Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Potensi Dampak Ekonomi Indonesia Gabung BRICS...

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA/HO-Kemlu RI/pri
Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10/2024). Indonesia gabung BRICS dinilai menunjukkan ketergantungan pada China.
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono menyampaikan, langkah Indonesia bergabung dalam aliansi ekonomi BRICS sejalan dengan tujuan program kerja Kabinet Merah Putih.

Beberapa di antaranya, untuk menerapkan ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan, dan pemajuan sumber daya manusia.

"Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum," ujar Sugiono, seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (25/10/2024).

Lantas, apa dapak Indonesia bergabung dengan BRICS?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Sudah Gabung G20, Kenapa Indonesia Ingin Daftar BRICS? Berikut Penjelasan Menlu Sugiono


Dampak ekonomi Indonesia gabung BRICS

Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai, bergabung dengan BRICS tidak membawa dampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia.

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengungkapkan, pendaftaran resmi Indonesia ke BRICS semakin menegaskan ketergantungan pada China.

"Padahal tanpa BRICS dari sisi investasi dan perdagangan Indonesia, porsi China sudah sangat besar," ujarnya dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Minggu (27/10/2024).

Bhima merinci, impor Indonesia dari China melonjak 112,6 persen dalam sembilan tahun terakhir, dari 29,2 miliar dollar AS pada 2015 menjadi 62,1 miliar dollar AS pada 2023.

Sementara, pada periode yang sama, investasi dari China terpantau ikut melonjak sebanyak sebelas kali lipat.

"Indonesia juga tercatat sebagai penerima pinjaman Belt and Road Initiative terbesar dibanding negara lainnya pada 2023," kata Bhima.

Sebagai informasi, Belt and Road Initiative atau Prakarsa Sabuk dan Jalan adalah strategi pembangunan global yang diadopsi oleh pemerintah China.

Baca juga: Indonesia Ingin Gabung BRICS Plus, Pengamat: Bagus Juga, agar Tak Didominasi OECD

Strategi ini melibatkan pembangunan infrastruktur dan investasi di negara lain dan organisasi internasional yang tersebar di Asia, Eropa, Afrika, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika.

Oleh karena itu, bergabungnya Indonesia ke BRICS dikhawatirkan akan memicu duplikasi kerja sama bilateral dengan China.

Proyek-proyek yang didanai pemerintah maupun swasta China di Indonesia juga dinilai menimbulkan berbagai persoalan, terutama dari segi lingkungan hidup dan tenaga kerja.

Misalnya, kecelakaan kerja di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang berulang, menunjukkan standardisasi dan pengawasan proyek investasi China masih lemah.

Hal tersebut, masih menjadi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan.

Apalagi, Indonesia ingin meningkatkan nilai tambah komoditas secara berkualitas, yang berarti wajib selaras dengan investasi lebih berkualitas.

Diversifikasi asal investasi yang dapat membantu Indonesia naik kelas pun dinilai merupakan strategi utamanya.

Baca juga: Menlu Sugiono Sebut Indonesia Ingin Bergabung dengan BRICS, Apa Itu?

Ekonomi lebih rapuh dan konflik Laut China Selatan

Bhima melanjutkan, ketergantungan pada China membuat perekonomian Indonesia lebih rapuh.

Terlebih, berdasarkan World Economic Outlook dari Dana Moneter Internasional (IMF), ekonomi China diproyeksikan menurun 3,4 persen dalam empat tahun ke depan.

Proyeksi ekonomi China yang melambat tentu kurang menguntungkan karena memicu kekhawatiran melemahkan kinerja perekonomian jika Indonesia bergabung dengan BRICS.

"Kondisi ini idealnya direspons dengan penguatan diversifikasi negara mitra di luar China, bukan malah masuk menjadi anggota BRICS," ucap Bhima.

Senada, Direktur China-Indonesia Desk Celios Muhammad Zulfikar Rakhmat menyampaikan, hingga saat ini belum, ada urgensi Indonesia untuk bergabung dengan grup ekonomi BRICS.

"Mengingat keberadaan China dalam grup tersebut, dikhawatirkan memengaruhi independensi Indonesia dalam bersikap di berbagai isu krusial. Salah satunya merespons manuver China di kawasan Laut China Selatan," tutur Zulfikar.

Baca juga: Indonesia Ajukan Diri Gabung BRICS untuk Perjuangkan Kepentingan Negara Berkembang

Pada Jumat (25/10/2024), misalnya, Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengusir kapal China Coast Guard-5402 (CCG-5402) yang memasuki wilayah yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara.

Diberitakan Antara, Sabtu (26/10/2024), masuknya CCG-5402 di Laut Natuna Utara bukan pertama kali terjadi, melainkan sudah beberapa kali selama Oktober 2024.

Peneliti Celios Yeta Purnama menyampaikan, belum ada tanggapan langsung dari Presiden Republik Indonesia terkait isu ini.

"Ini menjadi sebuah bukti bahwa pemerintah sedang bimbang bersikap di tengah keinginan bergabung ke BRICS," jelas Yeta.

Di sisi lain, negara anggota BRICS seperti China dan India memiliki konfrontasi intens di tiga wilayah perbatasan kedua negara, meliputi Himachal Pradesh, Uttarakhand, dan Arunachal Pradesh.

Konflik tersebut dianggap berpotensi mengganggu stabilitas hubungan China dan India yang secara bersamaan juga akan memengaruhi kemitraan dalam aliansi BRICS.

Baca juga: Keanggotaan Indonesia Diterima OECD, Jadi Tanda Menuju Negara Maju?

Urgensi gabung OECD jauh lebih tinggi

Keputusan bergabungnya Indonesia dalam BRICS juga akan berpotensi memengaruhi aksesi Indonesia ke Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Peluang Indonesia untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan bermitra dengan grup tersebut akan semakin mengecil.

"Dibandingkan BRICS, urgensi Indonesia untuk bergabung dengan OECD jauh lebih tinggi, sejalan dengan upaya Indonesia menuju negara maju," nilai Yeta.

Kelompok ekonomi OECD memiliki anggota yang lebih besar dibandingkan BRICS. Hal ini dirasa lebih penting karena Indonesia perlu mendiversifikasi mitra yang lebih luas selain China.

Yeta melanjutkan, jika harus bergabung dalam banyak kerja sama multilateral, energi dan fokus pemerintahan baru akan sangat mahal, termasuk soal biaya keanggotaan.

"Jauh lebih efektif fokus ke kemitraan yang sudah ada," tandasnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi