Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 5 Jun 2023

Antropolog, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Pembatalan Pameran Lukisan Yos Suprapto: Kejujuran Itu Menakutkan

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Aditya Nugroho
Seniman Yos Suprapto menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait penundaan pameran tunggalnya bertajuk Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan di Gedung YLBHI-LBH, Jakarta, Sabtu (21/12/2024). Yos menyayangkan Galeri Nasional selaku penyelenggara pameran menghentikan aktivitas pameran seninya itu.
Editor: Sandro Gatra

SEORANG seniman besar Indonesia yang populer dengan julukan pelukis si “mata hitam” memiliki dalil yang menarik. Kata si “mata hitam”, Jeihan Sukmantoro, “Moyang etika dan estetika adalah kejujuran.”

Saya mengamini dalil tersebut. Saya yakin, dalil Jeihan itu pula dasar proses kreatif seniman, termasuk Jeihan sendiri dan Yos Suprapto sebagai pelukis.

Kejujuran akan memancarkan kebaikan dan keindahan. Kejujuran bukan sekadar keterbukaan inderawi dan akal pikiran, melainkan sekaligus pertimbangan hati nurani (budi) manusia. Di situlah, saya kira, titik temu antara kebaikan dan keindahan, antara etika dan estetika.

Karena itu, kejujuran merupakan sumber peradaban. Kejujuran pula yang melahirkan sejarah kepahlawanan.

Baca juga: Tanggapi Tuduhan Lukisan Vulgar, Yos Suprapto: Telanjang dalam Seni adalah Simbol Kejujuran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kejujuranlah yang membangkitkan semangat perlawanan di mana pun dan kapan pun setiap terjadi ketidakadilan sosial dan pengingkaran terhadap harkat martabat manusia.

Dan, seniman hanyalah saksi di antara saksi-saksi lain tentang kehidupan. Seniman bersaksi melalui karya seninya. Setiap karya yang diciptakannya adalah pribadinya, kejujurannya.

Namun, ternyata tak setiap orang di setiap saat berani melihat dan mendengar kejujuran. Kejujuran itu menakutkan bagi sebagian orang.

Maka, atas nama kepentingan tertentu, kejujuran disembunyikan. Kejujuran dianggap mengganggu kepentingan-kepentingan tersebut.

Kehendak menyembunyikan kejujuran itulah yang membatalkan pameran tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia beberapa hari lalu, tepatnya Jumat, 19 Desember 2024.

Dua catatan

Dari pemberitaan media massa maupun media sosial, saya mencatat dua hal. Sudut pandang pihak Galeri Nasional dan sudut pandang Yos selaku pencipta karya.

Pertama, pembatalan itu menurut pihak Galeri Nasional disebabkan beberapa karya seniman asal Yogyakarta itu tidak bisa dipajang dan harus diturunkan berdasarkan penilaian kurator.

Kurator menilai, beberapa lukisan tersebut dianggap tak sesuai tema “Kebangkitan: Tanah untuk Swasembada Pangan”. Lukisan terlalu vulgar, sekadar ekspresi kemarahan, semacam pendangkalan metafor yang menjadi kekuatan karya seni.

Baca juga: Yos Suprapto Bantah Lukisannya Berisi Makian terhadap Salah Satu Tokoh

Penilaian kurator itu diamini Kementerian Kebudayaan. Bahkan, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menolak istilah “bredel”. Kata Pak Menteri, bukan “bredel”, tapi “penundaan”.

Saya heran Pak Menteri menerima tafsir kurator begitu saja. Terkesan sekadar pejabat birokrasi, bukan Menteri Kebudayaan dengan pemahaman yang baik tentang kebudayaan. Padahal, Fadli Zon sosok yang mumpuni di bidang kebudayaan.

Presiden Prabowo sangat tepat menugaskan Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan. Bukan lantaran kegemarannya mengoleksi benda-benda budaya, Fadli Zon didukung kemampuan akademik bidang kebudayaan. Teori-teori penafsiran tentu tak asing bagi Fadli Zon.

Saya tak percaya Pak Menteri memaknai lukisan Yos berjudul “Konoha II” langsung menilai “vulgar”, sehingga tak pantas dipamerkan. Pun para pengunjung galeri. Mereka bukan golongan awam yang memaknai lukisan sebatas tangkapan indera mata.

Tampaknya ada yang disembunyikan oleh Fadli Zon sebagai orang paling bertanggung jawab terhadap pengembangan kebudayaan Indonesia.

Apa itu? Tak lain tafsirnya sendiri, kejujuran Fadli sendiri. Rupanya Pak Menteri masih juga fobia terhadap kejujuran.

Pak Menteri juga terkesan meniru politik eufemisme Orde Baru. Menolak kata “bredel” dan menggantinya dengan “penundaan”.

Padahal, kedua kata menunjuk realitas yang sama. Nyatanya pameran batal tanpa kejelasan tindaklanjut. Bahkan, kedua pihak menggelar konferensi pers yang membuat peristiwa tersebut viral.

Politik eufemisme biasa dipakai penguasa Orde Baru untuk menyembunyikan realitas yang tidak disukai. Misalnya, kata “kelaparan” diganti “rawan gizi”; “kenaikan harga” diganti “penyesuaian harga”.

Catatan kedua, karya-karya Yos yang diminta diturunkan itu ternyata terkait mantan penguasa di Indonesia yang belum lama lengser. Yos menolak penilaian kurator yang juga diamini Pak Menteri bahwa lukisan tersebut vulgar, sekadar ekspresi kemarahan, dan tak sesuai tema.

Sebagai seniman, Yos melihat urusan tanah untuk pangan tak pernah lepas dari urusan kekuasaan. Saya pun mengamini pandangan tersebut. Yos bersaksi melalui karya-karyanya. Karena itu, ia menolak menyembunyikan kejujurannya.

Sistem pemaknaan

Pembatalan pameran tunggal Yos Suprapto, di mata saya, bukan sekadar urusan kurator dan seniman yang hendak memajang lukisannya di Galeri Nasional.

Baca juga: Menbud Fadli Zon Sebut Tak Ada Pemberedelan Pameran Yos Suprapto

Pembatalan itu bersangkut paut dengan sistem pemaknaan menyejarah, yang dampaknya pada pertumbuhan kebudayaan.

Saya yakin, tak ada cawe-cawe Joko Widodo, Presiden ke-7. Pun Presiden Prabowo. Namun, begitulah sistem pemaknaan kita hingga hari ini masih terasa monolitik dan hegemonik.

Penguasa memonopoli pemaknaan dan memancarkannya ke seluruh urat nadi kehidupan. Tanpa cawe-cawe langsung pusat kekuasaan pun, masyarakat akan mengikuti tafsir pusat kekuasaan. Tentu saja bukan tiba-tiba, melainkan terbentuk secara historis.

Pembatalan pameran tunggal karya-karya Yos itu segera mengingatkan saya pada kejadian serupa 10 tahun lalu. Sama persis saat presiden baru, Joko Widodo, mengawali pemerintahannya.

Juga sama di pertengahan bulan menjelang akhir tahun. Bahkan, Presiden Joko Widodo saat itu sedang getol-getolnya berpidato tentang Revolusi Mental.

Saat itu, Rabu, 10 Desember 2014, di Malang, sejumlah warga dan organisasi massa tertentu membubarkan pemutaran film berjudul “Senyap” (The Look of Silence) karya Joshua Oppenheimer.

Film garapan sutradara berkebangsaan Amerika Serikat itu bertutur tentang kehidupan keluarga korban pembunuhan massal di Indonesia antara tahun 1965 – 1966. (Kompas, 12 Desember 2014).

Film “Sinyap” direncanakan oleh Komnas HAM diputar di sejumlah kota, termasuk Malang, Jawa Timur, sebagai bagian dari Peringatan Hari HAM Internasional.

Komnas HAM menilai, film “Senyap” merupakan salah satu dari sekian banyak film yang mengungkapkan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dari perspektif korban.

Namun, apa yang terjadi? Rupanya masih ada sebagian masyarakat yang ketakutan oleh “Senyap”. Mungkin ada yang ketakutan karya tersebut menyebarkan komunisme, atau ada pihak tertentu yang merasa tersudutkan.

Film “Senyap” akhirnya memproduksi kesenyapan, karena batal diputar.

Dua peristiwa pembatalan penayangan karya seni, yang kebetulan sama-sama mengawali suatu rezim pemerintahan, menunjukkan betapa hingga kini sistem pemaknaan kebudayaan kita masih monolitik dan hegemonik.

Rezim mengklaim demokratis, tapi tak berdaya juga menghadapi sistem pemaknaan tinggalan rezim Orde Baru.

Orde Baru belajar dari pemerintah kolonial tentang “keamanan dan ketertiban”. Kebebasan berpendapat diawasi. Pikiran lain dicurigai. Ruang publik harus steril dari ekspresi kejujuran.

Sejumlah media massa dibredel, karena memberi tempat pikiran lain. Karya sastra dan seni yang mengekspresikan kejujuran distop. Sastrawan dan senimannya dikucilkan.

Pramoedya Ananta Toer, misalnya. Bukan hanya orangnya yang dikucilkan, tapi juga karya-karyanya. Novel-novel Pram dilarang beredar dan dikategorikan “suversif”. Kita kehilangan sumber literasi berkualitas.

Hal ini bertolak belakang dengan pandangan profesor dari negeri K-Pop, Koh Young Hun (2014). Ia justru menempatkan Pram sebagai salah satu ikon penting Indonesia.

Baca juga: Komnas HAM Sesalkan Pameran Yos Suprapto Ditunda, Singgung Kebebasan Berekspresi

Di mata Hun, Pramoedya sangat membantu memperkenalkan konten Indonesia ke dunia luar. Bukan hanya karena produktivitasnya mengagumkan, tapi juga kualitas pemikiran kemanusiaannya yang disampaikan melalui karya-karya Pram.

Buku-buku akademik pun disensor. Buku Kapitalisme Semu Asia Tenggara karya Yoshihara Kunio (LP3ES, 1990), terjemahan dari The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia, ditarik dari peredaran.

Padahal, buku itu sangat akademis, hasil riset akademis. Kejujuran akademis pun dianggap membahayakan, harus disingkirkan.

Melemahkan kreativitas

Sistem pemaknaan monolitik dan hegemonik itu melemahkan kreativitas, sehingga merugikan pertumbuhan kebudayaan Indonesia. Proses kreatif jalan di tempat. Tak ada dialektika guna menemukan sintesis-sintesis.

Kreativitas kebudayaan mengandaikan adanya refleksi dari hubungan antarteks, persilangan antarteks. Kreativitas tidak tumbuh dari teks yang monolitik dan hegemonik.

Sejarah kebudayaan negeri ini mengajarkan hal itu. Epos Mahabharata dari India, misalnya, tidak diterjemahkan secara langsung begitu saja oleh para pujangga kita, melainkan ditransformasikan dengan cara yang kreatif untuk menghasilkan karya besar.

Di Jawa, misalnya, muncullah karya seni wayang purwa dengan segenap pirantinya. Di mata saya, pertunjukan wayang purwa adalah satu di antara karya agung generasi pendahulu bangsa Indonesia.

Sejarah Indonesia modern juga mengajarkan. Bangsa Indonesia dan dasar negara Pancasila, menurut hemat saya, merupakan karya besar yang juga tumbuh dari refleksi hubungan antarteks.

Bangsa Indonesia dan Pancasila bukan tumbuh dari sumber asli, juga bukan salin-tempel asing. Bangsa Indonesia dan Pancasila merupakan hasil dari kreativitas di dalam hubungan antara yang terjajah dan yang menjajah, masa lalu dan masa kini, dunia lama (tradisi) dan dunia baru (modern).

Bangsa Indonesia dan Pancasila sebagai produk kebudayaan adalah efek dialektis hubungan antarteks. Warisan nenek moyang dalam banyak hal dikritik secara tajam, di antaranya sifat feodalistiknya.

Barat (modern) juga tidak dicontek mentah-mentah. Ada kritik dan refleksi di dalam persilangan antarteks, sehingga membuahkan bangsa Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara.

Kita patut prihatin atas peristiwa di Geleri Nasional beberapa hari lalu. Pembatalan pameran karya-karya Yos Suprapto itu merefleksikan pelemahan kreativitas kebudayaan. Proses kreatif kebudayaan kita lalu miskin persilangan antarteks.

Sangat serius akibatnya. Alih-alih menghasilkan karya-karya bermutu dengan landasan pemikiran kemanusiaan yang kuat dan menjawab tantangan Indonesia ke depan yang diimajinasikan dengan sebutan “Indonesia Emas”, saya khawatir, untuk sekadar memilah-memilih kebudayaan yang baik dan bermutu saja kita tak mampu.

Lihatlah, misalnya, betapa susah kita menghentikan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). KKN bukan melemah, sebaliknya menguat, terkesan dipelihara untuk saling menyandera.

Kita juga gagap menerjemahkan demokrasi. Pilkada langsung dikeluhkan berat di ongkos, tapi tak ada yang berani menghentikan politik uang. Tak ada dekrit stop politik uang produk semua partai politik.

Kejujuran ternyata masih menakutkan! Harus disembunyikan!

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi