Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Lebih Mudah Marah ke Keluarga Dibanding ke Teman? Ternyata Ini Penyebabnya

Baca di App
Lihat Foto
Ilustrasi marah. Beberapa orang lebih mudah marah ke keluarga daripada ke teman-temannya.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Unggahan di media sosial menyebut, beberapa orang lebih mudah marah ke keluarga daripada ke teman.

Unggahan disertai foto tersebut dimuat oleh akun Instagram @folk***** pada Selasa (28/1/2025).

Dalam unggahan disebutkan, perasaan lebih mudah marah ini muncul tanpa disadari oleh seseorang.

Ketika bersama teman-temannya, seseorang bisa sangat sabar. Tapi saat bersama keluarga, mereka menjadi mudah emosional.

“Misalnya, lo habis bete di sekolah atau kerja, pulang rumah langsung semprot orang rumah,” bunyi keterangan dalam unggahan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

“Tapi, ke teman lo malah bilang, ‘Gak apa-apa, gue fine.’ Kenapa beda?” lanjutnya.

Contohnya lagi, adalah saat seseorang membentak adiknya sendiri hanya karena hal kecil. Sementara jika temannya yang melakukan kesalahan yang sama, dia justru akan memberikan respons tertawa.

“Kadang kita lupa, orang rumah juga butuh dihargai. Jangan sampai nyaman marah ke mereka, tapi lupa mereka juga manusia,” tulis unggahan.

Lantas, apa penyebab beberapa orang lebih mudah marah ke keluarga dibandingkan ke teman?

Baca juga: Benarkah Kebiasaan Mengelupas Kulit Bibir Tanda Gangguan Mental? Ini Kata Psikolog

Adanya perasaan nyaman dengan keluarga

Psikolog dan dosen Fakultas Unika Soegijapratna Semarang, Christine Wibowo mengungkapkan, salah satu penyebabnya adalah perasaan lebih nyaman bersama keluarga dibandingkan teman-temannya.

“Kapan seseorang itu bisa menyampaikan emosi, perasaan, pikirannya dengan terbuka? Yaitu pada saat dia merasa nyaman. Rasa nyaman itu biasanya dengan orang yang paling dekat,” tutur dia kepada Kompas.com, Jumat (31/1/2025).

“Siapa orang yang paling dekat dari seseorang? Yaitu keluarganya,” sambungnya.

Sehingga umumnya ketika seseorang bersama keluarganya, dia bisa menyampaikan perasaan asli dan apa adanya tersebut.

Selain itu, menurut Christine, seseorang umumnya merasa tidak akan ditinggalkan oleh keluarganya meski menunjukkan emosi aslinya.

Ketika seseorang bisa mengekspresikan emosi aslinya, seperti bahagia, marah, sedih, jijik, dan bingung, keluarganya akan menerimanya dengan baik.

“Keluarga itu menerima anggota keluarganya itu tanpa syarat, dan tidak ada yang bisa mengubah status dia dan keluarganya,” ucap Christine.

Sedangkan dengan temannya, seseorang perlu memperjuangkan hubungannya dengan baik agar tidak terputus.

Dengan begitu, seseorang akan menimbang-nimbang emosinya apakah layak untuk diekspresikan atau tidak.

Baca juga: Gemar Like Unggahan Lawan Jenis Diklaim Tanda Micro Cheating, Ini Kata Psikolog

Ada ekspektasi, cinta, dan benci

Selain itu, Christine menilai, seseorang biasanya memiliki ekspektasi tertentu kepada keluarganya.

“Keluarga itu ‘harusnya tidak begitu’ atau ‘harusnya begitu’, maka jadi mudah tidak sabar,” ujar Christine.

Ia mengungkapkan, contohnya seperti ketika seseorang mengajarkan pelajaran kepada adiknya. Maka kakaknya mempunyai ekspektasi bahwa adiknya harus cepat pintar.

Sebaliknya, saat seseorang mengajari orang lain seperti menjadi guru les, tidak ada ada harapan tinggi tertentu.

“Sehingga kesabarannya itu lebih panjang, lebih baik,” ungkap Christine.

Baca juga: Benarkah Love Bombing Termasuk Pelecehan Emosional? Ini Kata Psikolog

Kemudian penyebab lainnya adalah karena adanya perasaan cinta dan benci menjadi satu dalam hubungan keluarga.

Christine menilai, semakin besar rasa cinta terhadap keluarga karena adanya hubungan darah, maka perasaan benci juga semakin meningkat.

Dengan keluarga, karena sering bertemu, maka gesekan yang memicu konflik pun semakin sering terjadi.

“Tapi seperti itu seperti sendok dan garpu. Selalu bersentuhan, selalu konflik. Tetapi membuat piring tetap tidak pecah. Itu yang penting,” kata Christine.

Baca juga: Mengapa Pelaku Bullying Merasa Bangga Usai Menyakiti Korban? Ini Kata Psikolog

Keluarga terkadang menghakimi

Terpisah, dosen di Fakultas Psikologi Universitas Aisyiyah Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo menerangkan, penyebab lainnya adalah adanya obrolan yang menghakimi dari keluarga.

Perasaan marah bisa muncul ketika keluarga sering memberikan pertanyaan yang bersifat memojokkan dan investigatif.

Akibatnya, muncul perasaan tidak nyaman yang kemudian diekspresikan dengan memberikan jawaban kurang ramah dan terkesan seperti marah.

Namun berbeda halnya jika bersama teman. Menurut Ratna, seseorang akan lebih bebas karena merasa tidak ada yang menghakimi mereka.

"Sama teman kan ada becandanya, bawaannya tidak serius, tidak ada curiosity (keingintahuan) mengarah ke sesuatu yang menghakimi," terangnya kepada Kompas.com, Sabtu (1/2/2025).

Tak hanya itu, jelas Ratna, perasaan marah juga disebabkan karena seseorang trauma terhadap peristiwa masa lalu yang berkaitan dengan keluarga.

Ketika ada kejadian atau peristiwa yang tidak menyenangkan terjadi, alam bawah sadar seseorang bisa menyimpan memori tersebut.

Dengan kondisi tersebut, maka mengobrol dengan keluarga akan menjadi pemicu atau trigger dari memori trauma itu.

Sehingga tanpa sengaja, ketika seseorang memberikan jawaban ke keluarga, akan terkesan seperti marah.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi