KOMPAS.com - Ratusan wanita Thailand diperbudak untuk diambil sel telurnya di Georgia.
Diberitakan Reuters, LSM di Thailand mengatakan, ratusan wanita itu menjadi korban jaringan perdagangan manusia untuk diambil sel telurnya.
Mereka kemudian dibawa ke negara Kaukasus Selatan tersebut.
Menindaklanjuti hal itu, Pemerintah Thailand dan Georgia memastikan akan melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Kementerian Dalam Negeri Georgia mengatakan, empat warga asing telah diperiksa atas kasus perdagangan manusia itu.
Baca juga: Atasi Resesi Seks, Korsel Bayar Pembekuan Sel Telur dan Gelar Kencan Massal
Modus jaringan perdagangan pengambilan sel telur
Masih dari sumber yang sama, salah satu korban yang enggan diungkap namanya mengatakan, awalnya dia menanggapi iklan di media sosial untuk ibu pengganti (surrogate mother).
Dia dijanjikan akan tinggal bersama keluarga dan mendapat upah 25.000 bath atau sekitar Rp 11 juta per bulan.
Setelah menyetujuinya, perempuan itu dibawa ke Georgia melalui Dubai dan Armenia.
Setibanya di Georgia, ia diantar oleh dua warga negara China ke sebuah rumah pada Agustus 2024.
Dia berangkat bersama dengan 10 orang lainnya.
Setibanya di sana, mereka dibawa ke suatu daerah yang di dalamnya terdapat empat rumah besar dengan sedikitnya 100 wanita Thailand.
Menurut perempuan itu, tempat tersebut dijalankan oleh gengster China.
"Mereka membawa kami ke sebuah rumah yang dihuni oleh 60 hingga 70 wanita Thailand. Para wanita di sana mengatakan kepada kami bahwa tidak ada kontrak atau orang tua," kata dia.
Wanita itu mengatakan dirinya disuntik dan diberi hormon untuk merangsang indung telur mereka.
Sebulan sekali para wanita itu diberi anestesi dan sel telur mereka diambil dengan alat.
"Setelah kami mendapatkan informasi ini dan ternyata tidak sama dengan iklannya, kami jadi takut, kami mencoba menghubungi orang-orang di kampung halaman," kata dia.
Wanita itu kemudian berpura-pura sakit agar tampak lemak agar sel telur mereka tidak diambil.
Mereka juga mengatakan bahwa paspornya telah diambil dan diberitahu para oknum bahwa mereka berisiko ditangkap di Thailand jika nekad kembali ke rumah.
Tiga korban berhasil dipulangkan
Sebuah LSM Thailand, Yayasan Pavena Hongsakul, menyampaikan pihaknya berhasil membantu memulangkan tiga wanita korban jaringan perdagangan tersebut pada Kamis (30/1/2025).
LSM itu memperkirakan masih ada sekitar 100 wanita korban perdagangan manusia yang tertahan di Georgia.
Dikutip dari Bangkok Post, yayasan LSM itu awalnya mengetahui indikasi jaringan perdagangan dari seorang korban perempuan yang telah dibebaskan dan kembali ke Thailand pada September 2024.
Perempuan itu dibebaskan setelah membayar 70.000 bath atau sekitar Rp 33 juta kepada sebuah geng.
Korban melaporkan bahwa masih banyak perempuan yang terjebak di sana lantaran tidak punya uang untuk membayar pembebasan mereka.
Menurut LSM tersebut, sel telur para perempuan itu dikumpulkan untuk dijual dan diperdagangkan di negara lain untuk digunakan dalam fertilisasi in-vitro (IVF).
Baca juga: Studi Ungkap Ingatan Tak Hanya Tersimpan di Sel Otak, Lantas di Mana Saja?
Georgia tak miliki undang-undang surrogasi
Dikutip dari Newsweek, perdagangan sel telur manusia bukan hal baru.
Sebelumnya, Parlemen Eropa telah mengusulkan "Resolusi Parlemen Eropa tentang perdagangan sel telur manusia" pada 2005.
Resolusi itu mengutuk semua perdagangan tubuh manusia dan bagian-bagiannya.
Resolusi ini juga bertujuan untuk mengatur donasi sel telur sebagaimana disampaikan Jurnal Resmi Uni Eropa.
Kasus perdagangan sel telur di Georgia berpotensi menjadi permasalahan besar lantaran negara itu tidak memiliki undang-undang khusus mengenai surrogasi.
Surrogasi adalah sewa rahim yang memerlukan ibu pengganti.
Ibu pengganti ini akan meminjamkan rahimnya untuk membantu pasangan memiliki anak. Ibu pengganti akan hamil melalui inseminasi buatan menggunakan sperma si ayah.
Selain itu, ibu pengganti juga bisa hamil dengan menempatkan sel telur ibu kandungnya dan sperma ayah di dalam rahimnya. Proses tersebut disebut “fertilisasi in vitro” (IVF) atau bayi tabung.
Namun, hal tersebut sepatutnya dilakukan dengan perjanjian di antara kedua belah pihak.
Meski demikian, pemerintah Georgia telah mengatakan sedang dalam proses menganggap tindakan itu termasul ilegal.
Pemerintah Tbilisi mengusulkan larangan surrogasi komersial yang mencegah pasangan asing mengakses layanan tersebut di negara tersebut pada 2023.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.