KOMPAS.com - Lini masa media sosial X (Twitter) tengah diramaikan dengan penyebutan kata yang tepat, antara tuli dan tunarungu untuk orang-orang yang tidak bisa mendengar.
Melalui akun X @tany****** pada (17/11/2024), pengunggah mempertanyakan apakah penggunaan kata tuli termasuk kasar untuk menyebut orang yang tidak bisa mendengar.
"Liat di storynya bang M***, emangnya sebutan 'tuli' untuk orang yang tidak bisa mendengar itu termasuk kasar ya?" tulisnya.
Beberapa warganet yang berkomentar dalam unggahan tersebut menuliskan bahwa penyebutan tunarungu lebih sopan digunakan dibandingkan dengan tuli.
Sementara itu, beberapa lainnya mengatakan, penyebutan kata tuli lebih tepat dan lebih disukai oleh orang-orang tuli.
"Tuna rungu lebih sopan," tulis akun @male****.
"Orang-orang difabel justru lebih prefer disebut tuli ketimbang tuna rungu," tulis akun @milky*****.
"Waktu ikut mata kuliah Bisindo, dosenku yang memang tuli lebih seneng disebut tuli, ya, gaisss. Mereka malah kurang nyaman disebut tuna karena arti 'tuna' itu menunjukkan tidak mampu dan tidak dapat," kata akun @dwitasa*******.
Lantas, sebaiknya menggunakan kata tuli atau tunarungu untuk menyebut orang yang tidak bisa mendengar?
Penjelasan pakar
Dosen sekaligus Ketua Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Nani Darmayanti mengatakan, kata tuli dan tunarungu sama-sama bisa digunakan untuk menyebut kondisi seseorang yang tidak bisa mendengar.
Apabila mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tunarungu berarti rusak pendengarannya.
Sedangkan tuli berarti tidak dapat mendengar dan menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi.
Keduanya memang berkaitan dengan gangguan pendengaran, namun penyebutannya di masyarakat dilakukan untuk kondisi yang berbeda.
"Bukan soal mana yang benar dan mana yang salah ya. Tapi dua-duanya ada dan digunakan di masyarakat," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (21/11/2024).
"Kalau menurut KBBI, keduanya sama-sama tidak dapat mendengar. Tapi pada frasa 'tuli' ada tambahan yang merujuk karena rusak pendengarannya," tambahnya.
Padahal, kata Nani, ada juga tuli yang bukan karena rusak pendengarannya, tetapi memang sejak lahir sudah tidak bisa mendengar.
Hal itulah yang kemudian tampak membuat ada dua penggunaan diksi, yaitu tunarungu dan tuli.
Namun secara penulisan, "tuli" dengan huruf kapital (T) menurut komunitas Tuli sendiri dipandang lebih sopan.
Mereka lebih nyaman dipanggil dengan sapaan "Tuli" dibandingkan dengan tunarungu.
"Kemudian yang perlu dibedakan lagi antara tuli dan Tuli. Teman-teman yang tidak dapat mendengar sejak lahir memilih disebut Tuli," jelasnya.
Hal ini karena penulisan Tuli dengan Huruf kapital (T) sekaligus sapaan Tuli menunjukkan identitas orang Tuli sebagai sebuah kelompok masyarakat yang mempunyai identitas, bahasa, dan budayanya tersendiri.
Sedangkan, tunarungu dianggap sebagai sebuah keharusan untuk mengoptimalkan kemampuan pendengarannya dengan berbagai cara agar menyerupai orang-orang yang dapat mendengar, dikutip dari Tribun.
Baca juga: Bahaya Suara Sound Horeg Capai 135 Desibel, Telinga Bisa Tuli Permanen
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.