Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yogyakarta Disebut sebagai Satu-satunya Provinsi yang Tak Pernah Dijajah, Bagaimana Faktanya?

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/Jaya Tri Hartono
Ilustrasi Yogyakarta. Warganet menyebut Yogyakarta sebagai satu-satunya wilayah di Nusantara yang tak pernah dijajah.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Sebuah konten video menyebut Yogyakarta sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang tidak pernah dijajah.

Klaim Yogyakarta tidak pernah dijajah itu kemudian dibagikan ulang oleh pengguna akun media sosial X @s****lik, Minggu (19/1/2025).

Dalam unggahannya, warganet itu membantah klaim Kesultanan Yogyakarta tidak pernah dijajah kolonial Belanda.

"Pihak Kolonial Belanda dan Inggris hormati & anggap kesultanan setara dengan mereka ? Ga lah," tulisnya.

Lantas, benarkah Yogyakarta menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang tidak pernah dijajah?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Benarkah Indonesia Dijajah Belanda 350 Tahun? Ini Kata Sejarawan


Sejarawan jelaskan sejarah soal Yogyakarta

Pembuat video yang menyatakan Yogyakarta satu-satunya provinsi di Indonesia yang tidak pernah dijajah menarasikan bahwa Belanda berhubungan baik dengan Yogyakarta dan menganggapnya setara.

Pihak kolonial bahkan memberikan bintang atau gelar ke raja di Jawa. Selain itu, Perjanjian Giyanti menetapkan Yogyakarta dan Surakarta sebagai kerajaan vasal sehingga tidak boleh dijajah.

Namun, dosen sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Susanto membantah pernyataan "Yogyakarta satu-satunya provinsi di Indonesia yang tidak pernah dijajah".

Dari pernyataan tersebut, Susanto menekankan bahwa DI Yogyakarta bukanlah provinsi. DIY adalah daerah istimewa setingkat provinsi.

"Kalau Yogyakarta sebagai DIY bukan tidak pernah tapi belum pernah dijajah Belanda karena ditetapkan 3 Maret 1950 ketika Indonesia sudah merdeka," tuturnya saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/1/2025).

Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan amanat yang menyatakan Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman bergabung ke NKRI sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 30 Oktober 1945.

Namun secara ipso jure, DIY resmi bergabung dengan NKRI melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang ditetapkan pada 3 Maret 1950. Hal ini menjadikan DIY berstatus yuridis administratif wilayah Indonesia.

Indonesia sendiri mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sehingga bisa dikatakan, Yogyakarta menjadi bagian dari Indonesia setelah NKRI merdeka dari penjajahan.

Karena Daerah Istimewa Yogyakarta terbentuk dan menjadi bagian dari Indonesia setelah merdeka, Susanto menyebut, "DIY belum pernah dijajah Belanda."

Sementara terkait Perjanjian Giyanti, Susanto menyatakan perjanjian itu bersifat palihan nagari, bukan berisi ketentuan vasal.

Vasal berarti hal-hal yang menyangkut negara atau daerah taklukan. Wilayah vasal menjadi bawahan suatu negara berdasarkan kepemilikan feodal.

"(Palihan nagari) artinya Giyanti itu (berisi) pembagian Mataram menjadi dua kerajaan Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta," tuturnya.

Menurutnya, Perjanjian Giyanti bukan berisi larangan penjajahan terhadap Yogyakarta dan Surakarta. Anggapan demikian justru disebutnya ahistoris.

Baca juga: Saat PM Belanda Minta Maaf Atas Kekejaman Masa Penjajahan di Indonesia...

Setara Belanda tapi seperti jajahan

Sejarawan UNS, Harto Juwono pun membantah klaim Yogyakarta sebagai satu-satunya provinsi yang tidak dijajah Belanda. Sebab, provinsi di Indonesia pasti bebas penjajahan, karena baru terbentuk setelah Proklamasi, yaitu 19 Agustus 1945.

Konteksnya berbeda dengan Yogyakarta ketika masih menjadi kesultanan maupun wilayah-wilayah lain yang masih berupa kerajaan sebelum Indonesia merdeka.

"Memang wilayah kita sangat luas dan kompleks. Ada yang dijajah empat ratus tahun seperti Maluku atau Ambon sejak Armando Cortesao datang 1514, tapi ada juga yang hanya 40 tahun seperti Aceh," jelasnya saat dihubungi Kompas.com, Senin.

Menurut Harto, semua kerajaan memiliki kontrak politik dengan Belanda yang isinya mengatakan semua kerajaan tidak dijajah.

Secara konsepsi yang ada, Kesultanan Yogyakarta tidak dijajah karena dalam kontrak politik selalu disebut kesultanan itu bagian dari Hindia Belanda dan Ratu Belanda adalah junjungan Sultan Yogyakarta yang diwakili oleh Gubernur Jenderal.

Namun, kontrak itu juga berisi larangan agar kerajaan-kerajaan tersebut tidak memiliki militer dan tidak berhubungan dengan negara lain selain melalui pemerintah kolonial. Larangan ini dapat menunjukkan ada upaya penjajahan kolonial terhadap para kerajaan.

"Memang dalam konteks hukum, posisi (Kesultanan Yogyakarta dan Belanda) setara karena masing-masing pihak tidak mencampuri urusan. Namun, praktiknya menjadi tidak seimbang karena ada unsur ancaman," tutur Harto.

Dia mencontohkan, ancaman Belanda tampak ketika takhta Sultan Hamengkubowono II dari Kesultanan Yogyakarta dan Sunan Pakubowono IV dari Kesunanan Surakarta Hadiningrat diturunkan dengan dalih melanggar kontrak.

Padahal, tidak ada residen atau pejabat kolonial yang dipecat dari posisinya dengan tuduhan melanggar kontrak dengan Belanda.

Belanda juga mengintervensi Yogyakarta dalam hal pemilihan calon pewaris takhta, serta mencampuri penerbitan hak tanah berupa opstal recht dan eigendom recht.

Berdasarkan kondisi tersebut, dapat disimpulkan Yoyakarta dan Belanda memiliki kontrak sehingga posisinya setara. Kenyataannya, pemerintah Belanda memperlakukan Yogyakarta seperti wilayah jajahan.

Baca juga: Rengasdengklok, Wilayah Pertama di Indonesia yang Terbebas dari Penjajahan

Adakah wilayah Tanah Air yang bebas penjajah?

Selain Yogyakarta, sejumlah warganet pun mengira Pulau Buton di Sulawesi Tenggara menjadi wilayah Tanah Air yang bebas dari penjajahan Belanda.

Namun, Harto menyatakan kondisi Buton yang kala itu bernama Kesultanan Buton sama dengan Yogyakarta. Buton bahkan baru diintervensi Belanda pada 1915.

Intervensi Belanda ke Buton diperlihatkan dengan pemberian hak konsesi eksploitasi hutan kepada NV. Vejahoma pada 1920-an. Tindakan ini mengeksploitasi alam dan berdampak pada kekayaan alam di sana.

Terkait satu-satunya wilayah di Tanah Air yang bebas dari penjajahan, Harto mengungkapkan daerah yang sesuai dengan status tersebut yakni Kesultanan Aceh.

"Sampai tahun 1874, (Kesultanan Aceh) merdeka dan tidak mau tunduk kepada Belanda sehingga dihapuskan dan keraton dihancurkan," terangnya.

Harto menjelaskan, Inggris dan Belanda menyepakati Traktat London pada 1824 yang membagi Pulau Sumatera menjadi dua menurut garis Singapura. Bagian utara Singapura milik Inggris dan selatan wilayah Belanda.

Traktat London kemudian diganti Traktat Sumatera pada 1871. Traktat ini memberi kebebasan Belanda menguasai Sumatera, terutama Sumatera utara dan Aceh.

Negosiasi antara Belanda dan Aceh selama 1872-1873 gagal. Aceh tetap tidak mau mengakui kekuasaan Belanda atas wilayahnya dengan imbalan perlindungan.

Belanda lalu menuduh Aceh menjadi sumber perompakan. Pada akhir 1873, Belanda menyerbu Aceh di bawah perintah Jenderal Kohler. Penyerangan ini gagal dan Kohler terbunuh.

Namun, penyerangan kedua Belanda ke Aceh pada 1874 di bawah Jenderal van Swieten berhasil merebut keraton Kesultanan Aceh. Keraton itu pun dibakar.

"Sultan Mahmud lari (dari Kesultanan Aceh) dan Belanda menyatakan Kesultanan Aceh tidak ada lagi," lanjut Harto.

Setelah Kesultanan Aceh runtuh, Belanda baru dengan bebas bisa menguasai dan menjajah wilayah tersebut.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi