KOMPAS.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mendapatkan gelar doktor atau S3 dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI).
Sidang Terbuka Promosi Doktor digelar di Gedung Makara Art Center Universitas Indonesia, Depok pada Rabu (16/10/2024) dan dipimpin oleh Ketua Sidang, Prof. Dr. I Ketut Surajaya, S., M.A.
Dalam sidang, Bahlil memaparkan disertasinya yang bertema "Kebijakan Kelembagaan & Tata Kelola Hilirisasi yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia"
Setelah berhasil menjawab sejumlah pertanyaan dari penguji, Bahlil dinyatakan lulus dengan pujian predikat cumlaude.
"Berdasarkan semua ini, tim penguji memutuskan untuk mengangkat sodara Bahlol Lahadalia menjadi Doktor dalam program studi kajian sratejik dan global dengan yudisium cumlaude," ujar Ketut, dikutip dari Kompas.com, Rabu.
Merujuk pada laman resmi Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), Bahlil tercatat sebagai mahasiswa doktoral UI mulai 13 Februari 2023. Artinya, Bahlil meraih gelar S3 dalam kurun waktu 1 tahun 8 bulan.
Lantas, apa isi disertasi Bahlil?
Baca juga: Bahlil Lahadalia, Dulu Jualan Pisang Goreng Kini Jadi Ketua Umum Golkar
Masalah hilirisasi
Bahlil mengambil objek penelitian di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah dan Weda Bay, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Disertasi Bahlil berfokus pada masalah-masalah yang ditimbulkan dari hilirisasi dan membutuhkan penyesuaian kebijakan.
Menurut pria yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini, bagi hasil hilirisasi nikel di Indonesia masih belum adil di setiap daerah, partisipasi perusahaan dan lembaga juga masih parsial, dan perlu ada perbaikan tata kelola.
Dikutip dari Kompas.id, Rabu, Bahlil menemukan bahwa hilirisasi nikel di Morowali dan Halmahera Tengah juga memberikan dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat sekitar.
Dalam disertasinya, dia menunjukkan, sebanyak 52,94 persen masyarakat Morowali menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) pada 2023. Di periode yang sama, tercatat 9,52 persen masyarakat Halmahera Tengah juga menderita ISPA.
Bahlil berpendapat, hal itu disebabkan karena paparan debu dan polusi yang membuat kualitas udara memburuk.
Di samping itu, kadar emisi karbon dioksida (CO2) dan sulfur dioksida (SO2), pencemaran pesisir laut, pencemaran air minum, serta sampah di kedua wilayah ini tercatat sangat buruk.
"Air di Morowali minta ampun (kualitasnya), tapi lebih baik dari Halmahera Tengah," ujar Bahlil.
Baca juga: Profil dan Harta Kekayaan Bahlil Lahadalia, Ketum Baru Golkar yang Terpilih secara Aklamasi
Dana bagi hasil yang tidak adil
Bahlil melanjutkan, sejatinya hilirisasi telah memberikan dampak signifikan yang baik untuk negara.
Hilirisasi meningkatkan penerimaan negara dari yang semula 4,15 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 70 triliun pada 2017 menjadi 33 miliar dolar AS atau Rp 513 triliun pada 2023.
Dari total tersebut, Rp 12,5 triliun disumbangkan oleh smelter nikel di Halmahera Tengah. Namun, Bahlil menilai dana bagi hasil di satu kabupaten ini rendah dan tidak adil.
Dia menyebut, dana transfer daerah Halmahera Tengah tidak lebih dari 1,1 triliun dan Provinsi Maluku Utara juga tercatat hanya Rp 900 miliar.
Baca juga: Ingin Digenjot Gibran, Apa Itu Hilirisasi Digital?
Merekomendasikan kebijakan baru
Untuk mengatasi permasalahan yang terjadi, Bahlil merekomendasikan kebijakan untuk mereformulasi alokasi dana.
Dia mendorong agar bagi hasil bisa mencapai 30-40 persen untuk daerah yang memiliki sumber daya alam (SDA).
Selain itu, kebijakan kemitraan dengan pengusaha daerah juga harus dikuatkan dengan memberikan mereka kesempatan untuk berkolaborasi.
Perbankan Indonesia pun harus menyediakan pendanaan jangka panjang untuk pengusaha nasional dan daerah. Demikian pula untuk inverstor yang wajib melakukan diversifikasi jangka panjang.
Untuk bisa menerapkan kebijakan ini secara efektif, menurutnya perlu dibentuk satuan tugas yang khusus mengelola hilirisasi dan berada di Presiden secara langsung.
Dia mencontohkan, seperti model kelembagaan hilirisasi di China yang dikendalikan langsung oleh Perdana Menteri.
Bahlil berpendapat, China dapat menjadi rujukan, karena kondisi negaranya cukup mirip dengan Indonesia, yakni kaya akan SDA dan pernah mengalami masa tanpa teknologi.
(Sumber: Kompas.com/Yohana Artha Uly | Editor: Erlangga Djumena)
Baca juga: Sepak Terjang Bahlil Lahadalia, dari Pimpin Investasi Kini Menteri ESDM
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.