Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Direktur Eksekutif Migrant Watch
Bergabung sejak: 11 Jul 2022

Direktur Eksekutif Migrant Watch

Kabur Aja Dulu: Melawan Ketidakpastian di Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Ilustrasi --- Para pencari kerja antre saat mengikuti pameran bursa kerja.
Editor: Sandro Gatra

VIRALNYA tagar "Kabur Aja Dulu" bukan sekadar tren di media sosial, tetapi simbol perlawanan terhadap ilusi nasionalisme yang mengekang.

Tagar ini belakangan menjadi perbincangan publik, memicu beragam pendapat, baik yang mendukung maupun menentang.

Tagar ini muncul atas jutaan warga negara Indonesia telah kehilangan harapan pada Tanah Airnya. Mereka sudah bisa melihat masa depan terbungkus dalam ketidakpastian, terperangkap dalam sistem yang tak memberi ruang untuk tumbuh.

Hidup di negeri sendiri bukan lagi tentang merajut mimpi, tetapi tentang bertahan dalam ketidakberdayaan.

Mereka tahu, sekeras apa pun mereka berjuang, jalan yang mereka tempuh hanya berujung pada kebuntuan. Tidak ada pintu yang terbuka, tidak ada cahaya di ujung lorong, tidak ada keindahan hidup yang menanti di tanah kelahiran mereka sendiri.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka tidak lagi percaya pada janji-janji kosong, pada sistem korup, dan pada elite yang hanya pandai berbicara tanpa memberikan solusi nyata.

Baca juga: Kabur Aja Dulu: Refleksi Krisis Kepercayaan Publik pada Penyelenggara Negara

Pejabat-pejabat bobrok yang sibuk gimmik, menciptakan ilusi perubahan, tetapi di balik semua retorika, mereka gagal menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.

Namun, rakyat tidak tinggal diam. Mereka tidak sudi terus-menerus terjebak dalam ilusi kesejahteraan yang tak pernah nyata. Mereka tidak pasrah menunggu keajaiban dari negeri yang kian menutup jalan bagi masa depan mereka.

Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar pelarian—ini adalah perlawanan. Mereka tidak lari, tetapi bertarung dengan cara mereka sendiri.

Mereka merobek belenggu kemiskinan, menerobos kabut ketidakpastian, dan menantang keterbatasan yang diwariskan oleh sistem yang gagal melindungi mereka.

Mereka lalu bertarung di medan global. Mereka menjelma menjadi pekerja migran dan diaspora yang mengibarkan nama Indonesia di panggung dunia—bukan sebagai korban keadaan, tetapi sebagai petarung sejati yang menolak tunduk pada takdir semu yang dipaksakan oleh Tanah Air yang tak lagi memberi ruang untuk mereka bermimpi.

Mereka bukan sekadar mencari nafkah di negeri orang. Mereka sedang menuntut hak atas kehidupan yang lebih layak, sesuatu yang gagal diberikan oleh Tanah Airnya sendiri. Mereka adalah korban sistem yang abai.

Mereka telah berevolusi menjadi "makhluk bumi"—karena mereka memahami bahwa dunia ini tidak selebar daun kelor.

Masih banyak negeri lain yang memberi ruang bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang, bukan karena kewarganegaraan yang tertera di paspor mereka, tetapi karena keberanian, kerja keras, dan kontribusi nyata dalam ekosistem ekonomi global.

Namun, apa yang mereka terima dari bangsanya sendiri? Berbagai tuduhan, stigma, dan penghinaan hanya karena mereka ingin mencari kehidupan yang lebih baik di negeri orang.

Mereka disebut tidak nasionalis. Mereka dianggap memalukan. Mereka dicap sebagai bukti kegagalan negara.

Baca juga: Kabur Aja Dulu: Nyanyian Perpisahan Generasi yang Hilang

Padahal, siapa yang sebenarnya gagal? Para pekerja global yang berani berjuang, atau sistem yang tidak mampu menyediakan lapangan kerja dan kesejahteraan yang layak bagi rakyatnya?

Mengapa begitu banyak masyarakat memilih menjadi pekerja migran, bahkan dengan menempuh jalur ilegal? Jawabannya sederhana: mereka tidak memiliki pilihan.

Di Tanah Air, hidup mereka seperti terperangkap dalam lingkaran tanpa jalan keluar. Lapangan kerja terbatas, upah rendah, dan biaya hidup kian mencekik.

Jika mereka tetap bertahan di Indonesia, kemiskinan akan terus membayangi tanpa ada kepastian perubahan.

Bagi mereka, pergi ke negeri orang—meskipun harus menerobos batas secara ilegal—bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan. Itu adalah bentuk perlawanan terakhir terhadap sistem yang tak lagi memberi harapan.

Negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi hanya sebatas mitos dalam pidato dan buku pelajaran. Kenyataannya, setelah 79 tahun merdeka, Indonesia masih dikuasai oleh segelintir elite yang terus mengeruk keuntungan tanpa peduli pada kesejahteraan rakyat.

Kekuasaan bukan lagi tentang mengabdi, tetapi tentang mengamankan jabatan, melanggengkan dinasti politik, dan mempertebal kantong sendiri.

Sementara rakyat? Dibiarkan terombang-ambing dalam sistem yang timpang, dipaksa bertahan dalam keterbatasan yang seolah menjadi takdir yang harus diterima.

Namun, tidak semua orang mau pasrah. Ketika Tanah Air tak lagi memberi ruang untuk mereka bertahan, mereka mencari jalan lain—melangkah keluar, menantang batas, dan membuktikan bahwa hidup tak harus dikungkung oleh garis di peta.

Nasionalisme tak lagi bisa diukur dengan garis batas di peta. Dunia telah berubah, dan globalisasi menghapus sekat-sekat lama.

Baca juga: Pekerja Migran Ilegal adalah Korban Sistem yang Gagal

Mereka yang masih berpikir bahwa bekerja di luar negeri berarti “meninggalkan bangsa” adalah mereka yang tertinggal oleh zaman, terperangkap dalam ilusi bahwa loyalitas hanya bisa dibuktikan dengan tetap tinggal di Tanah Air—meskipun tanpa harapan.

Hari ini, ekonomi dunia bergerak tanpa mengenal batas negara. Pekerja global bukan sekadar buruh di negeri orang; mereka adalah duta ekonomi, jembatan peradaban, dan tulang punggung tenaga kerja di negara-negara maju.

Mereka bukan sekadar pencari nafkah, tetapi pemikul tanggung jawab, tidak hanya bagi keluarga mereka, tetapi juga bagi perekonomian Tanah Air yang diam-diam bergantung pada remitansi mereka.

Saya membela pekerja global bukan karena ingin semua tenaga kerja meninggalkan Indonesia. Saya membela karena mereka telah membela hidupnya sendiri, ketika negara gagal melindungi mereka.

Setiap manusia berhak atas pekerjaan yang layak. Namun di Indonesia, pengangguran merajalela, upah minimum bahkan tak cukup untuk sekadar bertahan hidup, dan kesempatan berkembang hampir nihil.

Haruskah kita memaksa rakyat untuk tetap tinggal dan mati perlahan dalam ketidakpastian? Haruskah mereka dikutuk untuk terus bertahan dalam kemiskinan hanya demi kebanggaan semu?

Mereka yang berangkat ke luar negeri bukan pecundang. Mereka bukan budak. Mereka adalah petarung yang menolak tunduk pada nasib buruk.

Baca juga: Pekerja Migran Bisa Sumbang 1 Persen Pertumbuhan Ekonomi

Mereka melawan keterbatasan, menantang dunia, dan membawa pulang lebih dari sekadar uang—mereka membawa pengalaman, keterampilan, dan mentalitas yang lebih kuat.

Jepang, Korea Selatan, Eropa, hingga Timur Tengah bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi medan tempur di mana mereka membuktikan bahwa mereka bisa lebih dari sekadar "pekerja kasar."

Mereka bukan masalah. Mereka adalah bukti nyata bahwa rakyat bisa bertahan dan berjuang—bahkan ketika negaranya sendiri telah menyerah atas mereka.

Mereka yang mencibir #KaburAjaDulu sebagai "simbol kegagalan nasionalisme" seharusnya bercermin: siapa yang sebenarnya gagal?

Mereka yang bertaruh nyawa demi kehidupan yang lebih baik di negeri orang, atau pemimpin yang tak mampu menyediakan masa depan di Tanah Air sendiri?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi