Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Guru Bahasa Indonesia
Bergabung sejak: 6 Jul 2023

Aktivis Pendidikan, Penulis Lintas Media, dan Konten Kreator Pendidikan

Memperbaiki Program Makan Bergizi Gratis

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Yudi Manar
Sejumlah siswa SD menyantap makanan bergizi gratis saat pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SD Negeri 060960, Medan Belawan, Medan, Sumatera Utara, Senin (13/1/2025). Badan Gizi Nasional bersama Kodam I/ Bukit Barisan melaksanakan program makan bergizi gratis di sekolah tersebut dengan penerima manfaat sebanyak 250 siswa. ANTARA FOTO/Yudi Manar/YU
Editor: Sandro Gatra

DI TENGAH maraknya persoalan program makan bergizi gratis (MBG)—mulai dari masalah rasa yang kurang enak, insiden keracunan, hingga kasus ayam tertukar dengan jahe—banyak pihak memberikan respons beragam.

Salah satu yang mendapat sorotan tajam publik adalah respons influencer Deddy Corbuzier. Pemilik program Close The Door tersebut menyayangkan jawaban seorang anak SD yang mengeluhkan makanan tidak enak.

Menurut Deddy, anak tersebut "peak" dan perlu bersyukur. Bahkan, Deddy menambahkan pertanyaan retoris, "Sekaya apa Anda mengatakan makanan tidak enak?"

Pernyataan tersebut menuai kritik, karena selain mengandung kesalahan berpikir, pernyataan tersebut cenderung bernada emosional dan tidak relevan dengan konteks bahasan.

Baca juga: Survei Indikator: 46,9 Persen Responden Anggap Makan Bergizi Gratis Berpotensi Dikorupsi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penilaian rasa adalah hal alami, terlebih lagi jika yang menilai adalah seorang anak yang masih berpikir apa adanya.

Apalagi, jawaban tersebut diberikan dalam konteks menjawab pertanyaan wartawan. Menjawab enak pun juga bukan langkah yang baik bila ternyata memang tidak enak.

Oleh karena itu, tidak perlu mengaitkan pendapat anak dengan sikap bersyukur, ilmu parenting, atau ekonomi keluarga.

Sebagai influencer dengan jutaan pengikut, justru pernyataan Deddy akan mengarah pada polarisasi pendapat dan menutup peluang untuk diskusi yang konstruktif.

Padahal dalam keadaan pro dan kontra seperti program MBG ini, kita sebagai bangsa memerlukan telaah dengan perspektif yang bijaksana, substantif, dan objektif.

Untuk mendapatkan nilai tersebut, langkah pertama tentu melihat program makan siang gratis berdasarkan wujud, tujuan, dan manfaat. Bukan menyangkutpautkan dengan aspek atau unsur di luar program.

Selain itu, juga tidak perlu membandingkannya dengan kondisi masa lalu, seperti mengatakan bahwa dulu tidak ada program ini sehingga kita harus bersyukur.

Cara berpikir seperti itu merupakan kesalahan dalam menempatkan perbandingan. Bagaimana mungkin membandingkan dua hal yang secara eksistensi berbeda? Ada dengan tidak ada secara empiris tidak bisa dibandingkan.

Menjadi sangat penting untuk tetap dalam koridor melihat program MBG atas wujud materinya yang sekarang. Hal tersebut guna menjaga substansi persoalan dan membatasi perluasan bahasan.

Baca juga: Anggaran Makan Bergizi Gratis Butuh Tambahan Rp 100 Triliun, Siapa yang Minta?

Mempertanyakan Gizi

Lalu terkait tujuan dan manfaat, kita dapat melihat aspek tersebut melalui aksesibilitas dan ekosistem. Tujuan yang dapat ditangkap adalah program MBG tidak lain tentu perbaikan gizi semua anak Indonesia.

Hal tersebut yang perlu menjadi headline analisis. Kalaupun pada akhirnya tujuan janji tersebut tidak terpenuhi, dan program hanya menyasar golongan tertentu, kita perlu mulai bertanya, bagaimana kriteria pemilahannya? Dasar apa saja yang menentukan antara yang berhak dengan yang tidak?

Harus diakui bahwa biaya untuk makan gizi gratis tidak sedikit. Jumlah siswa se-Indonesia semua jenjang totalnya lebih dari 53 juta.

Seporsi makanan katakanlah Rp 10.000, itu membutuhkan biaya total mendekati Rp 530 miliar per hari.

Sekalipun dipangkas menjadi separuh (Rp 250-an miliar), angka tersebut tergolong banyak. Sebab itu hitungan hari, belum minggu apalagi tahun.

Menjadi dilematis saat justru biaya makan gratis ini pada akhirnya gagal tertutup anggaran resmi dan mengakibatkan tambal sulam dari anggaran lain. Semisal menggunakan uang pribadi, zakat, dana daerah, atau lainnya.

Mencampur adukan hal sesubstansial ini akan menambah masalah baru. Kalaupun memang ada keterbatasan, rasanya perlu untuk memiliki kriteria yang jelas, adil, dan bijak terkait target sasaran penerima. Sejauh ini peta sebaran dan ruang lingkup terkait ini belum begitu jelas.

Kemudian terkait ekosistem. Kita lebih gampang menyebut percontohan sekolah di negara luar (Asia Timur dan Skandinavia). Namun banyak dari kita melupakan bahwa terdapat ekosistem di sekolah luar yang belum kita miliki. Seperti kondisi kantin dan sebaran makanan publik.

Siswa yang telah makan makanan bergizi di sekolah masih akan menghadapi godaan junk food di kantin, luar sekolah, atau bahkan di rumah. Tanpa pengendalian ekosistem ini, tujuan perbaikan gizi berisiko gagal tercapai.

Baca juga: Badan Gizi: Serangga Bisa Jadi Protein Makan Bergizi Gratis di Daerah

Bila hal ini tak kunjung mendapat sorotan, bukan tidak mungkin persoalan ini hanya akan mengarah pada kontradiksi orientasi.

Perbaikan implementasi

Terlepas dari tantangan yang ada, program MBG memiliki orientasi mulia: memperbaiki gizi anak bangsa. Karena itu, pemerintah harus bersikap terbuka terhadap masukan dan kritik. Semua laporan terkait pelaksanaan program perlu dijadikan bahan evaluasi yang konstruktif.

Upaya awal pemerintah dalam waktu dekat seminimalnya segera mengevaluasi kualitas program MBG dengan melibatkan ahli gizi untuk memastikan makanan bergizi, aman, dan memenuhi standar rasa.

Kemudian melibatkan sekolah dan orangtua melalui survei serta laporan berkala. Hal ini dapat meminimalkan keluhan dan meningkatkan efektivitas program.

Tidak kalah penting mulai membangun dan memperhatikan dukungan ekosistem, seperti sosialisasi aturan kantin sehat dan kampanye edukasi gizi di masyarakat.

Selain itu semua, yang terpenting pemerintah segera menyusun kriteria penerima yang adil, transparan, dan memprioritaskan siswa kurang mampu atau dari daerah rawan gizi.

Program MBG bagaimanapun harus terus diperbaiki dengan sikap keterbukaan yang dewasa, bukan melibatkan narasi emosional atau politis.

Kita perlu diskusi yang konstruktif, objektif, dan substantif. Hanya dengan cara ini, tujuan program meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak-anak Indonesia dapat tercapai secara maksimal.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi