KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia resmi menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Dalam penjelasannya, pemerintah salah satunya akan tetap mengecualikan barang pangan pokok dari PPN.
Kebijakan kenaikan PPN 12 persen melainkan hanya berlaku khusus untuk barang dan jasa mewah.
Pemerintah menyatakan, kenaikan PPN 12 persen tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menilai pengecualian barang pangan kena PPN sebenarnya bukanlah hal baru.
Dikatakan, pengecualian barang pangan telah diatur sejak UU Nomor 42 Tahun 2009 sebelum lahirnya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan 2021.
"Dan, faktanya, kenaikan tarif PPN ini tetap akan dikenakan pada sebagian besar kebutuhan masyarakat menengah ke bawah," ungkap ekonom tersebut dalam keterangan tertulis yang dikirim kepada Kompas.com pada Senin (16/12/2024).
Lantas, apa dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen per tahun depan?
Baca juga: PPN 12 Persen Resmi Diterapkan Mulai 1 Januari 2025, Kecuali Sembako
Dampak kenaikan PPN 12 persen
CELIOS memperkirakan, kenaikan PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 berisiko memicu inflasi yang tinggi pada tahun depan.
Berikut dampak kenaikan PPN 12 persen yang bisa dirasakan oleh masyarakat:
1. Pengeluaran bertambahDirektur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, membeberkan potensi kenaikan inflasi pada tahun depan dapat menambah tekanan ekonomi, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah.
"Kenaikan PPN menjadi 12 persen menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp 101.880 per bulan, memperburuk kondisi ekonomi mereka," katanya.
Sementara itu, kelompok kelas menengah ke atas berpotensi mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 354.293 per bulan.
Menurut Wahyudi, hal ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan.
Baca juga: Daftar Insentif PPN 12 Persen, Ada Diskon Listrik 50 Persen dan Bagi Beras 10 Kg
2. Kenaikan harga komoditas masyarakatIa juga tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan pemerintah terkait semua barang pokok dikecualikan PPN.
Wahyudi mengatakan, kebijakan pengecualian tersebut sebetulnya sudah ada sejak 2009.
"Kenyataannya, PPN tetap naik untuk hampir semua komoditas yang dikonsumsi masyarakat bawah," ujarnya.
3. Kenaikan harga peralatan elektronikMenurut Bhima, dampak berikutnya dari kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah harga peralatan elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor yang ikut naik.
Media Wahyudi berpendapat, pemerintah kurang tepat apabila membandingkan kenaikan PPN di Indonesia dengan negara lain seperti Kanada, China, atau Brasil yang menerapkan PPN lebih tinggi.
Menurutnya, PPN yang diterapkan di negara dengan pendapatan per kapita tinggi dan ekonomi yang stabil itu tidak memengaruhi daya beli masyarakat.
"Jadi, daya beli masyarakat yang kuat memungkinkan pemerintah untuk menetapkan tarif pajak konsumsi yang lebih besar tanpa mengurangi kesejahteraan ekonomi mereka," ucap Media Wahyudi.
Stabilitas ekonomi yang kuat ditandai dengan inflasi rendah dan konsumsi domestik yang kuat membuat penerapan PPN tinggi lebih efektif dan tidak terlalu membebani masyarakat atau menekan pertumbuhan ekonomi.
"Masalahnya, di Indonesia, ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah sedang terpukul," katanya.
Jika ingin apple to apple, pemerintah seharusnya membandingkan PPN di Indonesia dengan negara ASEAN lainnya, di mana tarif PPN Indonesia justru menjadi yang tertinggi nomor dua se-ASEAN.
Baca juga: Daftar Barang dan Jasa yang Tidak Terkena PPN 12 Persen pada 1 Januari 2025
4. Kenaikan PPN tak menambah pendapatan pajakBhima menambahkan, kenaikan PPN 12 persen tidak akan berkontribusi banyak terhadap penerimaan pajak.
"Hal itu terjadi karena efek pelemahan konsumsi masyarakat, omset pelaku usaha akan mempengaruhi penerimaan pajak lain, seperti PPh badan, PPh 21, dan bea cukai,” ungkapnya
5. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga negatifSementara itu, Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda dampak kenaikan tarif PPN per 2025 justru akan membuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga menjadi negatif.
"Ketika tarif PPN di angka 10 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 5 persen-an. Setelah tarif meningkat menjadi 11 persen terjadi perlambatan dari 4,9 persen (2022) menjadi 4,8 persen (2023). Diprediksi tahun 2024 semakin melambat,” kata Huda, masih dari sumber yang sama.
Secara penerimaan negara, Huda melanjutkan, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan.
Namun, dampak psikologisnya terhadap daya beli masyarakat dan dunia usaha justru berpotensi lebih besar.
Data pertumbuhan pengeluaran konsumen untuk Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) yang hanya naik 1,1 persen. Hal ini menunjukkan daya beli masyarakat masih lemah.
Terakhir, Huda menyampaikan, kenaikan tarif PPN 12 persen hanya akan memperburuk situasi, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Resmi, Ini Daftar Barang dan Jasa yang Kena PPN 12 Persen Mulai 1 Januari 2025
Kenaikan PPN 12 persen tak sebanding dengan UMP 2025
Menurut Bhima, kenaikan PPN menjadi 12 persen tidak sepadan dengan kenaikan upah minimum provinsi atau UMP 2025 yang sudah diumumkan seluruh gubernur di Indonesia pada Kamis (11/12/2024).
"Tidak sebanding. Dampak kenaikan PPN 12 persen lebih besar ke pelemahan daya beli dibanding stimulus ekonomi yang sifatnya parsial dan temporer," terangnya.
Bahkan, Bhima menilai, kebijakan insentif pajak yang diberikan pemerintah di tengah kenaikan tarif PPN tahun depan juga hanya berorientasi untuk jangka pendek dan tidak menawarkan kebaruan karena hanya mengulang insentif yang sudah ada.
"PPN perumahan DTP, PPN kendaraan listrik dan PPh final UMKM 0,5 persen sudah ada sebelumnya. Bentuk bantuan juga bersifat temporer seperti diskon listrik dan bantuan beras 10 kg yang hanya berlaku 2 bulan," kata dia.
Sebaliknya, efek negatif kenaikan tarif PPN 12 persen berdampak jangka panjang.
Di samping itu, pemberian insentif PPN DTP 3 persen persen untuk kendaraan Hybrid justru semakin membuat kontradiksi berupa keberpihakan pemerintah terhadap kelompok masyarakat menengah ke atas.
Sebaliknya, kelas menengah diminta membeli mobil Hybrid di saat ekonomi melambat.
"Harga mobil Hybrid pastinya mahal, dan ini cuma membuat konsumen mobil listrik EV yang notabene kelompok menengah atas beralih ke mobil Hybrid yang pakai BBM. Bagaimana bisa ini disebut keberpihakan pajak?” kata Bhima.
Kecuali sembako
Menko Bidang (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengumumkan tarif PPN tetap naik mulai 1 Januari 2025 sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"Sesuai dengan amanat UU HPP, ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, tarif PPN tahun depan akan naik menjadi 12 persen per Januari," ujar Menko Airlangga dalam Konferensi Pers Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan, dikutip dari siaran akun YouTube Perekonomian RI, Senin.
Menko Airlangga saat itu hadir bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan sejumlah menteri lainnya.
Ia menambahkan, tarif PPN 12 persen ini tidak berlaku untuk barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat atau bahan kebutuhan pokok penting yang rinciannya diatur dalam Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 59 Tahun 2020.
Bahan pokok ini justru diberikan fasilitas bebas PPN.
Kelompok barang yang dibebaskan dari PPN adalah sembako, termasuk beras, daging, telur ikan, susu, serta gula konsumsi.
Baca juga: PPN 12 Persen Resmi Diterapkan Mulai 1 Januari 2025, Kecuali Sembako
Di samping itu, pembebasan PPN berlaku pula untuk jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, vaksin polio, hingga pemakaian air.
"Barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat ini PPN-nya diberikan fasilitas atau 0 persen. Jadi barang yang seperti kebutuhan pokok seluruhnya bebas PPN," ucapnya.
Guna mengantisipasi dampak kenaikan PPN 12 persen, pemerintah juga akan memberlakukan sejumlah paket stimulus ekonomi untuk menjaga kesejahteraan masyarakat.
Sebaliknya, Pemerintah menyatakan, akan memberlakukan tarif PPN sebesar 12 persen mulai Rabu (1/1/2024), untuk sejumlah barang dan jasa mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat mampu.
Kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya reformasi perpajakan yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP.
Penerapan tarif PPN 12 persen akan mencakup barang dan jasa mewah yang selama ini belum dikenakan pajak, seperti bahan makanan premium, layanan kesehatan medis premium, pendidikan premium, serta listrik untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 3.500 volt-ampere (VA) hingga 6.600 VA.
Langkah itu, menurut pemerintah, adalah bagian dari upaya untuk mewujudkan keadilan sosial melalui azas gotong royong.
Menko Airlangga menyampaikan, meskipun PPN 12 persen dikenakan untuk barang dan jasa mewah, pemerintah tetap memberikan insentif kepada kelompok masyarakat yang lebih membutuhkan.
Insentif tersebut bertujuan untuk menjaga daya beli dan kesejahteraan masyarakat.
“Pemerintah telah menyiapkan insentif berupa Paket Stimulus Ekonomi yang akan diberikan kepada berbagai kelas masyarakat agar kesejahteraan mereka tetap terjaga,” ucapnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.