KOMPAS.com - Riset terbaru mengungkapkan, Indonesia menjadi negara dengan pengguna media sosial TikTok terbesar di dunia pada 2024.
Berdasarkan data Statista pada Agustus 2024, Indonesia menempati urutan pertama pengguna TikTok terbanyak dengan jumlah 157,6 juta orang per Juli 2024.
Disusul oleh Amerika Serikat yang memiliki 120,5 juta pengguna TikTok, dan Brasil 105,2 juta pengguna.
Negara Asia Tenggara lainnya, Vietnam berada di posisi kelima dengan jumlah pengguna TikTok sebanyak 65,64 juta orang, Filipina di urutan ketujuh dengan total 56,14 juta pengguna, dan Thailand dengan 50,81 juta pengguna berada di posisi kesembilan.
Lantas, mengapa TikTok begitu digemari di Indonesia?
Baca juga: Ini Alasan Gen Z Lebih Pilih Pakai TikTok daripada Google untuk Cari Informasi
Format konten lebih disukai
Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi menjelasakan, TikTok memiliki banyak pengguna, karena menyediakan konten yang sesuai dengan minat masyarakat Indonesia, yakni ringan, bersifat hiburan, dan instan.
Di samping itu, pengemasan format konten TikTok berbeda dengan media sosial berbasis gambar pada umumnya, seperti Instagram.
"Format video singkat itu orang lebih suka dan sekarang mulai tren. Instagram sekarang punya reels, Youtube ada Youtube Shorts," kata Ismail saat dihubungi Kompas.com, Selasa (8/10/2024).
"Tren itu dari Tiktok, artinya cocok. Siapa yang pertama, yang lain akan jadi pengikut," sambungnya.
Meski kini media sosial lain telah memiliki fitur khusus untuk konten video singkat, tetapi alrogirtma TikTok memiliki cara tersendiri untuk membuat sebuah konten lebih mudah viral.
Peluang jadi kreator konten lebih besar
Berbeda dengan Instagram, sebuah video di TikTok bisa viral tanpa harus memiliki banyak pengikut. Hal ini yang kemudian membuat siapa pun bisa dengan mudah menjadi seorang kreator konten.
"TikTok modelnya mudah viral, lebih demokratis pendekatannya. Kalau Instagram pendekatannya lebih ke author, kita harus punya pengikut tinggi untuk viral," terang Ismail.
Banyaknya pengguna TikTok di Indonesia juga merupakan sinyal bagi platform untuk meningkatkan regulasi dalam menjaring konten yang lebih berkualitas.
Dia mencontohkan aplikasi Douyin, platform TikTok yang hanya dapat diakses di China. Douyin memiliki kebijakan untuk lebih mempromosikan konten yang sifatnya edukatif.
"Yang joget-joget malah tidak boleh. Kan kebijakan platform bisa dibuat seperti itu. Itu kan salah satu cara agar kontennya semakin berkualitas. TikTok harus berusaha menuju ke sana," kata Ismail.
Baca juga: Jadi Tren di TikTok, Apa Itu Silent Walking?
Algoritma adaptif
Senada, Wakil Sekretaris Eksekutif Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Iradat Wirit mengungkapkan, ketika sebuah konten dinilai memliki kedekatan dengan banyak pengguna, algoritma TikTok akan menayangkannya ke hampir seluruh pengguna lainnya, termasuk mereka yang bukan pengikut.
"Kalau di Instagram atau Twitter kita harus follow lini-lini tertentu untuk bisa melihat kontennya secara langsung. Kalau di TikTok bahkan tidak kenal bisa tersebar," paparnya, saat dihubungi terpisah, Selasa.
Selain sebagai media jejaring sosial, TikTok juga menyediakan kanal belanja. Menurutnya, hal ini membuat pengguna TikTok semakin banyak.
Pengguna dapat dengan mudah berbelanja di TikTok tanpa harus dialihkan ke situs lain, seperti pada Instagram.
Di sisi lain, menjual barang di TikTok juga lebih efektif menjangkau target pasar melalui fitur trend location.
Dengan mengaktifkan layanan lokasi, pengguna akan menerima konten dan iklan yang berada di wilayahnya.
Baca juga: 5 Hal yang Tidak Boleh Dilakukan TikTok Shop Usai Buka Lagi, Apa Saja?
Rawan misinformasi
Di sisi lain, Iradat menambahkan, TikTok juga berpotensi menciptakan misinformasi. Hal ini melihat dari riset terbaru yang mengungkapkan bahwa generasi Alpha kini lebih suka mencari informasi di TikTok dibandingkan Google.
"Padahal itu bukan mesin pencarian, tapi media sosial dan ini akan menjadi tantangan besar terhadap minsinformasi dan disinformasi di Indonesia, karena kurasi konten kurang, beda dengan Google ada tim cek fakta," pungkasnya.
Dia juga menyoroti kurang tegasnya regulasi mengenai hak cipta. Sebab, tidak sedikit pengguna di TikTok yang mengunggah hasil karya orang lain dan mendapat banyak jumlah tayangan.
"Kalau mau berkembang dengan kreativitas, kembangkan komunitas yang mengembangkan konten mereka saja, tidak perlu mengambil konten sudah dihak cipta. Algoritma mereka menangani itu harus ditingkatkan," kata Iradat.
Baca juga: Pelaku Penyelundupan Orang Bermodus Iklan Lowker via TikTok Ditangkap di Surabaya, Ini Kronologinya
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.