Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Senior Advisor of NUFFIC Southeast Asia
Bergabung sejak: 15 Agu 2024

Permerhati dan praktisi pendidikan, penulis, pecinta wastra Nusantara. Lebih dari 25 tahun menggeluti bidang pendidikan sebagai dosen di Binus International university, program coordinator di beberapa organisasi international, dan team coordinator flagship scholarship program dari pemerintah Belanda: STUNED. Indy berlatar belakang pendidikan S1 dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia dan S2 dari Nyenrode Business Universiteit di Belanda.

Kabur Aja Dulu: Hatta Pun Menangis

Baca di App
Lihat Foto
Fotocollectie Dienst voor Legercontacten Indonesië
Foto Moh. Hatta, Bapak Koperasi Indonesia
Editor: Sandro Gatra

MEDIA sosial sedang ramai dengan kampanye dengan tagar "kabur aja dulu" yang mendorong kaum muda untuk ‘kabur’ keluar negeri karena kondisi di Indonesia yang katanya sedang tidak baik-baik saja.

Apa yang dimaksud dengan sedang tidak baik-baik saja? Banyak hal seakan bertumpuk dan tak berkesudahan yang dianggap sudah melewati batas.

Negara dianggap tidak lagi dapat memberikan kesempatan kepada warga negaranya untuk mendapatkan pekerjaan ‘layak’ dan kesempatan untuk hidup ‘berkecukupan’.

Apakah yang menyebabkan tagar ini menjadi viral dan ramai dibicarakan orang?

Multi masalah yang dihadapi bangsa ini dan juga terbukanya informasi menjadikan isu ini bagaikan persamaan multi variabel yang sulit diselesaikan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terlepas dari kompleksnya masalah tersebut, pertanyaannya adalah sudah seputus asa dan se-hopeless itu generasi muda kita?

Baca juga: Bayar, Bayar, Bayar: Kenapa Kenyataan Harus Dibungkam?

Padahal, inilah generasi yang diharapkan akan duduk di ruang kendali dan membawa bangsa ini menuju masa keemasan tahun 2045 -kemerdekaan Indonesia 100 tahun!

Kata "kabur" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki beberapa arti, yaitu "berlari cepat-cepat atau melarikan diri; meninggalkan tugas atau pekerjaan tanpa pamit; menghilang; melarikan diri dari sesuatu hal, biasanya tanpa bertanggung jawab; tidak jelas atau samar-samar."

Dari definisi KKBI itu, “kabur” dijelaskan sebagai kata bermuatan negatif

"Kabur aja dulu" ala pra-kemerdekaan

Apakah baru kali ini keadaan Indonesia sedang tidak baik-baik saja? Jika kita mundur ke masa pra-kemerdekaan dahulu, gerakan “kabur“ ke luar negeri sebetulnya sudah ada pada waktu itu, yang juga dipicu keadaan tidak baik-baik saja.

Sudah ratusan tahun perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda yang dilakukan dari Aceh sampai ke Ambon, dari Jawa sampai Makassar, tapi hilal kemerdekaan belum juga tampak.

Maka pada awal abad ke 20, keresahan, kefrustrasian, dan kegundahan semakin memuncak di kalangan kaum muda yang ditandai berdirinya Budi Utomo.

Keresahan yang sama juga dirasakan para kaum muda cerdik cendekia dari Minangkabau seperti Nazir Pamoentjak yang lebih dulu memutuskan pergi ke Belanda untuk melanjutkan studinya.

Nazir pula yang kemudian banyak memengaruhi Mohammad Hatta untuk “kabur” juga ke Belanda.

Keadaaan pada saat itu tentu berbeda jauh dengan sekarang. Waktu tempuh Tanjung Priuk- Rotterdam bisa lebih dari sebulan. Pada saat itu belum ada pesawat berbadan lebar yang dapat menerbangkan kita ke Belanda dalam waktu 13-16 jam dengan satu kali transit.

Pada saat itu, Hatta baru berusia 19 tahun! Ia rela terombang-ambing ombak melintas samudra di atas kapal Tambora. Sungguh perjalanan “kabur” yang sangat heroik.

Di Belanda, Hatta bukan hanya menimba ilmu. Bersama tokoh lainnya seperti Ahmad Soebardjo dan Soegondo Djojopoespito melalui Perhimpunan Indonesia, Hatta juga ikut dalam gerakan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Pada 1922, Perhimpunan Indonesia secara resmi berdiri dan langsung menarik perhatian pemerintah Belanda, bahkan dunia internasional karena kegiatan-kegiatan politiknya.

Baca juga: Ironi Danantara: Tak Tersentuh BPK dan KPK, Mantan Presiden Jadi Pengawas

Bayangkan sebuah perkumpulan yang anggotanya sebagian besar para pelajar inlander berusia rata-rata 20 tahun (mirip dengan gen Z) dan kuliah di Belanda dengan beasiswa dari Van Deventer stichting, sebuah Yayasan Belanda, mampu membuat pemerintah Belanda merasa gerah.

Kondisi politik barat dalam Perang Dunia I juga berpengaruh pada tumbuhnya rasa nasionalisme di kalangan pelajar Indonesia dan menyadarkan mereka untuk berjuang demi mendapatkan kemerdekaannya.

Penggunaan istilah "Indonesia" untuk pertama kali juga menunjukkan sifat radikal dan militansi yang tidak main-main.

Selain itu, organisasi ini juga mengubah nama majalahnya yang semula bernama Hindia Putra menjadi Indonesia Merdeka dengan semboyan "Indonesia merdeka, sekarang!

Adakah bedanya?

Sebenarnya ada persamaan antara para generasi muda pra-kemerdekaan dan generasi muda sekarang, yaitu rasa keputusasaan, kekesalan, kefrustrasian atas situasi yang ada; juga semangat muda yang menggebu. Pembedanya adalah respons terhadap keadaan dan kondisi yang ada.

Para pemuda sekarang marah dan frustrasi karena pemerintah dianggap gagal menciptakan lapangan kerja dan pelayanan yang memadai kepada rakyatnya.

Belakangan kasus yang mencuat seperti hilangnya elpiji 3 Kg di pasar, efisiensi anggaran yang tidak tepat sasaran, masalah UKT, pagar laut dan banyak lagi.

Mereka menyikapi keadaan itu dengan mengajak teman-temannya “kabur” sebentar dengan pergi keluar negeri untuk mencari pekerjaan dan/atau meneruskan kuliah yang dianggap lebih menjanjikan.

Terkesan impulsif dan terburu-buru tanpa analisa situasi yang cermat. Bahkan banyak yang rela bekerja tidak sesuai bidangnya, bahkan turun ‘strata’ dari white collar menjadi pekerja blue collar.

Tak terkecuali mereka yang sudah bekerja, termasuk di perusahaan multi national, juga rela untuk berhenti kerja dan dan kabur keluar negeri!

Baca juga: Tolak Makan Bergizi Gratis, Apakah Haram?

"Kabur" yang berkelas

Bung Hatta, Sutan Syahrir dan para pemuda di Indonesia di Belanda juga sama-sama geram karena perjuangan fisik yang dilakukan secara separatis di setiap daerah di Indonesia selama beratus tahun tak kunjung membawa hasil, yaitu kemerdekaan.

Mereka memutuskan untuk “kabur” ke Belanda bukan saja untuk menimba ilmu, tapi juga secara serius mulai meramu dan menuntut kemerdekaan Indonesia.

Mereka percaya bahwa senjata dan kekuatan fisik tidak akan mampu membawa Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat.

Pendidikan dan ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi panglima dalam perjuangan kemerdekaan.

Sungguh alasan untuk “kabur” yang valid karena dilandasi analisa situasi yang kuat dan jiwa nasionalisme yang sangat tinggi. Bukan sekadar ikut arus.

Tidak tanggung-tanggung, Hatta dan para pelajar Indonesia meramu dan menggodok konsep kemerdekaan di Belanda, negara yang sudah beratus tahun menjadikan negeri kita sebagai koloninya.

Kaburnya pemuda asal Bukittinggi dengan perawakan kecil itu memukau semua yang hadir ketika ia membacakan sendiri "Indonesia Vrij" di pengadilan di kota Den Haag.

Hatta tidak sekadar menggugat kekejaman pemerintah Belanda, tapi menuntut kemerdekaan untuk Indonesia.

Kaburnya Hatta ke Belanda adalah kabur ‘berkelas’ karena diwarnai dengan penjara, tulisan-tulisan maha dasyat, kegiatan politik dan mengembangkan internasional networking untuk mendapat dukungan dari negara-negara lain.

Hatta bahkan menulis sendiri pleidoi (pembelaan) sewaktu ia di penjara. Pleidoi itu berjudul Indonesia Vrij (IndonesiaVrij).

Tidak tanggung-tanggung, ia memaparkan kekejaman pemerintah penjajah Hindia Belanda di Indonesia dan menuntut agar Indonesia segera merdeka.

Sayang dulu belum ada internet. Kalau ada, rasanya tagar #indonesiavrij akan menjadi trending topic dan viral pada masa itu.

Hatta dan teman-teman memang tidak memiliki kemewahan berupa teknologi. Namun, mereka tidak impulsif. Sebaliknya, dengan segala keterbatasan mereka tetap survive dan menjaga perjuangan dengan resiliensi tingkat dewa.

Selain itu didukung konsep yang jelas dan perencanaan matang. Sehingga hasilnya pun nyata.

Dalam jangka waktu kurang dari 25 tahun setelah Hatta tiba di Rotterdam, "Indonesia Vrij" benar-benar terwujud.

Hatta hanya membutuhkan waktu 5 tahun untuk menyelesaikan studinya di Nederland Handelshogeschool (NHS) yang sekarang lebih dikenal dengan Erasmus University of Rotterdam.

Namun, ia tinggal di Belanda selama 11 tahun! Kita dapat menebak apa yang dilakukan Hatta selama 6 tahun sisanya.

Ia sibuk me-relay pesan kemerdekaan ke Tanah Air dan makin menggila dengan tulisan -tulisannya yang membakar semangat para pemuda di Tanah Air.

Dan percepatan meraih kemerdekaan itu benar-benar terjadi pada saat Hatta mendampingi pemuda Soekarno membacakan teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945, hanya 24 tahun setelah ia tiba di Belanda! Sungguh “kabur” dengan hasil luar biasa!

Baca juga: Kabur Aja Dulu: Buat Indonesia Lebih Mendunia dan Hebat

Rumput tetangga terlihat lebih hijau

Memang seringkali dunia luar memberikan gambaran hidup lebih menarik. Namun, apakah semudah itu mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negeri seberang?

Sebutlah pajak pendapatan yang tinggi, biaya hidup yang juga tinggi. Belum lagi penguasaan bahasa asing yang menjadi syarat di negara non-English speaking countries.

Misalnya, di Belanda yang merupakan non-English speaking country dengan program international paling banyak di tingkat pendidikan tingginya.

Dengan kata lain, tidak ada masalah dari sisi language of instruction jika kita mau kuliah di Belanda karena banyaknya program internasional yang ditawarkan.

Namun, untuk urusan bekerja lain lagi. Walaupun tingkat kemahiran (proficiency) bahasa Inggris orang Belanda adalah salah satu yang tertinggi di dunia, tetapi kemampuan bahasa Belanda menjadi keharusan jika kita ingin bekerja di sana. Apalagi di negara-negara seperti Perancis, Jerman dan Jepang.

Ini baru satu faktor, yaitu bahasa. Belum lagi tantangan lainnya, budaya dan nilai. Belum lagi cuaca yang jauh berbeda dengan Tanah Air dapat membuat kita lebih nelangsa.

Jadi intinya dibutuhkan tujuan yang jelas, motivasi kuat, kualifikasi mumpuni, daya juang dan resiliensi paripurna untuk berhasil hidup dan bekerja di luar negeri.

Rasanya Hatta, Syahrir, Achmad Soebardjo dan para pelajar di Belanda lainnya akan menangis jika mengetahui tentang kampanye "kabur aja dulu" saat ini.

Mengapa justru kau pergi ketika negeri ini sedang banyak masalah? Kami dulu pergi ke Belanda karena amunisinya ada di sana. 'Kabur' bukan untuk mencari ilmu, atau pekerjaan semata atau sekadar kabur karena situasi negara sedang 'tidak asik’.

Namun, kabur untuk tujuan yang jelas dan lebih besar. “Kabur” juga bukan untuk kepentingan diri sendiri, tapi “kabur” untuk segera kembali ke Tanah Air dengan membawa hasil yang sebanding dengan usaha dan pengorbanan.

“...sekarang aku sedang siap menunggu keputusan Tuan-tuan tentang pergerakan kami. Kata-kata Rene de Clerq, yang dipilih pemuda Indonesia sebagai petunjuk, hinggap di bibirku: “Hanya satu tanah yang dapat disebut Tanah Airku, Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku.”- Cuplikan Indonesia Vrij yang ditulis dan dibacakan oeh Mohammad Hatta sebagai pleidoi (pembelaannya).

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi