsi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi