KOMPAS.com - Kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri, meningkat di Indonesia.
Kasus pembunuhan keji ini disebut filicide atau filisida. Kata filicide berasal dari kata Latin "filius" dan "filia" (yang berarti anak laki-laki dan anak perempuan), dengan akhiran -cide dari kata "caedere" yang berarti "membunuh".
Filisida digunakan sebagai istilah umum yang menggambarkan pembunuhan anak-anak oleh orangtua, termasuk orangtua tiri. Ini mencakup neonaticide atau pembunuhan bayi sendiri.
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan, sebanyak 19.626 kasus kekerasan pada anak terjadi di Indonesia pada 2024.
Kasus ini dihitung dari laporan yang masuk melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) dari lebih dari 4.000 lembaga.
Dari hampir 20.000 kasus kekerasan anak sepanjang 2024, sebanyak 15.240 korban merupakan anak perempuan. Sementara 6.406 kasus lainnya dengan korban anak laki-laki.
Kasus-kasus tindakan kekerasan tersebut dilakukan terhadap anak hingga beberapa korban meninggal. Namun, Kemen PPPA belum memiliki catatan khusus terkait jumlah anak yang meninggal akibat kekerasan.
Dari 19.626 kasus kekerasan pada anak di 2024, sebanyak 52 persen kasus terjadi dalam rumah tangga. Sementara 21 persen kasus itu dilakukan orangtua sebagai pelakunya.
Baca juga: Tragedi di Balik Pintu Rumah: Ketika Ibu Jadi Pelaku Kekerasan terhadap Anak
Di awal 2025 saja, sudah ada dua kasus kekerasan pada anak yang salah satunya berujung maut.
Salah satu kasus pembunuhan anak oleh orangtuanya sendiri terjadi pada anak berusia tiga tahun di Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi pada Minggu (5/1/2025).
Ditreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol Wira Satya Triputra mengatakan, ayah dan ibu kandung korban berinisial D (22) dan AZR (19) kesal lantaran anaknya muntah di sebuah minimarket.
“Emosi atau kekesalan disebabkan karena tersangka ditegur oleh karyawan di sebuah minimarket karena korban muntah di teras minimarket,” ujarnya, Minggu (13/1/2025).
Merasa malu, pelaku membawa sang anak ke ruko kosong dan menganiayanya hingga tewas.
Kasus kekerasan dan percobaan pembunuhan juga dialami anak berinisial PA (14) di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Kamis (17/1/2025).
Kasatreskrim Polres Muara Enim AKP Darmason mengatakan, sang ayah AJ (36) menuduh PA mencuri uang Rp 100.000 milik neneknya. Meski tuduhan itu dibantah, AJ menakut-nakuti PA dengan menyalakan korek api.
Saat tersulut emosi, AJ melempar botol plastik berisi Pertalite hingga mengenai tubuh anaknya. Nahas, percikan api dari korek mengenai PA hingga membakar korban.
Lantas, apa penyebab di balik fenomena filisida? Mengapa orangtua tega mengakhiri hidup buah hatinya sendiri?
Baca juga: Benarkah Semakin Banyak Anak Sakit akibat Mikroplastik? Ini Faktanya Menurut Ilmuwan
Mengapa orangtua bisa bunuh anaknya sendiri?
Psikolog Universitas Aisyiyah Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo mengatakan, pembunuhan anak oleh orangtua adalah salah satu jenis kejahatan yang paling menyedihkan.
"Fenomena orangtua membunuh anak ini sungguh menyedihkan karena kasusnya semakin naik, mengkhawatirkan karena seolah menjadi tren yang berkembang dalam berbagai cara," ujar Ratna kepada Kompas.com, Kamis (23/1/2025).
Pembunuhan ini semakin menyedihkan ketika dilakukan seorang ibu terhadap anaknya. Sebab, ibu dianggap akan selalu mencintai serta melindungi anak-anaknya dengan berbagai cara.
Dia menuturkan, filisida pada bayi baru lahir cenderung lebih banyak dibunuh oleh ibu kandungnya. Sementara anak-anak yang lebih besar lebih banyak dibunuh oleh sang ayah.
Pembunuhan anak, lanjutnya, dapat juga dilakukan ayah atau ibu tunggal maupun bersama-sama oleh keduanya.
Tindakan pembunuhan anak oleh ayah kandung atau ayah tiri dikenal sebagai paternal filicide.
Hal ini biasanya dilatarbelakangi masalah perkawinan, temperamen, kekerasan fisik, riwayat kriminal, dorongan kemarahan/emosional, balas dendam, dan persoalan ekonomi.
Sementara istilah maternal filicide dipakai jika pelaku pembunuhan anak adalah ibu kandung atau ibu tiri.
Kejahatan ini umumnya disebabkan stres, depresi, baby blues berlebihan, riwayat kekerasan fisik dari suami, percobaan bunuh diri, kurang dukungan sosial, atau faktor ekonomi terutama pada ibu tunggal.
Baca juga: Mengapa Ibu Mudah Marah pada Anak Perempuannya? Ini Penjelasan Psikolog
Menurut Ratna, ada beberapa faktor yang menyebabkan orangtua tega membunuh anaknya, ini di antaranya:
1. Mencegah penderitaanFaktor pertama, orangtua yang membunuh anak mereka sendiri bisa disebabkan karena ingin mencegah penderitaan. Ini disebut sebagai altruistic filicide.
Altruistic filicide dapat diikuti bunuh diri orangtua (filicide–suicide) atau untuk mencegah penderitaan nyata maupun hanya khayalan (filicide to relieve or prevent suffering).
2. Alami gangguan psikotikPembunuhan anak bisa disebabkan orangtua menderita gangguan psikotik atau disebut acute psychotic filicide. Kondisi ini biasanya disertai gejala delusi dan halusinasi sehingga tidak bisa membedakan realitas dan khayalan.
3. Tidak menginginkan kehadiran anaknyaKejahatan filisida bisa juga terjadi akibat kehadiran anak tersebut tidak diinginkan orangtua atau disebut unwanted child filicide. Orangtua tidak ingin punya anak karena mengalami tekanan finansial.
4. Emosi yang tidak terkendaliEmosi orangtua yang tidak terkendali sering menjadi faktor utama kasus pembunuhan anak atau disebut juga sebagai child maltreatment filicide. Emosi membuat orangtua menganiaya anak sampai meninggal.
5. Bentuk balas dendamPembunuhan anak yang dilakukan orangtuanya bisa juga bentuk balas dendam atau disebut sebagai spousal revenge filicide. Kondisi ini bisa dipicu perselingkuhan atau perselisihan soal hak asuh anak. Anak menjadi korban pelampiasan kemarahan orangtua hingga akhirnya meninggal dunia.
Baca juga: Benarkah Mendiamkan Anak Tantrum adalah Cara Parenting yang Tepat? Ini Kata Psikolog
Mengapa kasus makin marak?
"Kalau menurut saya, masalah ekonomi, seperti masalah uang itu bukanlah masalah sepele. Sebab, itu adalah masalah yang umum terjadi," ujarnya pada Jumat (22/1/2025).
Menurutnya, pengelolaan emosi, masalah keuangan, dan pengelolaan uang menjadi faktor yang mendukung kesehatan mental orangtua.
Christin mengatakan, seseorang bisa disebut sehat mental jika bisa menyampaikan emosi di waktu yang tepat, pada orang yang benar, dan cara yang benar.
Orang yang sehat mental juga dapat dilihat dari caranya produktif menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan disertai pengelolaan keuangan yang baik.
"Kenapa orangtua kok tega bunuh anak? Tentu saja ini perlu dilacak, apakah orangtua itu mengalami gangguan, baik itu gangguan mental ataupun gangguan kepribadian. Itu sangat memengaruhi," jelas Christine.
"Jika mengalami tekanan psikis, keuangan, ditambah mereka (orangtua) tidak bisa mengutarakan perasaan tersebut kepada orang lain, sehingga hal ini membuatnya semakin tertekan," ucapnya.
Menurut Christine, kekerasan orangtua terhadap anak juga bisa dipicu pengalaman masa lalu.
Orangtua yang di masa lalu merasa kekerasan bisa menyelesaikan masalah, maka akan menggunakan tindakan yang sama terhadap anaknya.
Misalnya, orangtua ingat dulu dihukum dengan kekerasan verbal atau nonverbal. Jika dia tidak menerima permintaan maaf dan lantas menyimpan dalam memori bahwa tindakan kekerasan itu sebagai hal yang benar, maka tindakan tersebut akan dilakukan untuk menghukum anaknya.
Hal ini kemudian menyebabkan anak korban kekerasan tersebut tumbuh dewasa dengan anggapan kekerasan dapat menyelesaikan masalah. Dia pun, bisa berlaku serupa.
Baca juga: Perjalanan Emosional Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus
Christine menambahkan, ada beberapa alasan anak kerap menjadi korban kekerasan orangtua.
Pertama, karena sang anak tidak berdaya atau tidak memiliki kekuatan melawan.
Korban mungkin adalah sosok yang lemah sehingga orangtua dengan mudah melampiaskan kemarahan ke anaknya. Anak juga takut dianggap dewasa jika melawan orangtua.
Kedua, posisi anak sebagai anggota keluarga terdekat bagi orangtua, bisa membuat anak-anak cenderung mudah mendapatkan tindak kekerasan.
Misalnya, orangtua yang marah dengan rekan kerja di kantor akan lebih mudah melampiaskannya kepada orang terdekat, termasuk anak ketika sampai di rumah.
Orangtua lebih mudah melampiaskan amarahnya kepada orang terdekat karena dia bisa menunjukkan sifat asli dan berani melampiaskan emosinya. Keadaan ini tidak terjadi pada orang asing, sebab ada rasa sungkan terhadap orang lain yang tidak terlalu dekat dengan mereka.
Apa tindakan pencegahannya?
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak, Kemen PPA Nahar menyatakan, kasus kekerasan hingga pembunuhan terhadap anak oleh orangtua dipicu banyak faktor, seperti kemiskinan, pengasuhan tidak layak, budaya kekerasan, pengaruh atau penyalahgunaan teknologi, serta kondisi kejiwaan atau mental orangtua.
"Ini menjadi keprihatinan kita bahwa kasus kekerasan (terhadap anak) terus terjadi," ujar Nahar kepada Kompas.com, Rabu (22/1/2025).
Untuk mencegah tindakan kekerasan berujung kematian pada anak, Kemen PPA mengaku telah melakukan tindakan pencegahan, penyediaan layanan, dan penguatan kapasitas kelembagaan.
Tindak pencegahan dilakukan dengan melengkapi regulasi, sosialisasi aturan, serta memberikan pemahaman agar orangtua tidak melakukan kekerasan yang berdampak pada fisik dan psikis anak.
"Termasuk memastikan lingkungan tempat tinggal atau beraktivitas ramah anak," lanjut Nahar.
Kemen PPA juga berupaya memberikan layanan konseling individu dan keluarga, layanan pengaduan kasus, penyediaan rumah aman, layanan mediasi, pendampingan korban, dan layanan lain yang dibutuhkan dalam kasus kekerasan terhadap anak.
Nahar menambahkan, pihaknya pun berusaha memastikan ketersediaan petugas sosialisasi atau penyuluh yang memberikan layanan dan penguatan mekanisme koordinasi atas kasus filisida.
Baca juga: Kasus Ayah Kandung Jual Bayi di Tangerang, Kenapa Orangtua Tega dan Bagaimana Cara Mencegahnya?
Perlu pemberatan hukuman
"Kemudian, tekanan sosial dan faktor emosional terutama filisida ibu yang membunuh bayi baru lahir," tuturnya, Selasa.
Data KPAI menunjukkan, kasus filisida sepanjang 2024 dilakukan ayah atau ibu, ayah dan ibu, ayah atau ibu sambung maupun adopsi, paman, serta keluarga terdekat korban.
Peristiwa ini jelas menimbulkan kemirisan. Sebab, pelaku kejahatan pembunuhan anak merupakan ayah dan ibu dari korban.
Padahal, Diyah menekankan, anak-anak wajib mendapatkan perlindungan dari orangtua seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Atas kondisi tersebut, dia mengimbau pemerintah untuk segera mencari solusi terhadap kasus filisida yang masih terjadi di Indonesia.
"Pemerintah harus serius mencari pencegahan hingga solusinya multi-kementerian agar sampai ke bawah hingga keluarga besar," tegasnya.
Terpisah, Komisioner KPAI Aris Adi Leksono pun menyesalkan tindakan orangtua yang seharusnya melindungi tapi justru menyakiti bahkan membunuh anaknya.
Menurutnya, tingginya angka kasus filisida menunjukkan empati pelaku selaku orangtua menurun, bahkan kepada anaknya sendiri.
Dia menduga, orangtua yang membunuh anaknya mungkin dibesarkan dalam lingkungan asuhan yang menerapkan praktik kekerasan.
Faktor ekonomi keluarga pun memengaruhi tekanan hidup dan kontrol emosi orang tua. Jika tidak mampu mengelola stres berat yang dialami, orangtua mampu bertindak ekstrem.
"Agar kejadian yang demikian tidak terulang maka perlu penegakan hukum. Perlu diberlakukan pemberatan hukum satu per tiga dari hukuman dasar karena pelaku adalah orang terdekat anak," pungkasnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.