Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Survei FSGI: Mayoritas Guru Setuju UN Dihapus, PPDB Zonasi Dipertahankan

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/ARNAS PADDA
Survei FSGI, mayoritas guru setuju UN dihapus, PPDB zonasi dipertahankan. Siswa mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 8 Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (16/3/2020). Sebanyak 40.056 siswa SMK yang tersebar di 418 sekolah seSulsel mengikuti UNBK yang dilaksanakan pada 16-19 Maret 2020.
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - Hasil survei Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan, 87,6 persen orang setuju Ujian Nasional (UN) dihapus dan 72,3 persen setuju sistem zonasi dipertahankan.

Survei ini dilakukan pada 912 guru yang terdiri dari 58,9 persen guru di jenjang SMP/MTs, 25 persen guru SMA/MA/SMK, 10,1 persen guru SD/MI, dan 6 persen guru SLB di 15 provinsi.

Selain itu, survei FSGI melibatkan sekitar 56,4 persen responden guru perempuan dan 43,6 persen guru laki-laki menggunakan Google Forms pada 17-22 November 2024.

Baca juga: Penghapusan UN Disebut Hambat Peluang Masuk Kampus Luar Negeri, Ini Kata Kemendikbud dan Pengamat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Alasan responden guru setuju UN dihapus

Dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Minggu (24/11/2024), 87,6 persen responden guru yang setuju UN dihapus memberikan sejumlah alasan.

Pertama, pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan dinilai menimbulkan banyak kecurangan sistematis, terstruktur, dan masif di masa lalu.

Responden menilai, pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan siswa juga menimbulkan tekanan psikis pada peserta didik.

Alasan lainnya, UN dinilai tidak tepat menjadi penentu kelulusan peserta didik ketika standar pendidikan di setiap sekolah dan daerah berbeda-beda.

Beberapa guru lainnya beranggapan, UN dapat digunakan sebagai parameter pemetaan kualitas pendidikan.

Baca juga: Mendikdasmen Pastikan 606.000 Guru Bakal Dapat Tunjangan Tahun 2025

Namun, dengan catatan tidak dilakukan setiap tahun dan tidak semua sekolah atau hanya mengambil sekolah sebagai sampel.

Di sisi lain, kondisi dan kualitas sekolah belum merata, sehingga kebijakan UN sebagai penentu kelulusan menjadi tidak adil.

Untuk itu, saat kualitas semua sekolah di Indonesia sudah rata, standardisasi pendidikan nasional melalui kebijakan UN bisa dilaksanakan, sehingga memenuhi rasa keadilan bagi semua.

Tidak hanya itu, alasan lainnya, mayoritas guru menilai perlu adanya evaluasi Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang sudah diterapkan sebagai pengganti UN dalam lima tahun terakhir.

"FSGI mendorong Presiden Prabowo Subianto tidak buru-buru menghidupkan UN kembali, tetapi meminta presiden memerintahkan evaluasi dulu kebijakan ANBK yang sudah diterapkan sebagai pengganti UN di masa Mendikbud Ristek Nadiem Makarim," imbau FSGI.

Baca juga: Kilas Balik Awal Penerapan Sistem Zonasi Sekolah, Belakangan Tuai Kritikan

Sistem zonasi dinilai lebih berkeadilan

Sementara itu, sekitar 72,3 persen responden guru yang setuju dengan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi dipertahankan mengungkap beberapa alasannya.

Salah satunya, lebih melindungi peserta didik selama perjalanan dari dan ke sekolah serta menjamin tumbuh kembang anak secara optimal.

Sistem zonasi juga dinilai lebih berkeadilan karena semua anak dengan latar belakang dan kondisi apa pun dapat mengakses sekolah negeri selama kuota masih tersedia.

Terlebih, PPDB tidak hanya melalui jalur zonasi, tetapi juga menyediakan jalur lain seperti prestasi, afirmasi, dan perpindahan tugas orangtua sesuai kondisi peserta didik.

Melalui PPDB zonasi, daerah turut terdorong untuk menambah sekolah negeri baru guna memenuhi hak atas pendidikan anak-anak di wilayahnya.

Baca juga: 850 Ribu Guru Bakal Ikut PPG Tahun Depan, Ini Kata Mendikdasmen

Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo mengatakan, akar masalah sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya bukan karena ada kecurangan atau tidak.

Namun, persoalan ini berasal dari kemauan pemerintah daerah untuk memenuhi hak atas pendidikan anak-anak di wilayahnya.

Heru menilai, seperti apa pun sistemnya, jika pemerintah daerah tak pernah membangun sekolah negeri baru di kelurahan atau kecamatan yang tidak memiliki sekolah negeri, permasalahan yang dihadapi akan tetap sama.

"Terutama SMAN dan SMKN yang jumlahnya minim hampir di seluruh provinsi di Indonesia, maka permasalahan yang dihadapi akan tetap sama, yaitu hanya sekitar 30-40 persen peserta didik yang dapat bersekolah di sekolah negeri," ujar Heru.

Baca juga: Mendikdasmen Tinjau Kelas Coding SMP di Bandung

Karenanya, jika PPDB sistem zonasi diganti, belum tentu menjamin mayoritas anak Indonesia usia sekolah akan tertampung di sekolah negeri, mengingat jumlahnya yang memang terbatas.

Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menyampaikan, sistem PPDB sebelumnya nyaris tak ada gejolak karena diserahkan kepada mekanisme pasar.

Sistem PPDB sebelumnya juga dianggap lebih menguntungkan kelompok tertentu yang mampu secara ekonomi.

Bahkan, hasil penelitian Balitbang Kemendikbud selama delapan tahun menunjukkan, anak-anak dari keluarga tidak mampu justru mengeluarkan biaya pendidikan lebih tinggi karena tak berhasil menembus sekolah negeri lantaran kalah nilai.

"Sistem PPDB zonasi justru menghendaki kehadiran negara agar sekolah negeri dapat diakses oleh siapa pun, baik pintar atau tidak, kaya atau tidak, dan seterusnya. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi RI," pungkas Retno.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi