Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nicholas Martua Siagian
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia
Bergabung sejak: 14 Mei 2024

Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.

Rieke Diah Pitaloka Vs MKD: Bela Rakyat Berujung Laporan

Baca di App
Komentar Lihat Foto
DOK. Humas DPR RI
Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Rieke Diah Pitaloka
Editor: Sandro Gatra

Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Wahai sahabat

Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu setuju
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat

LIRIK lagu di atas merupakan karya Iwan Fals yang penuh dengan kritik terhadap kondisi politik dan pemerintahan di Indonesia.

Dalam lagu tersebut, Iwan Fals menulis surat berisi pesan-pesan kepada para wakil rakyat, yaitu anggota legislatif, yang seharusnya mewakili suara rakyat dalam proses pengambilan keputusan politik.

Lagu ini dari albumnya bertajuk Wakil Rakyat yang dirilis pada 1987. Tiga puluh tahunan berlalu, kritik lagu tersebut masih relevan hingga kini.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Rieke Diah Pitaloka Dilaporkan MKD, Kritik Pajak Jadi Masalah?

“Wakil rakyat bukanlah paduan suara, yang hanya tahu nyanyian lagu setuju,” lirik yang ingin mempertanyakan kepada mereka yang ‘duduk di Senayan’.

Keberadaan mereka apakah memang benar-benar mewakili rakyat? Atau sekadar mewakili kepentingan partai? Atau sebatas ‘setuju’ dengan segala kebijakan pemerintah yang kontroversi?

Baru-baru ini terjadi polemik di Senayan, Jakarta. Seorang anggota DPR bernama Rieke Diah Pitaloka dari Fraksi PDI Perjuangan dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Rieke dilaporkan terkait konten yang diunggah di akun media sosial soal ajakan atau provokasi untuk menolak kebijakan PPN 12 persen.

Sebelumnya, Rieke mengunggah video berisi seruan kepada Presiden untuk membatalkan kebijakan PPN 12 persen.

"Yuk kita berjuang bareng. Nih mau paripurna, mudah-mudahan nanti ada kesempatan interupsi, kita perjuangkan penolakan terhadap kenaikan PPN 12 persen," ucap Rieke sebelum rapat dimulai di Kompleks Parlemen, Senayan, pada Kamis, 5 Desember 2024.

Baca juga: Bela Rieke, PDIP: Seharusnya MKD Periksa Dewan yang Diam

‘Parlemen’ berasal dari bahasa Latin, yaitu ‘parliamentum’ atau bahasa Perancis ‘parler’, yang diartikan sebagai suatu tempat atau badan di mana para wakil rakyat berbicara satu sama lain untuk membicarakan hal-hal penting bagi kepentingan rakyat.

Berkaca dari sisi historis di pemerintahan Inggris, Parlemen pada awalnya adalah tempat pertemuan untuk berbicara antara raja dan kelompok bangsawan untuk membahas masalah-masalah besar negara, mulai dari pajak hingga kebijakan negara yang berdampak terhadap rakyat.

Salah satu peristiwa penting saat itu adalah saat Raja John menandatangani Magna Carta yang berprinsip bahwa raja tidak boleh memungut pajak tanpa persetujuan dari ‘council’ atau kita kenal dengan dewan perwakilan rakyat.

Pengaduan terhadap Rieke memperlihatkan kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia. Anggota DPR saja bisa dilaporkan hingga dianggap melanggar kode etik karena menolak kebijakan kenaikan pajak.

Lantas, bagaimana dengan rakyat biasa yang memang keberatan atas kebijakan pemerintah? Mungkin rakyat biasa akan menghindari kritik daripada ujungnya berurusan dengan hukum.

Petisi berjudul "Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!" yang diinisiasi oleh kelompok Bareng Warga di platform Change.org, telah mengumpulkan 199.124 tanda tangan sejak pertama kali dibuat pada 19 November 2024.

Petisi tersebut mencerminkan keresahan masyarakat akan kenaikan PPN menjadi 12 persen karena dinilai akan memperdalam kesulitan masyarakat.

Artinya, memang saatnya Anggota DPR untuk bersuara, bertanya pada pemerintah, serta memastikan rakyat tetap dilindungi.

MKD memang tugasnya menegakkan kehormatan dan keluhuran DPR. Namun, MKD jangan sampai mengkriminalisasi anggota DPR hanya karena berseberangan dengan kebijakan pemerintah.

Kalau memang MKD ingin menegakkan kehormatan DPR, justru yang perlu ditindak adalah anggota DPR yang tidak berpihak pada rakyat, melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, absen saat rapat, atau tidak bersuara saat rakyat membutuhkan.

Memang benar masyarakat berhak mengadukan anggota DPR kepada MKD. Namun, apakah berbeda pendapat atas kebijakan pemerintah merupakan pelanggaran kode etik?

Jangan sampai pengaduan ke MKD membuat gedung DPR semakin hari semakin sunyi tanpa perdebatan. Jika demikian, maka DPR akhirnya menjadi sekadar ‘cap stempel’.

Baca juga: Ekonom Nilai Pemerintah Harusnya Kejar Pajak Kekayaan, Bukan PPN 12 Persen

Justru ratusan anggota DPR diharapkan bersuara sehingga kebijakan pemerintah benar-benar dapat dirasakan masyarakat.

Jika akhirnya DPR justru sunyi senyap saat rakyat membutuhkan, rasanya biaya Pemilihan Legislatif (Pileg), gaji, tunjangan hingga fasilitas fantastis akan menjadi sia-sia.

Saat kampanye mereka berbondong-bondong mencuri hati rakyat dengan segala macam ‘cara’. Namun setelah menjabat, mereka lupa akan janjinya berpihak pada rakyat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi