Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

100 Hari Prabowo-Gibran, RI Lebih Aktif di Kancah Internasional

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Sekretariat Presiden
100 hari kebijakan luar negeri Prabowo Subianto. Presiden Prabowo Subianto saat berbicara pada sesi ketiga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Jenairo Brasil pada Selasa (19/11/2024) waktu setempat.
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan memasuki 100 hari pertama pada 29 Januari mendatang.

Periode 100 hari pertama dinilai penting untuk mengevaluasi program-program pemerintahan baru, termasuk kebijakan luar negeri.

Sejak pelantikan pada 20 Oktober 2024, beberapa gebrakan yang menyangkut eksistensi Republik Indonesia (RI) di komunitas internasional tampak menguat di era Prabowo.

Sebut saja keputusan untuk bergabung dengan organisasi kerja sama ekonomi antarnegara, BRICS, yang juga singkatan dari negara pendiri, Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (South Africa).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Upaya RI untuk lebih aktif ini diamini oleh peneliti di Departemen Hubungan Internasional, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Muhammad Habib Abiyan Dzakwan.

"Yang pertama tentu kita melihat upaya untuk lebih aktif, hadir di luar negeri," ujarnya dalam wawancara bersama Kompas.com, Kamis (16/1/2025) petang.

Baca juga: Daftar Anggota BRICS 2025 Usai Indonesia Resmi Bergabung


100 hari pertama, Indonesia lebih aktif di luar negeri

Habib membandingkan, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Indonesia lebih sering menyelenggarakan kegiatan luar negeri sebagai tuan rumah.

Sebaliknya, pada era awal pemerintahan baru, Prabowo lebih banyak bertandang ke luar negeri, baik mengunjungi forum internasional maupun menjalin hubungan bilateral.

Perbedaan lainnya terlihat pada fokus dan orientasi saat berkegiatan di luar negeri. Habib menilai, target kunjungan Indonesia sebelumnya lebih cenderung bertujuan mendatangkan investasi atau membuka pasar.

Oleh karena itu, negara-negara yang dituju sangat selektif, hanya terbatas pada negara yang dipandang memiliki kekuatan ekonomi.

"Kalau sekarang, di bawah Presiden Prabowo, lebih banyak kunjungan tidak hanya terbatas pada negara yang bisa memberikan investasi bagi Indonesia," paparnya.

Baca juga: Prabowo Masuk 10 Pemimpin Dunia Bakal Berpengaruh di 2025 Versi The Straits Times

Menurut Habib, kunjungan Indonesia selama 100 hari pertama pemerintah baru ini turut menyasar negara-negara tetangga, melalui bilateral visit.

Prabowo Subianto juga menghadiri forum-forum di luar kawasan Asia Tenggara, seperti G20 di Brasil pada pertengahan November lalu, kunjungan ke Inggris, serta lawatan ke Timur Tengah untuk memperkuat hubungan internasional.

Bahkan, Presiden Prabowo turut memberikan perhatian kepada Developing Eight Organization for Economic Cooperation atau D8, organisasi kerja sama ekonomi antara delapan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Selain Indonesia, forum D8 beranggotakan Bangladesh, Mesir, Iran, Malaysia, Nigeria, Pakistan, dan Turkiye.

"Dulu di zaman Jokowi, D8 agak ditinggalkan karena memang tampak tidak menjanjikan dari segi mendatangkan investasi," kata Habib.

"Tapi di era Prabowo, itu memang Bapaknya mau tetap hadir di forum D8," sambungnya.

Baca juga: Indonesia Resmi Masuk BRICS, Berikut 6 Manfaatnya bagi Tanah Air

Untung rugi gabung BRICS bergantung agenda Indonesia

Kebijakan luar negeri yang menonjol berikutnya selama 100 hari pertama masa pemerintahan Prabowo adalah bergabungnya Indonesia menjadi anggota BRICS pada 6 Januari 2025.

Peneliti CSIS itu mengungkapkan, tepat atau tidaknya keputusan ini sangat bergantung pada agenda Indonesia yang ingin diusung dan mampu mengomunikasikannya ke forum.

Menurutnya, Indonesia jangan sampai hanya bergabung tanpa mempersiapkan alasan menjadi bagian dari organisasi internasional ini.

"Banyak sekali analisis-analisis yang menyampaikan kekhawatiran kalau Indonesia hanya fear out missing out (FOMO), jadi bukan tepat atau tidak tepat. Tepat atau tidak tepat itu sangat bergantung pada pertimbangan yang didasarkan kalkulasi strategi," paparnya.

Pertimbangan itu tak sebatas berlaku saat bergabung dengan BRICS, melainkan organisasi internasional lain, termasuk Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang diisi oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.

Habib menuturkan, keputusan menjadi anggota organisasi mana pun akan menjadi tepat ketika Indonesia dapat menyampaikan secara transparan tentang agenda yang ingin dicapai, sekaligus pertimbangan yang sudah dilakukan hingga mampu menghasilkan keputusan tersebut.

Baca juga: Prabowo: Tak Ada Niat Sedikit Pun Kami Persulit Hidup Rakyat, Sabarlah Sebentar

Demikian pula dengan keuntungan saat bergabung sebagai negara anggota, akan sangat ditentukan oleh karakteristik organisasinya.

Jika suatu organisasi internasional memiliki karakteristik free trade atau perdagangan bebas, Indonesia tentu bisa berharap banyak untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.

Misalnya, mendapatkan akses pasar ataupun pengurangan hambatan perdagangan internasional yang akan menguntungkan Indonesia.

Namun, masalahnya, menurut Habib, BRICS bukanlah suatu kesepakatan perdagangan internasional.

Organisasi ini memang dilengkapi beberapa institusi finansial, seperti New Development Bank (NDB) atau Contingent Reserve Arrangement (CRA).

Institusi tersebut, terutama CRA, bisa langsung membantu negara-negara anggota BRICS saat mengalami krisis finansial atau likuiditas.

"Tetapi yang harus kita ingat, baik itu NDB ataupun Contingent Reserve Arrangement, semua perangkatnya masih terbatas pada memberikan bantuan negara-negara pendiri, jadi belum dibuka untuk negara-negara anggota yang baru bergabung, baik itu dari proses pembiayaan ataupun bagaimana pembuatan keputusan," tuturnya.

Baca juga: Presiden Prabowo Hadiri KTT APEC dan G20, Apa Manfaatnya bagi Indonesia?

Habib melanjutkan, sebelum mendapatkan keuntungan, Indonesia sebagai negara anggota juga wajib mengeluarkan biaya kontribusi.

Layaknya bank, dia mengumpamakan, jika suatu nasabah berharap mendapatkan pinjaman, harus melakukan setoran terlebih dahulu.

"BRICS pun iya, dalam hal ini sama-sama saja, kita harus menyetor dulu, misalnya sejumlah kontribusi finansial, baru kita akan mendapatkan keuntungan," ucap dia.

Alih-alih keuntungan langsung, Habib menilai, akan jauh lebih optimal ketika Indonesia memperkuat hubungan bilateral dengan setiap negara anggota BRICS.

Pasalnya, BRICS sebagai sebuah organisasi belum memiliki kesepakatan perdagangan maupun kesepakatan investasi antarnegara-negaranya.

Bahkan, selama ini, setiap negara anggota BRICS masih melalui jalur bilateral untuk menjalin kerja sama ekonomi.

"Contoh, kita berharap lebih banyak investasi dari China, tetapi China sendiri tidak akan memberikan investasi melalui BRICS, langsung saja bilateral dengan Indonesia," paparnya.

Baca juga: Trump Ancam Tarif 100 Persen Negara BRICS, Apa Dampak bagi Indonesia?

Bebas aktif tak boleh berhenti pada prinsip

Keputusan bergabung menjadi anggota BRICS pun tak lantas serta-merta mencederai prinsip bebas aktif yang dianut Indonesia sejak awal kemerdekaan.

Prinsip bebas aktif adalah konsep politik luar negeri yang memberikan kebebasan kepada Indonesia untuk menentukan sikap dan kebijakannya.

Bergabung dengan aliansi ekonomi BRICS sering kali dianggap berpotensi memicu asumsi keberpihakan Indonesia terhadap China dan Rusia sebagai inisiator.

Pada akhirnya, kondisi tersebut dapat berdampak pada hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di kawasan Eropa Barat.

Habib menilai, hanya berhenti pada prinsip saja tidak cukup. Terlebih, Indonesia memiliki pandangan untuk turut bergabung dengan OECD.

"Memang kan prasyarat gabung OECD jauh lebih kompleks, apakah di saat Indonesia sudah diterima BRICS, Indonesia juga melakukan percepatan aksesi, jadi melakukan percepatan reformasi domestik dan lain sebagainya supaya Indonesia bisa segera diterima juga di OECD. Nah itu yang dinamakan dengan bebas aktif," kata dia.

Baca juga: Pernyataan Lengkap Prabowo Saat Umumkan Kebijakan PPN 12 Persen Mulai 2025

Namun, apabila Indonesia hanya berhenti di BRICS dan tidak ada usaha domestik untuk mempercepat reformasi agar dapat bergabung dengan OECD, Habib mengaku sulit menjustifikasi bahwa Indonesia memegang prinsip bebas aktif.

Untuk itu, di satu sisi, tidak hanya berhenti di BRICS, Indonesia harus punya agenda yang akan diusung selama menjadi anggota.

Pada saat bersamaan, Indonesia juga perlu mempercepat reformasi politik dan ekonomi domestik supaya diterima di OECD.

Lantaran saat ini sudah resmi bergabung dengan BRICS, hal penting yang harus dilakukan adalah selektif terhadap semua agenda yang ditawarkan.

Indonesia sebagai negara anggota pun harus memiliki agenda yang hendak diusung, serta kepemimpinan intelektual agar BRICS tidak lagi digambarkan sebagai blok geopolitik.

"Kita harus tarik kembali bahwa ini (BRICS) adalah blok ekonomi dan blok kesepakatan kerja sama teknis, pembangunan, dan lain sebagainya," tegas Habib.

"Itu harusnya menjadi agenda Indonesia, mengembalikan marwah BRICS itu sendiri dari yang sekarang dilihat sebagai geopolitik, sekarang mengembalikan menjadi blok ekonomi, jadi harus lebih banyak diskusi ekonominya," lanjutnya.

Baca juga: Beda Peran Negara Anggota dan Mitra BRICS, Apa Saja?

Apa yang perlu diperbaiki?

Menilik sejumlah kebijakan luar negeri yang ditempuh selama 100 hari pemerintahan Prabowo, Habib menilai Indonesia harus mengembalikan tradisi kepemimpinan intelektual.

Menurutnya, Indonesia harus menjadi intellectual leadership dalam ekosistem pengambilan dan implementasi kebijakan luar negeri.

Sebab, gaya kepemimpinan yang mendorong berpikir kreatif dan inovatif itu terakhir kali ditampakkan Indonesia pada 2019, ketika mengusung ASEAN Outlook on the Indo-Pacific.

Habib juga berpesan, meski kini Indonesia aktif di berbagai platform global termasuk BRICS, jangan sampai melupakan organisasi lama seperti Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN.

"Boleh untuk mengunjungi atau hadir dalam pertemuan di luar kawasan, tetapi tentu modalitas Indonesia dan pengalaman Indonesia itu banyaknya di kawasan, jangan sampai ASEAN dilupakan," imbaunya.

Baca juga: Presiden Prabowo Bertemu Direktur CIA di Sela Kunjungan ke AS

Misalnya, ke depan, jika negara-negara di kawasan Asia Tenggara menghadapi situasi geoekonomi yang tidak menentu, Indonesia tahu jawaban dari apa yang harus dilakukan.

"Kalau zaman Jokowi kita jadi tuan rumah ASEAN, tetapi yang sering kali kita lupa adalah kita belum banyak memberikan inovasi-inovasi terbaru untuk mendorong ASEAN ini koheren, lebih united (bersatu) lagi," tuturnya melanjutkan.

Hal serupa juga berlaku bagi Konferensi Asia–Afrika dengan Dasasila Bandung yang tahun ini memasuki usia ke-70 tahun.

Habib pun menyayangkan minimnya ide dan inovasi Indonesia yang berkaitan dengan Dasasila Bandung, padahal sudah ada sejak 1955.

Selain itu, penting pula untuk memperkuat ekosistem dan infrastruktur kebijakan luar negeri Indonesia, termasuk terkait pendanaan guna mengimplementasi beragam program.

Baca juga: Indonesia Resmi Jadi Anggota BRICS, Kemenlu RI: Peningkatan Peran di Isu Global

Ia menjelaskan, sudah saatnya bagi Indonesia untuk mulai membiasakan diri memberikan kepercayaan lebih kepada institusi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).

Terutama, guna memposisikan diri sebagai lead atau koordinator dalam implementasi berbagai macam kebijakan luar negeri.

Meski presiden maupun kementerian/lembaga teknis tertarik dengan isu kebijakan luar negeri, Kemenlu tetap bisa menjadi "pengampu" untuk memberikan kepastian kepada komunitas internasional.

"Pak Presiden tentu punya banyak ide tentang pelaksanaan kebijakan luar negeri, tetapi akan sangat baik apabila terjadi diskusi yang lebih komprehensif antara Bapak Presiden, Kementerian Luar Negeri, kemudian stakeholder," kata dia.

"Jadi tidak hanya bergantung pada satu individu, tidak bergantung pada satu kementerian teknis, tetapi bagaimana Kementerian Luar Negeri ini sebagai suatu institusi itu benar-benar mengoordinasikan semua," pungkasnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi