Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena "Laki-laki Tidak Bercerita", Apa Dampaknya pada Kesehatan Mental dan Kesetaraan Gender?

Baca di App
Lihat Foto
Tangkap layar instagram @rxmemo_ina
Tangkap Layar salah satu tulisan yang mengikuti tren Laki-laki tidak bercerita, tapi...
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Di era digital, media sosial menjadi ruang di mana masyarakat menciptakan dan membagikan tren yang mencerminkan kehidupan sehari-hari.

Salah satu tren yang menarik perhatian adalah tren “laki-laki tidak bercerita” yang muncul beberapa hari belakangan.

Dengan berbagai variasi, seperti "Laki-laki tidak bercerita, tapi pikirannya berubah jadi uban" atau "Laki-laki tidak bercerita, tapi bengong sebelum berangkat kerja" tren ini secara tidak langsung mencerminkan norma sosial bahwa laki-laki seolah-olah tabu untuk mengekspresikan perasaan.

Namun, di balik humor yang diangkat, terdapat isu mendalam tentang bagaimana masyarakat memandang maskulinitas dan dampaknya pada kesehatan mental pria.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Laki-laki Tidak Bercerita, Benarkah Diam Selalu Jadi Tanda Kekuatan?

Tekanan budaya yang membuat laki-laki tidak bercerita

Di Indonesia, konstruksi sosial mengenai maskulinitas sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan.

"Budaya patriarki di Indonesia sangat kuat dan menempatkan laki-laki sebagai sosok dominan. Ini menciptakan standar maskulinitas bahwa laki-laki harus kuat, tegar, dan tidak menunjukkan kelemahan," ungkap Dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof. Dr. Argyo Demartoto, M.SI ketika dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon pada Kamis (14/11/2024).

Sayangnya, tuntutan untuk terus menunjukkan citra kuat sering kali menempatkan laki-laki dalam tekanan emosional.

Kebanyakan laki-laki merasa harus menekan emosi dan menghadapi masalah sendirian, tanpa dukungan atau tempat untuk berbagi.

"Di Indonesia itu kan akses, kemudian kontrol, pengambilan keputusan itu selalu didominasi oleh laki-laki ini pun tercermin juga ketika akan mengungkapkan sebuah permasalahan hidup," kata Argyo.

Baca juga: Laki-laki Juga Boleh Bercerita, tapi Bagaimana Cara Membangun Kebiasaan Baru di Tengah Stigma Lama?

"Kita sebagai laki-laki itu tercermin di representasi oh saya bisa mengatasi masalah ini, saya tidak perlu bercerita. Nah tetapi ada efeknya juga menurut saya, nanti ke depannya ada semacam boomerang yang kembali kepada kita kalau tidak bisa mengendalikan emosi yang memuncak secara psikologis kita cemas, stres, dan akhirnya bisa bahkan bisa menjadi semacam pikiran kita terganggu," imbuhnya.

Pendapat ini juga diamini oleh dokter spesialis kesehatan jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ.

Menurut Jiemi, ketidakterbukaan ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.

"Cerita itu cara alamiah untuk seseorang meredakan dan melepaskan emosinya. Ketika laki-laki tidak bercerita, mereka membawa beban emosional yang lebih besar," ujar Jiemi ketika dihubungi Kompas.com, Kamis (14/11/2024).

Dampak keengganan bercerita pada kesehatan mental laki-laki

Ketika laki-laki tidak memiliki cara untuk menyalurkan emosi mereka, akumulasi perasaan yang terpendam dapat memicu berbagai masalah kesehatan mental.

Salah satu dampak paling serius adalah tingginya angka bunuh diri pada laki-laki dibandingkan perempuan.

"Angka bunuh diri yang lebih besar pada laki-laki secara lethal (berhasil terjadi) menggambarkan bagaimana tekanan ini (mempengaruhi mereka)," kata Jiemi. 

Baca juga: Mahasiswa Dongduk Womens University Demo, Tolak Rencana Penerimaan Laki-laki

"Walaupun kita tidak cuma ngomong bercerita ya, misalnya bagaimana laki-laki punya masalah sosial juga berpengaruh. Tapi benar, laki-laki punya masalahnya. Bukan berarti perempuan masalahnya lebih kecil, nggak juga. Tapi, kemampuan perempuan dalam berkomunikasi/bercerita itu membantunya untuk cope up sama perasaannya," jelas Jiemi lebih lanjut.

Di samping itu, emosi yang tidak tersampaikan juga dapat mewujud dalam bentuk perilaku destruktif.

Dalam beberapa kasus yang ekstrem, tekanan ini dapat memicu ledakan emosi yang berujung pada tindakan kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Argyo menambahkan bahwa ketidakmampuan untuk mengelola perasaan ini dapat menjadi "boomerang" yang merugikan, baik bagi individu maupun lingkungan sosial mereka.

Maskulinitas dan keseimbangan gender

Namun, tidak semua ahli melihat tren ini sebagai hal yang sepenuhnya negatif.

Dosen Kajian Gender dari UNS, dra. Sri Kusumo Habsari, M.Hum, Ph.D menilai bahwa fenomena ini juga menunjukkan keberagaman dalam cara laki-laki mengekspresikan maskulinitas mereka.

"Diam, menangis dalam diam, atau berdoa adalah bentuk maskulinitas Asia yang lebih soft," ujar Habsari.

Baca juga: Komnas Perempuan Kritik Budi Arie Usai Sebut Perempuan Lebih Kejam dari Laki-laki

Menurutnya, dalam budaya Asia, ketenangan dan kontrol diri dianggap sebagai tanda kedewasaan. Hal ini juga termasuk dalam konsep maskulinitas.

Bukan hanya tentang kebiasaan bercerita, Habsari juga menjelaskan bahwa maskulinitas Asia juga berkaitan dengan pengendalian perilaku dan emosi.

"Bagi masculinity Asia, perilaku (emosi yang meledak-ledak dan kekerasan) bertentangan dengan norma/ preskripsi masculinity Asia," tegas Habsari.

"Dalam konsep Asia, laki-laki dan perempuan konsepnya sama, diam dan mampu mengontrol dianggap kualitas perilaku lebih baik," imbuhnya.

Tren ini juga menyoroti pentingnya keseimbangan gender dalam memahami ekspresi emosi.

Sementara perempuan lebih sering terbiasa bercerita, laki-laki sering kali merasa takut dihakimi jika mereka mencoba hal yang sama.

Padahal, sebagaimana disampaikan oleh Jiemi, kemampuan untuk bercerita dan berbagi perasaan adalah keterampilan yang dapat membantu individu, tidak peduli jenis kelaminnya.

"Laki-laki perlu mengenal perasaannya, mampu menyampaikan perasaannya, dan mengizinkan perasaan itu dimengerti oleh orang lain," jelas Jiemi.

Baca juga: Sejarah High Heels, Dulu Dipakai Laki-laki, Kini Jadi Simbol Kecantikan Wanita

Keterbukaan emosi untuk semua gender, bukan perempuan saja

Perubahan cara pandang terhadap maskulinitas membutuhkan langkah kecil yang dapat dimulai dari lingkungan sekitar.

Membuka ruang diskusi untuk laki-laki agar mereka merasa aman untuk bercerita tanpa takut dihakimi adalah langkah awal yang penting.

Dengan adanya berbagai ragam maskulinitas seperti yang diungkapkan oleh Habsari, laki-laki seharusnya merasa lebih bebas untuk memilih cara yang paling sehat dan nyaman mengekspresikan perasaannya.

Masyarakat juga perlu memahami bahwa bercerita bukanlah tanda kelemahan, melainkan sebuah bentuk keberanian dan kedewasaan emosional.

Fenomena "Laki-laki Tidak Bercerita" membuka percakapan penting tentang bagaimana norma sosial memengaruhi laki-laki dalam mengekspresikan perasaan mereka.

Sementara budaya patriarki menciptakan tekanan untuk tampil kuat dan tegar, para ahli sepakat bahwa membuka diri dan bercerita adalah bagian dari cara menjaga kesehatan mental yang lebih baik.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi