Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 14 Jun 2023

Dosen; Direktur Eksekutif Batam Labor and Public Policies; Konsultan; Pengamat Kebijakan Publik

Menyoal Satu Hari Pejabat Naik Transportasi Publik: Dari Simbolis ke Solusi Nyata

Baca di App
Lihat Foto
Tangkapan layar Instagram @PMI_Official
Insiden mobil dinas berpelat RI 36, yang videonya viral karena pengawalnya menunjuk pengendara lain dianggap arogan. Belakangan diakui milik Raffi Ahmad.
Editor: Sandro Gatra

BAYANGKAN jika suatu hari, di tengah kepadatan lalu lintas, seorang wali kota, bupati dan anggota Dewan legislatif tiba-tiba muncul di halte bus, menunggu angkutan umum yang kerap terlambat, dan merasakan langsung betapa panasnya berdesakan di dalam kendaraan yang AC-nya rusak, baunya yang khas dan lain-lain.

Atau, gubernur dan/atau pejabat eselon yang biasanya diantar mobil dinas mewah, justru terlihat duduk di bangku bus/trem yang bergetar, sambil mendengar keluhan penumpang tentang rute yang tidak jelas, pelayanan yang ‘apa adanya’ dan tarif yang relatif mahal.

Apa yang akan terjadi setelahnya? Mungkin, untuk pertama kalinya, pejabat itu akan benar-benar paham bahwa transportasi publik bukan sekadar proyek anggaran, melainkan urusan nyata menyangkut kenyamanan dan martabat warga.

Baca juga: Soal Naik Transportasi Umum, Bahlil: Saya Sopir Angkot 2 Tahun, Jangan Ajarin Saya

Menyangkut hajat hidup orang banyak, utamanya masyarakat dominan kelas menengah ke bawah.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ide satu hari pejabat wajib menggunakan transportasi publik bukanlah hal baru. Namun di Indonesia, ia masih sebatas wacana yang menantang untuk diwujudkan. Padahal, di beberapa negara, langkah ini telah membawa perubahan signifikan.

Di Bogota, Kolombia, "Hari Tanpa Mobil" bukan hanya mengurangi kemacetan, tetapi juga memaksa pejabat merasakan langsung bagaimana warga bergantung pada sistem Bus Rapid Transit (BRT) yang menjadi tulang punggung mobilitas kota.

Di London, sang wali kota, Sadiq Khan, kerap terlihat naik kereta bawah tanah (Tube) untuk memantau layanan dan mendengar keluhan penumpang.

Hasilnya? London memiliki sistem transportasi publik yang terintegrasi dan menjadi kebanggaan warganya.

Di Indonesia, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Anies Baswedan, pernah mencoba naik TransJakarta untuk memantau layanan langsung. Langkah ini menuai apresiasi, meski belum menjadi kebijakan rutin.

Namun, di banyak daerah lain, transportasi publik masih menjadi anak tiri. Angkutan umum yang ada seringkali tidak nyaman, tidak aman, tidak terintegrasi, dan jauh dari kata layak.

Baca juga: Negara Tak Perlu Gusar Mengusut Pagar Laut

Padahal, transportasi publik yang baik adalah indikator kemajuan daerah, bahkan negara. Ia bukan sekadar alat mobilitas, tetapi cerminan bagaimana pemerintah memandang kesejahteraan warganya.

Dan lebih penting soal sikap keberpihakan pemerintah kepada penderitaan rakyatnya.

Lalu, mengapa ide satu hari pejabat naik transportasi publik penting?

Pertama, ia memaksa pejabat keluar dari "gelembung kenyamanan" (alienisasi) dan merasakan langsung masalah yang dihadapi masyarakat.

Kedua, langkah ini bisa menjadi momentum untuk mendorong kebijakan yang lebih manusiawi dan berbasis data.

Ketiga, ia membangun kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah serius membenahi transportasi publik.

Namun, tantangannya tidak kecil. Resistensi dari pejabat yang terbiasa menggunakan kendaraan dinas mungkin menjadi penghalang utama.

Selain itu, ketersediaan transportasi publik yang belum merata di semua daerah juga menjadi kendala.

Namun, justru di sinilah letak urgensi kebijakan ini. Jika pejabat merasakan langsung betapa buruknya layanan transportasi publik, mereka akan terdorong segera (sense of urgency) untuk memperbaikinya.

Baca juga: Reaksi Anggota Kabinet Merah Putih soal Usulan Naik Transportasi Umum Tanpa Patwal

Untuk memastikan kebijakan ini tidak sekadar simbolis, perlu ada mekanisme yang jelas. Misalnya, menetapkan jadwal rutin (satu hari dalam seminggu), melibatkan media dan masyarakat untuk memantau pelaksanaan, serta membuat laporan evaluasi yang transparan.

Selain itu, kolaborasi dengan akademisi dan praktisi transportasi juga penting untuk merancang sistem yang lebih baik.

Pada akhirnya, transportasi publik yang baik adalah hak warga, bukan sekadar fasilitas tambahan.

Dengan mewajibkan pejabat naik transportasi publik, kita tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga membangun empati dan komitmen untuk menciptakan kota yang lebih manusiawi.

Seperti kalimat sakti, Enrique Penalosa (mantan Wali Kota Bogota, Kolombia), "A developed country is not a place where the poor have cars. It’s where the rich use public transportation." (Negara maju bukanlah tempat di mana orang miskin memiliki mobil. Negara maju adalah tempat di mana orang kaya menggunakan transportasi publik).

Kutipan ini menekankan bahwa transportasi publik yang baik adalah indikator kemajuan dan kesetaraan sosial.

Akhirnya seperti ungkapan bijak lama, jalan kaki ribuan kilometer dimulai dengan satu langkah. Dan langkah pertama itu bisa dimulai dari halte bus terdekat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi